Picture by Pinterest |
Kata orang, menikah itu artinya menyatukan dua keluarga, bukan hanya sekedar dua kepala. Artinya, perlu menyelami lebih dalam masing-masing keluarga dan berusaha untuk mengharmonisasikan keduanya. Terdengar mudah, walau pada kenyataannya sungguh jauh dari bayangan.
Tentang isi kepala manusia, sangat beragam dan unik. Jangankan yang berbeda ikatan darah, bahkan, yang masih satu garis keturunan pun tidak akan menjamin memiliki pemikiran yang sama terhadap suatu perkara. Menyelaraskan otak suami - istri pun kadang masih membutuhkan usaha lebih. Tak jarang diselingi bumbu adu argumen dan sedikit drama "pertikaian". Bagaimana dengan membangun keselarasan dengan keluarganya?
Agak menarik bahasan di salah satu grup whatsapp saya sore ini. Diawali dari salah seorang member yang bertanya mengenai rasa kurang menerima ketika suami meminta izin keluar rumah untuk menjalankan hobinya, akhirnya melahirkan banyak sekali sub-bahasan yang sangat relate dengan kehidupan pernikahan.
Dari sekian banyak problematika yang diangkat di forum bebas tersebut, saya mendapati satu benang merah. Semua berkaitan dengan KOMUNIKASI.
Dilansir dari laman Wikipedia, komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain.
Informasi ini yang akan menghasilkan timbal balik berupa tanggapan yang akan membuka informasi baru.
Dalam hubungan suami - istri, yang terdapat dua kepala berbeda berikut isinya, maka proses ini memang memegang peran penting. Karena, masing-masing dari kita, baik sebagai istri atau pun suami, bukanlah seorang cenayang atau ahli telepati, yang mampu mengkomunikasikan sesuatu hanya melalui pikiran, tanpa pengungkapan. Media komunikasi kita sebagai pasangan normal adalah kata, baik lisan ataupun tulisan.
Jika komunikasi dengan pasangan telah baik, maka, membuka jalan komunikasi dengan keluarganya pun akan lebih mudah. Karena, kita bisa menggunakan pasangan kita sebagai pembawa informasi awal mengenai keluarganya untuk kita, sebelum akhirnya kita akan terjun sendiri secara langsung untuk melakukan komunikasi interpersonal dengan mereka.
Lalu, bagaimana cara membangun komunikasi yang efektif dengan pasangan?
Bagi sebagian orang mungkin akan berbeda. Setidaknya bagi saya, komunikasi efektif dengan pasangan dapat tercipta, bila :
1. Berusaha bersikap terbuka
Membiasakan untuk membahasakan setiap emosi yang dirasakan oleh kita, baik itu mengenai pasangan ataupun hal lainnya. Bukan hanya emosi negatif saja, emosi positif pun, seperti bahagia, terharu, bangga, perlu diungkapkan pada pasangan agar pondasi komunikasi dapat terbentuk kokoh.
2. Selalu berlandaskan kejujuran
Saya pribadi merupakan penganut "lebih baik pahit tetapi kebenaran". Bagi saya, white lies itu jauh lebih berbahaya dari pada pertikaian buah dari mengungkapkan kebenaran. Kebohongan atau sesuatu yang ditutupi akan ada masanya. Setelah masa itu habis, maka akan terungkap juga. Namun, suasana akan jauh berbeda jika hal tersebut sengaja diungkapkan di awal ketimbang harus diketahui secara "paksa dan tidak sengaja" oleh kita. Setidaknya, dengan berkata jujur. maka, suatu permasalahan mampu diselesaikan lebih dini sebelum akhirnya semakin runyam dan kompleks. Ingat, satu kebohongan akan membuka kebohongan-kebohongan lainnya.
3. Menjaga bonding dan keintiman
Salah satu hal penting dalam komunikasi pasangan adalah keintiman. Bonding yang terbentuk akan mempengaruhi kwalitas komunikasi di atara keduanya. Banyak cara untuk terus menjaga keintiman dan mempererat bonding tersebut, salah satunya adalah pillow talk. Terutama bagi pasangan yang memiliki waktu kebersamaan sangat singkat, pillow talk sangat efektif dan mudah untuk dilakukan.
4. Mampu menjadi pendengar yang baik
Jika suami - istri mampu saling mendengarkan, maka, kesalahpahaman akan lebih mudah diredam, selain didukung oleh sikap terbuka pastinya.
5. Perdebatan dihalalkan, tetapi dengan syarat tertentu
Untuk saya dan suami sepakat, segala bentuk perdebatan tidak boleh dibawa hingga pergantian hari. Sehingga, kami akan mengusahakan untuk meng-clear-kan masalah yang memicu perdebatan sampai batas waktu tidur. Jangan sampai, perdebatan masih berlanjut keesokan harinya, sehingga akan mengganggu mood seharian. Apalagi bagi yang sudah memiliki anak. Kondisi perdebatan yang berkepanjangan sangat tidak disarankan. Khawatir anak akan melihat dan juga merasakannya.
Masih banyak cara untuk membangun komunikasi efektif di dalam berpasangan. Walaupun secara teori terdengar mudah, tetapi, pengaplikasiannya akan membutuhkan effort besar. Untuk itu, kita harus terus melatihnya, membiasakannya, tanpa patokan waktu. Bukankah menikah artinya bersedia untuk belajar sepanjang hayat? Karena menikah merupakan bentuk ibadah yang durasi ritualnya sangat panjang, yaitu semenjak ijab qabul dilaksanakan hingga maut memisahkan,
Allahu'alam bi shawab.
No comments:
Post a Comment