Tuesday, May 26, 2020

Mungkin Ini Definisi Asli "Kembali ke Fitrah" dari Idul Fitri


Bismillaah.
*disclaimer*
Konten ini sarat akan curcol-an dan juga segenap unek-unek. Mungkin akan berfaedah, tapi lebih mungkin banyak tidaknya. Semua dikembalikan pada perspektif masing-masing.

***
Sebelumnya, aku sekeluarga mengucapkan, minal aidin wal faizin dan mohon maaf lahir batin, Eid Mubaraak. Semoga dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan di tahun selanjutnya. Aammiin.

***
Lebaran yang sendu, terlepas dari hakikat idul fitri itu sendiri yang terdefinisikan pada kegegapgempitaan buah kemenangan. Untuk nikmat berkesempatan merasakan Ramadhan dan Idul Fitri di tahun ini, Alhamdulillaaah. Tetap menjadi sesuatu yang harus disyukuri kan. 

Tapi, tidak bisa ditampik, tak bisa dipungkiri, lebaran kali ini luar biasa berbeda. Tanpa mudik, tanpa keluarga. Benar-benar hanya kami bertiga. 

Kali ini kami melewatkan Idul Fitri di Bandung saja. Bukan tanpa alasan. Tapi memang dalam upaya mengikuti himbauan pemerintah untuk tidak mudik, dalam rangka menekan penyebaran virus Covid-19. Mungkin bisa saja kami nakal diam-diam mengunjungi keluarga di Cianjur dan Jakarta, tapi, bukankah itu hanya akan mencelakakan diri juga orang-orang tersayang? Belum lagi bila ternyata kami terperangkap, tak bisa kembali lagi ke Bandung setelah tiba di kota tujuan. Akan menjadi PR tersendiri bukan? Ahh, sangat banyak pertimbangan.

Mertuaku di Bandung. Jarak rumah hanya sekitar lima kilometer. Tapi, tetap kami tidak bisa bertemu. Hanya suami yang mengunjungi. Abah mertuaku melarang keras aku dan Anis sungkeman ke rumah beliau, karena perihal Covid-19 dan juga ada suatu alasan medis lain. Aneh rasanya. Suasana yang, bahkan, aku pun tidak pernah membayangkan akan terjadi di bagian kehidupanku. 

Suasana Idul Fitri pun sangat asing. Tanpa kemeriahan bedug dan takbir dimana-mana. Bahkan suamiku bilang, beberapa masjid yang dia lewati hanya memasang rekaman takbir tanpa ada orang di dalamnya. Padahal biasanya, anak-anak, bapak-bapak, berkumpul untuk melaksanakan takbir bersama di malam Idul Fitri-nya. Jalanan pun termasuk sepi untuk hitungan malam lebaran. Sangat sepi malah.

Salah satu hal lain yang sangat aku suka dari lebaran adalah momen belanja. Yaa, baik belanja baju lebaran untuk Anis atau pun belanja groseri untuk stok makanan di rumah juga berbagi ke handai taulan. Lagi-lagi kebiasaan itu pun harus aku urungkan. Tak ada belanja. Tak ada preparasi menyambut tamu ataupun bagi-bagi makanan dan atau angpau untuk para ponakan dan bocah. Ya jangankan bagi angpau, bertemu mereka pun tak bisa. Dramatis.

Pelaksanaan shalat Idul Fitri pun menjadi kontroversi. Seperti di kompleks perumahaan tempat tinggalku misalnya, terpecah menjadi kubu "yang menjalankan" dan "yang tidak menjalankan". Bagi yang ingin bergabung untuk melaksanakan shalat sunnah Idul Fitri-nya pun harus mendaftarkan diri. Berapa orang kira-kira dan siapa saja yang ikut. Sehingga nanti akan diatur layout-nya agar memenuhi ketentuan jarak aman interaksi berdasarkan protokol umum penanganan Covid-19. Ribet luar biasa, bahkan untuk beribadah. Hanya karena makhluk setengah hidup berukuran mikron saja.

Sebenarnya, ada hal lain yang lebih memberatkanku sejujurnya. Bukan sekedar tak bisa bersilaturahim, tak ada belanja baju lebaran dan makanan lebaran, atau tak bisa mengikuti shalat sunnah Idul Fitri. Suatu alasan yang aku rasa bersifat lebih personal. Yaitu, tidak dapat menghadiri dan menyaksikan secara langsung akad nikah adik kandung perempuan terakhir ku. Sedih luar biasa. Tak bisa ikut membantu banyak dalam mempersiapkan segala sesuatunya. Tak bisa jadi bagian dari foto keluarga. Tragis. Jiwa anak sulungku tak bisa berbohong, meronta-ronta, tapi tak berdaya. 

Bersyukur masih ada teknologi yang mumpuni, yang setidaknya, bisa memberi alternatif lain untuk tetap berkomunikasi dan bersilaturahim. Walaupun, tetap saja terasa berbeda. 

Kami tetap dapat hadir meski hanya sebatas layar. Satu sisi, sangat kusyukuri hal ini. Sisi lain, ini menyedihkan. 

Aku meyakini bahwa kita semua telah menjadi bagian dari sejarah besar dunia. Kelak, jika berumur panjang, aku mungkin akan menceritakan kondisi ini kepada cucu turunanku nantinya. Kondisi yang begitu pelik di zamannya, merata semua golongan, bangsa, lapisan masyarakat. Tak memandang ras, suku, agama, kekayaan, semua terdampak. Kondisi dimana seperti bentuk restart besar-besaran untuk kehidupan manusia. Semua dibawa ke format default secara instan dalam waktu cepat. Seperti mengingatkan bahwa kita hanya makhluk lemah, dituntut untuk menanggalkan seangkuhannya selama ini, kembali pada fitrah manusia. Aha, bukankah ini berarti Idul Firti sesungguhnya? Mengembalikan kita semua ke jalan fitrahnya? Wallahu'alam bi shawab. Yang ku tahu dan ku harap, semuanya akan segera kembali ke normal, atau mungkin, new normal. Apapun itu, aku rindu bertemu keluargaku πŸ’™

Thursday, May 21, 2020

PUISI : Elegi Kehidupan

Aku mencintai diriku, karena itu harus.
Memberi ruang untuk menyelami buruk dan rendahnya aku, itu perlu.
Meyakini bahwa diri hanya manusia, bisa benar, bisa salah, bisa lupa, tapi bukan untuk excuse selamanya.

Mungkin terkadang aku lelah, tak apa.
Rehat, berjeda saja.
Jika pun ternyata dihimpit sedih, terima.
Menangis bukan suatu aib yang patut diurungkan.

Pernah dulu, sangat lama sekali kala itu.
Aku berada di titik ter-membingungkanku.
Belum mampu menyadari bahwa aku hanyalah aku.
Selalu ingin menjadi yang "ter" di antara yang "ter".
Lupa.
Hidup tak sestatis itu.

Berani menapaki, berani menghantam luka.
Aku belajar daripadanya.
Proses yang menghantarkan pada kehidupan yang membumi.
Menemukan arti yang bukan hanya tentang sempurna.

Meski tak ku tampik.
Kesempurnaan pun mengajarkan bahwa tak bisa diri hanya berhenti di titik ini saja.
Terus melaju, ikuti arah langkah.
Sebelum kau temukan liang lahatmu, di situ medan perangmu terus berlanjut.

Waktu yang mendewasakan.
Perangkat akal dan hati yang membersamai.
Jika memang belum saatnya, maka bukan menanti.
Mencari akan jauh lebih berarti.

Terkadang alur waktu ku maju mundur tak teratur.
Gamang, itu baik.
Tanda bahwa akal telah bertemu dengan rasa.
Padukan, padankan.
Jika ia selaras, kau akan temukan warna.

Menyalahkan diri sendiri sungguh bukan solusi.
Apalah jiwa dalam raga yang papa.
Tanpa isi, tanpa makna.
 
Pun menyalahkan orang lain. 
Tak bijak.
Di luar kapasitas.

Pernah suatu ketika.
Deraan badai kehidupan nyaris saja melumpuhkan bahtera.
Jika karam, selesailah pelayaran.
Lalu haruskah ku biarkan nasib terpontang-panting memperolok kekalahan?
Ku jawab, tidak!

Bila aku merasa bahwa semua mengerdil.
Sempit hingga tak ayal gerakan pun terkunci.
Biarkan saja aku bernafas.
Bersama oksigen yang mengalir dalam pembuluh kompleks, ku tata kembali.

Manusia ingin semua ada pada tempatnya.
Manusia tak miliki kacamata tanpa batas ku rasa.
Akan ada pencitraan yang blur.
Lalu kepada siapa harus menggantungkan pandangan?
Navigasi batin akan memainkan perannya.
Dan siapa yang di balik layar?

Ini hanya tentang arogansi.
Kemawasan dan kewarasan seperti saru, tersekat benang tipis.
Sibuk menjadi ini dan itu.
Lupa mensyukuri sisi lain yang sedang dilakoni.

Hei, makhluk Tuhan satu ini.
Apa yang dicari?
Pada akhirnya semua hanya akan mati.
Menjadi santapan segar cacing-cacing liang lahat.

Dunia mu hanya setetes air di atas teratai.
Nampak elok, menyegarkan pandangan.
Namun rapuh, namun tergoyang.
Tersapu angin pun tamatlah riwayatnya.
Menyatu kembali dengan danau.
Tak dikenali. 
Hilang, tanpa arti.

Pernah suatu hari.
Ku lakukan monolog diri.
Wahai, jasad bernyawa, apakah kau merasa cukup hebat karenanya?
Tawaku, bahwa nyawa dan jasad sebatas air dan minyak dalam emulsi.
Terlihat padu. 
Namun tak kan pernah mungkin menyatu.
Lalu apa kau lupa tentang emulgator?
Dia pemersatu.

Jika, analogiku, rusaklah sang pemersatu.
Air dan minyak, buyar, ambyar, terpisah, menjijikan. 
Tengiknya akan mulai terasa.
Bilatung menjadi babak baru kebusukan.
Dan berakhir dalam tong sampah.
Dibuang. 
Terbuang.

Semua memiliki cerita.
Kelam atau tidak, cerita akan tetap menjadi cerita.
Akan ada judul, isi, penutup kemudian.
Terlewat.
Menjadi sejarah.
Dikenang.
Cukup sebatas itu saja perihal kehidupan di dunia.


Wednesday, May 20, 2020

Cerita Bed Training Anis

Bismillaah. 
Uwuw, Alhamdulillaah, Bandung bagian Arcamanik hari ini mostly hujan. Ibuk ya bahagia luar biasa, walau cucian jadi belum kering, suasana hujan parat begini tuh lovable pisan 🀭. 

Jadi ceritanya, aku mau berbagi tentang bed training Anis. Alhamdulillaah, per tanggal 16 Mei 2020 kemarin, Anis sudah tidur di kamarnya sendiri. Sebenarnya, aku sudah merencanakan untuk pemisahan tidur begini sejak lama. Tapi, karena kondisi dan fasilitas belum memadai, akhirnya baru terealisasi setelah pindah rumah. 

Bulan Mei 2020 ini usia Anis menginjak 32 bulan. Menurut aku, sudah saatnya Anis tidur terpisah dengan ayah ibunya. Ada beberapa alasan, yang utama adalah untuk kemandirian anak, yang juga ternyata berpengaruh pada kualitas tidur si anak itu sendiri. Terbukti ketika Anis mulai tidur sendiri, dia memiliki jam tidur lebih panjang dan teratur. Alasan lain, ya pastinya untuk pihak ayah ibunya juga. Kami bisa memiliki intimate time dan kualitas tidur yang lebih baik. Terdengar sepele, tapi intimate time dan tidur berkualitas juga merupakan hak setiap ayah/ibu/orangtua. Kedua hal tersebut memegang kendali terhadap mood masing-masing di keesokan harinya. Aku pribadi merasa lebih siap menghadapi hari baru dengan damai biasanya.

Nah, kembali ke bed training. Progres Anis untuk fase ini Alhamdulillaaah bisa diklaim sangat lancar. No drama at all

Di malam pertama, Anis sempat terbangun sekali. Tanpa nangis, dia mendatangi ibunya yang kebetulan masih leyeh-leyeh di ruang tengah. Dia hanya meminta minum dan ditemani di kamar sebentar, tak lama kemudian dia kembali tertidur hingga esok paginya.

Malam ke-dua, Anis bermimpi agak buruk sepertinya. Dia sempat merengek-rengek dengan mata terpejam. Aku hanya mengintip lewat pintu kamarnya, tidak mendekati atau membangunkannya. Aku biarkan dia settling sendiri kondisi seperti itu, hingga nantinya dia akan terbiasa. Ternyata, Alhamdulillaaah, walau hanya didiamkan, akhirnya dia minum dan tertidur lagi. Sejak malam ke-dua ini, Anis sudah tidak mencari ibunya saat tidur. Aku bisa katakan bahwa bed training Anis berjalan lancar dan sukses, Alhamdulillaaah.

Lalu, kiat-kiatnya apa dong, Buk? 

Hehe, aku belum berani menjamin penuh hal-hal yang aku terapkan pada Anis bisa berlaku di anak-anak lain juga, tapi mungkin dengan berbagi seperti ini, mampu sedikit banyak memberi gambaran bagi yang berniat untuk bed training anaknya, juga sebagai penyemangat untuk para ibu pejuang bed training, you are not alone, moms! Semangat!!

Berikut aku paparkan beberapa hal yang aku terapkan pada Anis untuk mendukung bed training-nya. 

1. Sounding. Hal ini dilakukan dari jauh hari sebelum bed training dimulai. Memberikan pengertian secara sederhana tentang tidur terpisah dan alasannya. Banyak cara untuk penyampaiannya. Aku terapkan pada Anis melalui penjelasan sederhana yang dilakukan berulang, juga melalui cerita yang diselipkan maksud pengenalan bed training tersebut. Sounding ini perlu dilakukan untuk mencegah si anak kaget dengan pola kehidupan yang baru, alih-alih rencana sukses, yang ada si anak menjadi stres dan kemudian trauma.

2. Libatkan anak dalam mendesain ruang tidur. Tidak perlu barang baru, mewah, mahal, untuk menciptakan ruang tidur idaman anak. Yang terpenting justru approval dari anak itu sendiri sebagai si empunya kamar nantinya. 
Sebagai contoh, pemilihan LED lamp di kamar Anis adalah hasil request dia. Saat memesan di toko daring pun aku membiarkan dia memilih warna yang dia inginkan. Jadilah kamar "heboh" dengan LED lamp berwarna-warni blink-blink πŸ˜…πŸ€­. Membiarkan dia menyuarakan pilihannya sendiri ini pun merupakan bentuk menghargai anak dalam memilih lho. Selama yang dipilih adalah hal yang aman dan tidak melenceng, why not πŸ˜.

3. Jangan menakut-nakuti anak. Terutama diwaktu-waktu dekat menuju bed training, sangat tidak dianjurkan untuk menakut-nakuti anak. Ini penting! Karena, sekali si anak mengenal "takut hantu", akan sulit diubah mindset-nya. Tapi, jika suka terlanjur, kita juga masih bisa meng-encounter pikiran tersebut kok. Kita terus asupi pikiran anak dengan hal positif sebagai penangkal "takut hantu"-nya itu. Misal, "Anis kan ciptaan Allah ya, sama dong hantu juga ciptaan Allah. Jadi kenapa Anis musti takut? Apalagi Anis usah pinter baca doanya."

4. Beri ruang kepercayaan pada anak. Terkadang, tega itu perlu. Untuk membiarkan anak belajar lebih banyak hal baru, juga agar mereka bisa dealing dengan situasi kondisi tertentu, membiarkan mereka memecahkan hambatan dan permasalahannya sendiri akan memberi banyak pembelajaran berbasis praktik pada anak. Jadi, orang tua yang baik itu bukan orang tua yang selalu membantu anaknya lho ya. Biarkan anak belajar dan bertumbuh dengan pengalaman. Selama tidak membahayakan, tidak apa-apa. Seperti saat Anis terbangun karena mimpi buruk dan menangis-nangis, aku memilih untuk membiarkan dia sambil melihat dari jauh. Bila kondisi terkendali, biarkan Anis memecahkan sendiri problemnya dengan mimpi tersebut. Ternyata, dia bisa tenang kembali kok tanpa campur tangan ibunya.

5. Niatkan yang kuat dan minta pertolongan Allah. Ini sih kunci ya. Untuk segala fase tumbuh kembang anak, agar kita bisa melewatinya dengan damai dan elegan, butuh pertolongan Allah dan niat yang kuat dulu. Tanpa niat yang kuat, kita akan cepat menyerah dan stres. Sama halnya saat menyapih, toilet training, food training, dibutuhkan kesabaran ekstra yang hanya bisa didapat dari niat dan tekad yang kuat, serta tentunya pertolongan Allah sebagai Maha Penolong atas segala sesuatu. Laa hawla wa laa quwwata illaa billaahil 'aliyyil azhiim. Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah/Tuhan yang Maha Tinggi lagi Maha AgungπŸ’™

Selamat menempa sabar terus, moms! Aku tahu ini semua jauh dari kata mudah, tapi bukan hal yang mustahil lho. Toh hampir semua ibu juga melewati masa-masa ini kan. We are really not alone. Nikmati prosesnya. Lelah? Wajar. Kesal? Manusiawi. Asal selalu sadar penuh aja bahwa ini semua tidak selamanya. Dan ketika fase-fase ini sudah terlewati, akan ada masa dimana kita pun merindukannya kembali. Lalu, saat itu kita semakin tersadarkan juga, bahwa anak kita semakin beranjak dewasa dan dengan waktu akan semakin menjauh dari kita πŸ₯Ί. Semangatttttt!!! πŸ’™

Tuesday, May 19, 2020

CERPEN : Kata dalam Tiga Minggu

Minggu, 19 April 2015
Rutinitas, lari pagi weekend di Sabuga. Ngejer sehat sembari sedikit cuci mata. Ya kali aja berat badan bisa terjun bebas ke angka 55. Pasti udah mirip artis Korea gue. Hehe. Eh jangan ah, katanya nanti juga ini badan bakal ngurusin sendirinya. Ya enggak heran sih. Ya udah kan ya dinikmatin aja. Pokoknya, jarum timbangan nyentuh angka 55, i will definitely take a special pic wearing my dream gown, best gown ever.

Anyway, si mbak nyiapin sarapan nasi goreng ikan asin kesukaan. Alamak, selera banget sih. Haha. Baru aja bahas turun berat badan, ehh udah craving makanan lagi. Hihi, gapapa lah ya. Selagi nikmat makan itu ada.

Senin, 20 April 2015
Seneng banget enggak sih bisa kembali ke kampus lagi. Duh, seriusan, kangen parah sih gue sama Luna, Xena, Amara, Dito, Yasir, kalkulus, kimia analisis, fisika terapan, haha, pastinya yang tiga terakhir hoax lha yaa. Lo juga pasti ngeuh kok, hihi. Tapi bener deh, suatu hal yang kita enggak suka ada kalanya menjadi hal yang paling kita rindukan. Hazek kan gue. 

Tau enggak, tau enggak, sekalinya ngampus, gue papasan doong sama Rey. Ahh, rejeki anak sholeha banget kan. Pake acara lempar senyum segala, sepaket pula sama lesung pipit yang malu-malu kucingnya. Yassalaaam. Kampus bersinar dibuatnya. Pengen banget gue kneeling trus berharap, Yaa Allah, please, freeze this moment for me, freeze the time instead. 

Selasa, 21 April 2015
Habis gelap, terbitlah terang. Pengen mainstream ah, berterimakasih dengan segala kekhusyuk-an untuk Raden Ajeng Kartini. Karena beliau, gue bisa terlepas dari beban "lo puber, lo nikah". Setidaknya, gue kenyang lah ngerasain nikmatnya (beneran nikmat nih???) belajar, dari TK, SD, SMP, SMA, kuliah. Bersyukur banget, gue bisa ngerajut lebih banyak cerita dibanding anak seusia gue zaman ibu Kartini. Eh btw, jadi kepo nih, nakalnya remaja zaman dulu tuh apa dong ya? Hehe, lancang bener sih Raaas.

Nah, ini ada berita agak positif nih dari gue. Apa coba? Haha. Yaayy, my first day in fully hijab. Alhamdulillaaah. Hidup kan musti ada perbaikan kan? Bener atau bener? Iyaa, tau banget gue masih beragajul, jauh dari anggun, tau guee. Lha ya tapi kan maksudnya kagak usah investasi dosa juga kan ya. Yang gue bisa lakuin, ya gue lakuin. Sekarang, saat ini, tanpa embel-embel "kalo nanti gue abla abla abla, gue mau berubah". Lo pikir Kamen Rider apa? To make a move for positivity doesn't need any reasons. Siapa yang bakal jamin sih besok lo masih bisa ongkang-ongkang kaki jajan bakso di kantin? Atau bisa cekikikan dengerin cerita garing Dito, yang ternyata, makin garing dari waktu ke waktu, haha, sorry Dit. None can guarantee for you to stay alive even a minute later. Noh, catet!

Rabu, 22 April 2015
Agak pening. Agak mual. Tapi, seblak mak Ahoy canggih sih. Bisa memutar balikkan segala keadaan hati, halaah. Nuhun mak Ahoy, you saved my life. Haha. Kebayang dong, kerupuk inul berpadu sengan kerupuk oren, diolah dengan bumbu rahasia serta ceplokan telur. Tak lupa tiktuk cikur dan cuanki lidahnya. Last but not least, kucuran micinnya yang seolah lo lagi main pasir di pantai pas nuanginnya. Tapi sudah beberapa waktu ini gue stop per-micin-an. Sebagai generasi micin ya gue agak kehilangan juga. Buat lo lo semua yang masih bisa pada makan seblak pake micin, lo beruntung! Haha. Tapi, kalo boleh gue sedikit saranin, kurangin lah ya konsumsinya. Syukur-syukur lo bisa nerapin diet no micin, gue bakal dukung lo, actually. Denger nih, mencegah itu lebih baik daripada mengobati, penyesalan itu selalu di akhir, karena kalo di awal ya namanya DP a.k.a Down Payment haha.

Kamis, 23 April 2015
Pindahan juga akhirnya. Ciee, kamar baru niyee. Haha. Must item enggak boleh banget sampe lupa dibawa. Sahabat paling setia, paling ngerti, dalam kondisi apapun. Diari. 

Sejak kapan ya gue nulis di diari gini? Kelas 8 atau 9 gitu? Intensnya sih gue hapal, pas kelas 10. Soalnya gue dapet hadiah perpisahan SMP gitu dari gebetan gue, isinya diari. Dari situ mulai rajin banget deh ngejurnal diri. Itung-itung lekat sama yang ngasihnya juga kan haha. Secara, dia lanjut SMA di Surabaya. Ujung-ujungnya dia macarin anak Surabaya juga kan. Kocak. Haha. Tapi, makasih banget deh buat dia, akhirnya gue bisa rutin nulis begini, nemuin sahabat yang sebener-benernya sahabat. Walau buku dari dia udah ke laut, penuh, dan ini bahkan udah diari ke 7 gue setelah pemberian dia. But, it is all because of him basically. I never feel alone.

Jumat, 24 April 2015
Mataharinya cantiiik banget hari ini, masyaAllah. Cerah, terik, tapi udaranya seger, enggak terlalu gerah. Gue duduk di kursi bawah pohon favorit gue. Spot baru yang gue temuin di tempat baru, ayey. Enggak tau kenapa kalo duduk di sini tuh semacam ide ngalir deras. Ide buat nge-halu sih sebenernya haha. If I... If I... Ahh, stop it, Saras. 

Untuk setiap helaan nafas yang masih gue hirup, gue sudah sangat bersyukur banget. Tapi, kalo bisa sampe traveling ke Bali sih bakal lebih syukur lagi, hihi. Kangen banget sama udara laut. Atau udara gunung. Kangen ngebolang, my another hidden passion. Inget banget perkataan om gue yang seorang pilot, dia bilang, "Bumi Tuhan itu luas sekali dan sangat unik. Apa enggak terlalu sayang untuk dilewati begitu saja?" Jujur aja, sejak saat itu gue makin gandrung sama yang namanya traveling. Gue kerja part time itu ini, nyelang sekolah sama kuliah, ya buat ini sebenernya. Jalan-jalan. Walaupun buat melanglang-buana sekali dua kali butuh nabung setahun penuh. Those were worth to wait deh. Mudah-mudahan, gue masih berkesempatan.

Sabtu, 25 April 2015
Kedatengan gank gisrek, ya Allah, bahagia banget, Alhamdulillaaah. Katanya, beres kuliah umum, yang hobi banget diadain Sabtu-Sabtu, mereka langsung mutusin bertamu, tepatnya, merusuhi gue haha. Tapi, relaaa deh gue mah sering-sering dirusuhin mereka. Obat mujarab. Bisa ketawa bebas, ngobrolin hal receh tapi ngehibur. Itu kan yang paling gue butuhin? Ya cuman, gue juga sadar diri sih. Mereka lagi sibuk-sibuknya perkuliahan kan. Praktikum sana praktikum sini. Kejer-kejeran tugas, quiz, jurnal. Makanya, mereka bisa bertandang kali ini aja gue udah sangat sangat terharu biru. Makasih kalian, yang walaupun gisrek tapi gue sayang. Makasih karena udah ada dibagian cerita hidup gue.

Hmm, terlalu seru hari ini, sampe lelah banget rasanya. Ekspektasi sih nuangin semuanya ke tulisan, sedetail mungkin, tapi seriusan, lemes nih gue. Kebanyakan ketawa dan terlalu excited sepertinya dengan hari ini. Cukup dulu aja deh, insyaAllah besok kita temu lagi dengan kata lebih banyak ya my didi, panggilan kecintaan gue buat diari hihi. Good night, world!

Minggu, 26 April 2015
Di tempat baru ini setiap Minggu jadi sepi. Kadang, kalo lagi butuh ketenangan ya nyenengin juga sih begini. Tapi, hidup gue apa enggak kurang tenang gitu sehari-harinya, haha. Pengen jogging tapi udah susah dapet ijin nih. Apalagi mulai besok insyaAllah program baru gue dimulai. Makin jadi tawanan perang. Ayoo, Saras, semangat! Stay positive! Biar programnya berjalan lancar dengan hasil baik. Aammiin. 

Btw, tumbenan banget mama masakin Kebuli kesukaan gue. Lengkap sama acar nanas, krengseng dan sambel bawangnya. Wih, mantap! Masuk wishlist sebenernya ini, belajar masak! Terutama masak makanan favorit hihi. Nanti kita eksekusi yaa, Ras. Sekarang sih satu-satu dulu aja rencana diberesin, okey

Grogi nih ngadepin besok. Kejutan apalagi ya yang bakal terjadi nanti? Well, insyaAllah.

Senin, 27 April 2015
Program baru, bismillaah. Pasrah aja Ras, nikmatin, slooow. Satu persatu eksekutor masuk dengan jobdesk masing-masing. Suasana yang khas, bau yang khas, semuanya familiar buat gue, tapi tetep aja selalu bikin tegang di setiap sesinya. 

Beberapa udah gue kenal baik, saking seringnya kita ketemu dan komunikasi. Dan untuk mereka, rasa terima kasih aja kayak enggak cukup. Mereka bukan sekedar petugas, mereka keluarga baru buat gue.

Proses berjalan lancar, mudah-mudahan segala sesuatunya semakin lancar ke depannya.

Selasa, 28 April 2015
Eh, kenapa ya ini lengan sama pipi gue. Kok keluar bercak hitam kayak kebakar gitu. Enggak gatel sih, sakit juga enggak. Tapi, please deh, muka dong ini muka. Tak elok aja gitu rasanya. Haduh. Musti mulai liat-liat produk skincare baru nih kayaknya. 

Ada kejutan nih anyway. Bener-bener bikin terkejut deh pokoknya. Yasir nge-tele gue, he said : Ras, dapet salam tuh dari Rey, dia nanyain kabar lo pas tadi bareng di lab tekim. Ohhh goshhh! Bentar-bentar, gue enggak salah baca kan ini?! Bener kan ini??? Kyaaa, iyaa tau gue semurah itu. Dikirim salam sama Rey juga ini jantung udah macem tuker tempat sesaat sama paru, gagal nafas, sesek nyesek boo. Gila aja sih, Rey, yang keliatan acuh. Kenal sebatas nyapa "hai" sambil tuker senyum. Kenal sebatas "pernah" sekali doang, iya sekali, satu kelompok pas kuliah dasar jaman jebot. Kenal sebatas, ahh pokoknya apalah seonggok Saras ini buat cowok kece otak cemerlang macem dia. Tapi, gue ngerasa fair aja meski harus mengagumi dari jauh. Dia pantes kok dapet rasa kagum dari gue. Gimana enggak, dia yang wow itu, mau-maunya ngebopong gue yang pingsan beres disentak sama senior pas masa orientasi. Pake acara ngebela gue segala dengan cool-nya. Gue juga cuman dapet cerita ini dari temen-temen yang liat sih, tapi itu udah sangat cukup ngebentuk imaji yang indah tentang dia buat gue. Gue emang enggak kuat sama nada tinggi, trauma berat keinget gimana papa sering banget bentak mama sampe sempet collapse karena bentakan, enggak sadar diri, yang ternyata itu adalah serangan jantung. Bersyukur mama gue masih dikasih umur panjang sampe sekarang, dan hopefully terus berumur panjang. Usia gue 8 tahun, nyokap bokap akhirnya cerai.

Rabu, 29 April 2015
Ngeliat mama masuk dengan raut muka begitu, gue udah bisa nebak berita macem apa yang diterima. Not a good news, for sure. Gue cuman bisa kasih senyum terbaik dan pelukan yang erat buat dia. Gue cuman enggak pengen dia sedih, dia kecewa. Dia alesan gue terus bertahan dengan apapun yang terjadi. Belum cukup, dan kayaknya enggak akan pernah cukup, balas budi gue ke dia selama ini. Bahkan, kayaknya juga, gue lebih banyak ngasih kesusahan buat dia ketimbang kebahagiaannya. Maafin Saras ya ma, makasih..... 

Kamis, 30 April 2015
Gimana rasanya ketolak cinta? Sakit kan pastinya? Tapi, pernah enggak ngerasain tubuh lo nolak diri lo sendiri. Jangan ditanya gimana sensasinya. Aneh, enggak berdaya. Lumpuh, tapi sadar. Laper, tapi enggak bisa dan enggak pengen makan. Ngilu, linu, tulang seolah dilucutin dari daging-dagingnya. Pening, tapi enggak tau pasti bagian kepala mana yang nyeri. Bingung. Itu yang terjadi siang tadi. Kaget luar biasa. 

Hari ini gue kaget, udah gitu aja.

Jumat, 1 Mei 2015
Alhamdulillaaah, untuk bulan baru. Semangat baru, harapan baru. Gue bersyukur buat kesempatan lain yang udah Tuhan kasih di bulan ini. Semoga semua bahagia, semoga semua beruntung.

Sabtu, 2 Mei 2015

Minggu, 3 Mei 2015

Senin, 4 Mei 2015
Hari-hari yang panjang. Terlalu sibuk sampe sulit menuangkan dalam kata. Alhamdulillaaah, makasih mama, makasih Allah, untuk hari ini. Makasih diri, lo udah berjuang keras sampe tahap ini.

Selasa, 5 Mei 2015

Rabu, 6 Mei 2015

Kamis, 7 Mei 2015

Jumat, 8 Mei 2015

Sabtu, 9 Mei 2015
Hujan yang hangat, rintikan air turun diikuti aroma tanah dan sinar matahari yang tetap bersinar melawan mendung. Kau lah sinar matahari itu, Saras. 

Senyum yang ku tahu mengandung unsur paksaan, juga keibaan, entah kemana perginya ia kini. Aku rindu. 

Iya, tersisa 54.6 kilogram kini tubuhmu, gaun yang kau persiapkan itu seolah tak ada arti lagi. Masih tetap rapi tergantung di lemarimu. Tapi, kau lebih memilih untuk mengenakan gaun baru, dengan warna putih yang sama, tanpa jahitan. Hanya berhias dua pita di kedua sisi berbeda. Aku bahkan tak sanggup hanya sekedar mengambil gambar dan mengabadikannya. Berat, sayang.

Aku lega saat melihat selang-selang itu dicabut satu per satu, juga luka yang tiada tara tertoreh sembilu kasat mata tepat di jantungku. Bagaimana sekarang? Lebih baik kah yang kau rasa, sayang? Aku sangat berharap begitu.

Yang kita lakukan adalah ikhtiar, mungkin lebih ke obsesiku. Teringat betapa sudah lelahnya engkau dengan usaha-usaha yang telah aku jejalkan padamu. Tetapi, demi ketenanganku, kau jalani tanpa ragu, tanpa keluh. Terima kasih, sayang. Ternyata ini akhir dari kisahnya.

Bukan karena kau kalah. Justru kau sangat luar biasa hebat mampu bertahan sejauh ini. Ini lah kemenanganmu, sayang. Tempat terbaik sudah dalam genggamanmu.

Pengobatan terakhir kemarin, aku tahu sangat mengganggumu. Efek samping yang tak mengenakkan seperti bom menderu tubuh ringkihmu yang kian menyusut. Tapi, hanya itu yang bisa aku lakukan, sayang. Aku hanya ingin kau tetap ada, menemaniku lebih lama. 

Maaf, jika ternyata tubuhmu pun sudah terlalu lelah menghadapi semua. Tubuhmu sendiri menolak dengan caranya, pengobatan yang kata mereka, termutakhir dari negeri seberang. Ooh, begitu rupanya cara dirimu membuatku mengerti. Kau hanya ingin segala sakit ini terhenti. Dan kini kau telah di sana, tanpa sakit, tanpa nyeri, tanpa rasa tak menyenangkan lagi.

Selamat sayang, ucapkan perpisahan terakhir dan selamanya pada sel kanker yang dengan ganas telah menggerogoti kelenjar getah beningmu. Biarkan limfoma kehilanganmu, seperti ku kehilanganmu dan tak tahu lagi bagaimana cara untuk hanya sekedar memandang wajahmu.

Hari ini, tanah basah itu menyelimuti seluruh tubuhmu. Ditemani rintik-rintik hujan dan sinar matahari yang tetap terik. Seolah semua berebut untuk mengantar kepergianmu. 

Bahagia di sana, sayang.

Hanya lewat beberapa jam, tetapi aku sudah sangat merindukanmu.

Izinkan bersama ini ku tutup kisah di diarimu ini, nak. Mama sayang kamu, Saras, selalu.

Monday, May 11, 2020

I Got My Passion on Me

Hari-hari yang kurang memungkinkan untuk menulis dengan tenang, dengan fokus penuh. Yap, jadwal super padat dari packing untuk pindahan, mengurus segala peringkilan yang masih kurang di tempat baru, tugas domestik harian, ditambah dengan tragedi sakit gigi yang sukses bikin pipi makin chubby sebelah selama dua hari ke belakang. Sudah jatuh, tertimpa tangga, cocok pepatah itu dinobatkan. Tapi, ada suatu hal yang menggelitik. Setiap kali aku melihat aplikasi blogger-ku, selintas saat aku membuka aplikasi lain, ada yang hilang rasanya. Juga ada hasrat untuk menuangkan kata demi kata. Tetiba saja ide-ide muncul di kepala, tapi disayangkan, ada prioritas lain yang harus diselesaikan. Aku jelas tidak mau rugi, untuk sementara, hanya ku tulis setiap ide yang bermunculan dibalik rasa rindu untuk menulis ku, sambil sedikit berkompromi dengan diri, "Hey diri, sabar ya, selesaikan dulu to-do-list mu, insyaAllah secepatnya kau bisa bermain-main kembali dengan kata.

Namun, rindu itu berat, Dylan, lagi-lagi ku kutip perkataanmu yang ternyata benar itu. Seperti kali ini, jam dinding sudah menunjukkan angka 11.16 malam, tidak tersisa banyak waktu untuk menuangkan dan menyetorkan sedikit buah pikiran hari ini di grup literasi yang ku ikuti. Tapi, ini rindu sudah terlalu rindu. Ahh,  aku akan tetap menulis, mengikuti hasrat di sela lelahku dan sesekali cenut-cenut datang di pojok mulutku. Setor atau tidak, aku hanya ingin menulis. 

Akhirnya, aku rebahkan diri ini. Bukan untuk tidur, masih ada hal yang harus dikerjakan. Tetapi, aku segera membuka aplikasi blog editor-ku. Sangat bersemangat, ada yang terpacu, ya benar, hormon bahagiaku sangat deras mengaliri setiap ruas saraf dan pembuluh darahku. Aku akan menulis, aku menulis, bodo amat tak sesuai list ide di catatan ku, aku hanya ingin membiarkan free spirit dalam diri ini menikmati setiap jejakkan kata yang seperti sudah sangat lama tertahan di sana.

Aku suka menulis, sejak lama, itu betul. Tapi semakin berbinar-binar sejak mengikuti Kelas Literasi Ibu Profesional, suatu wadah yang menghimpun para pecinta kata. Luar biasanya, tak sedikit dari anggotanya adalah penulis kaliber atas, masyaAllah. Feels so blessed to be here. Aku bisa belajar banyak dari mereka, aku pun bisa menempa diri sendiri dengan bahagia. Tanpa tekanan, melakukan apa yang aku suka, menulis, sembari sesekali bertukar pikiran dengan topik serius hingga sekedar tentang drama Korea. Semakin ku menemukan passion-ku akan menulis di sana.

Kali ini lah bukti nyatanya. Aku tak pernah merasa serindu ini untuk sekedar menulis. 

Untuk ku, menulis itu benar-benar seperti terapi. Penyeimbang antara lahiriah dan batiniah. Bahkan terkadang mampu mengambil alih amarah, kecewa, sedih. Sesuai fungsi terapeutis bukan?

Ahhh, Alhamdulillaaah, lega. Rinduku tersampaikan.  Pukul 23.48 dan aku masih terlalu asyik dengan jari jemari menari, mungkin serupa aerobik pun, saking berkecepatan tinggi. Lelah, ngantuk, mereka seperti sudah paham untuk bisa sedikit bersabar, karena sang empunya jasad ini sedang membangun kembali mood-nya dengan merajut kata, untuk esok hari.

Thursday, May 7, 2020

Aku Anak Rimba, Aku Rindu Sangatta

Tercetik oleh salah seorang dokter yang aktif menulis di grup Literasi yang aku ikuti, ahh benar, aku kangen alam.
Pada dasarnya, aku ini anak rimba. Sejak kicik aku sudah diajak untuk hidup berpindah-pindah, dari kota besar hingga pelosok. Tapi sejujurnya, yang paling menyimpan kesan terdalam ya saat di hutan itu. 

Adalah Sangatta, kota pembabakan tambang batu bara di Kalimantan Timur. Aku pindah ke sana saat kelas 5 Sekolah Dasar. Kelas 6 sempat kembali ke pulau Jawa, tetapi hanya sampai lulus dan kemudian ke Sangatta lagi, hingga menyelesaikan strata Sekolah Menengah Pertama. Sekitar empat tahun melewatkan masa di sana. Dua kata menggambarkannya, "luar biasa".

Pertama kali menjejakkan kaki di Sangatta, kaget tak terbendung. Terbiasa dengan kehidupan kota yang kemudian harus berada di kota kecil dikelilingi hutan. Sungguh ini hutan nyata ya, bukan kaleng-kaleng. Lebih kaget ketika masuk ke rumah awal, kebetulan rumah dinas jatah papaku masih di renovasi jadi sementara waktu kami tinggal di rumah kontrakan, di luar "site area", alias di luar daerah perusahaan. Jadi, di Sangatta itu seperti ada kota dalam kota. Kota utamanya adalah kabupaten Sangatta itu sendiri, tetapi di dalam kabupaten itu terdapat teritori perusahaan yang segala bentuk mandatorinya berada di bawah naungan perusahaan tambang batu bara terbesar saat itu, sebagai pembabak kota Sangatta. Bisa dibilang, mungkin Sangatta tidak akan benar-benar ada jika perusahaan tersebut tak ada.

Rumah kontrakan ini agak kurang familiar untukku. Terbuat dari kayu, berupa rumah panggung. Di daerah yang, menurutku, agak kumuh. Padahal kata papaku, ini masih mendingan dibanding kontrakan lainnya. Jarak antar satu rumah ke rumah lainnya lumayan berjauhan tetapi tidak ada pekarangan pribadi. Satu jalan itu ya begitu konsepnya. Best part-nya, interior rumah tersebut sangat jauh dari rumah-rumah kami sebelumnya. Kontrakan ini memang full furnished, tapi furnitur di dalamnya agak menyeramkan. Penuh hiasan kepala hewan buruan yang ditempel di dinding, juga botol-botol minuman keras berdebu. Underestimate, hari pertama dipenuhi air mata. Walhasil, hari pertama kami semua mengungsi ke hotel haha.

Selang tiga minggu, Alhamdulillaaah akhirnya rumah dinas pun beres. Tanpa tunggu, kami langsung pindah. Masuk gate site area, semua seperti berubah. Kekurangtertataan yang kami dapat di luar, berputar 180 derajat di sini. Bahkan aku bisa klaim kota mandiri ini sebagai kota paling rapi yang pernah aku tinggali. Bukan daerah metropolitan, atau dengan pusat perbelanjaan besar, tapi semua sangat tertata, dengan fasilitas lengkap. 

Town hall sebagai city center, jangan dibayangkan seperti Bundaran HI atau kawasan Asia Afrika Bandung. Tapi arti city center di sini benar-benar seperti pusat aktivitas kota, dari toko swalayan, toko baju, toko buku, food stalls, pasar tradisional yang modern, koperasi pegawai, bank, studio foto, taman bermain anak, pusat bantuan darurat (seperti damkar), klinik SOS, pusat kebugaran super lengkap; kolam renang, lapangan tenis, sepakbola, voli, ada juga lapangan baseball, basket, gimnastium, tetapi agak terpisah, berjarak sekitar 2 KM. Yang paling aku suka adalah sekolahnya. Sekolah terlengkap yang pernah aku nikmati.

Sebagaimana keadaan kehidupan di tengah hutan, aku pun menjadi sangat akrab dengan alam. Acara sekolah bukan sekedar mengunjungi museum, karena memang tidak ada, tapi kami ke pantai, ke taman nasional, yang merupakan hutan lindung di situ. Berguru anggrek liar, berbagai bentuk jamur hutan, bahkan tak jarang berpapasan dengan hewan-hewan yang sangat bahagia karena bisa hidup bebas di habitatnya, adalah salah satu, dua, tiga, agenda dalam pelantikan sebagai anggota Palang Merah Remaja, Pramuka, klub Pecinta Alam, bahkan sekedar menjadi anggota OSIS. Jika tak begitu, kami pun sering mengadakan acara berkemah di pelataran sekolah, yang luar biasa luas, di hutan kota, di pantai, yap, meskipun bentuknya adalah pantai buatan tetapi sangat pantai sekali, lengkap dengan hutan bakau yang mengelilinginya. Bersapa dengan biawak malam harinya adalah hal biasa. 

Aku anak alam, aku anak rimba, aku bahagia. Bahkan kadang aku berharap, Anis pun akan bisa merasakan pengalaman serupa. Bukan sekedar tahu tentang mall, atau video game saja. 

Wednesday, May 6, 2020

CERPEN : Tabir dan Kenyataan

Kugores. Semakin lama semakin panjang dan dalam. Hingga terasa hangat yang mulai menetes, turun terjatuh menodai selimut putih gading milikku. Noktah merah. Dan lalu kusadari kembali, ini sudah cukup. Ku letakkan jarum peniti itu di atas buku harian berwarna cokelat menguning, warna dedaunan kering.

***
Kicau burung parkit yang biasa membangunkanku, hari ini tak terdengar. Baiklah, aku terlambat. Ku lirik jam digital melalui ponselku, astaga, 8.15 AM. Seharusnya aku bangun lebih awal pagi ini. Fawaz, suamiku, akan pulang. Ya, kami adalah pejuang Long Distance Marriage, sudah berjalan cukup lama. Tepatnya, sejak ibuku didiagnosis mengidap Schizophrenia. Kakakku yang bertugas jauh di salah satu negara Semenanjung Arab sana kurang memungkinkan untuk memberikan perawatan dan perhatian intensif untuk beliau. Terlebih kendala keluarganya, seorang istri yang sedang hamil tua dengan 2 orang anak yang masih bersekolah, terlalu rumit untuk sebuah kepindahan tiba-tiba. Aku yang merupakan anak ke-dua, bungsu, juga satu-satunya perempuan, pastilah diharapkan kesediaannya. Bersyukur memiliki suami yang sangat mencintai orang tua seperti Fawaz, setidaknya untuk hal ini amat sangat ku syukuri. Fawaz yang bekerja di perusahaan kilang minyak, di daerah Kalimantan Timur sana, dengan ikhlas merelakanku kembali ke Jakarta, dan membiarkan dirinya menjadi "suami single". Dengan penuh kerendahan hati aku sangat berterimakasih padanya, sungguh.

Bergegas ku bersiap untuk rentetan meeting hari ini. Well, sekedar informasi, aku bergelut di bidang konsultasi desain interior, sebagai pekerja freelancer. Ketika hidup bersama Fawaz di Balikpapan saat itu, aku mengabdikan diri sepenuhnya menjadi istri di rumah. Berusaha menjadi "nyawa" terbaik semua; suami dan anak semata wayang kami, Havana. Sejujurnya, tak sepenuhnya inginku. Aku yang terbiasa independent financially dan juga sibuk sejak zaman kuliah dulu, agak "kurang menerima" kenyataan bahwa Fawaz menginginkanku menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Alasan klasik, "Havana membutuhkanmu dan aku masih sangat mampu menopang biaya rumah tangga ini". Memang perkara ini tidak sempat kami diskusikan dengan baik sebelum menikah. Maklum saja, perjodohan antara kami berjalan begitu cepat. Tak lebih dari 3 bulan perkenalan, kami menikah.

"Apa yang membuatmu menerimanya, Ning?" Pertanyaan yang sebenarnya aku sendiri tak tahu jawabannya. Yang kuingat, ibu sangat terpesona pada kesantunannya, juga cara dia mencintai ayah ibunya. Kala itu, suara ibu yang paling mempengaruhiku. Bukankah ridho seorang ibu akan menjadi kebaikan bagi anaknya?

***
"Baru pulang mas? Udah makan?" Kulihat jam di dinding, 11.23, tujuh menit menuju pergantian hari. Kesibukan bukan hal baru untuknya. Dengan office hours 08.00 - 17.00, merupakan hal sangat langka dia bisa meninggalkan kantor pukul 17.00 tepat. Namun, hampir tengah malam pun bukan kebiasaan lumrah baginya. Setidaknya pukul 21.00 dia selalu sudah berada di rumah. Dan hari ini adalah kali ke-tiga dalam seminggu terakhir dia pulang terlalu larut malam. 

"Mas, kerjaan lagi banyak ya di kantor? Pulang larut, muka lusuh, ada masalah?" Akhirnya ku buka pertanyaan juga. "Iya, lagi banyak audit, maaf ya, besok-besok kamu enggak usah nungguin aku, kalo jam 9 aku belum pulang, kamu istirahat aja." Kemudian dia menarik selimutnya dan membelakangiku. Tak lama dari itu, dengkuran terdengar.

Sejak malam itu, Fawaz pulang semakin larut dan hampir setiap hari. Tak masalah bagiku jika semuanya beralasan. Namun, banyak kudapati kejanggalan, yang dari waktu ke waktu kian mengusikku. Muka yang semakin lusuh ketika sampai rumah, perilaku yang datar dan dingin padaku ketika malam dan kembali lembut dan normal saat pagi berangkat kerja, juga pernyataan Sena, istri dari Bhakti, rekan kerja Fawaz, yang menyatakan bahwa tidak ada kesibukan audit atau apapun itu, dan katanya juga, baru saja dicairkan bonus tahunan beberapa hari lalu. Bukan, tentu bukan aku mengharapkan uang dari bonus itu, tapi terlalu aneh bagiku, bahwa dia tidak ada sedikitpun bahasan mengenainya. Padahal biasanya segala sesuatu terbuka mengenai keuangan keluarga. Ada apa ini? Mungkinkah dia....

Hujan tak biasanya menyapa pagi di kota ini. Lumayan membawa sedikit kesejukan di tengah panasnya Balikpapan. Havana masih tidur dengan pulas setelah begadang semalam karena demam. Ahh, aku bisa sejenak beristirahat setelah melepas Fawaz ke kantor nanti. Namun, tetiba ku dengar suara dari kamar mandi, seperti seorang yang siap memuntahkan seluruh isi perutnya. Segera ku hampiri. Berlututlah Fawaz dengan wajah menunduk menghadap lubang toilet. Cairan kuning kecokelatan terus keluar dari mulutnya. Aku mendekat, memberi pijatan pada tengkuknya. Setelah isi perut seakan habis, dia terkulai. Segera ku papah dia menuju sofa ruang tengah, ku baringkan dengan posisi ternyamannya. Ku siapkan teh hangat dan minyak kayu putih untuk membuatnya merasa lebih baik. Sedikit ku pijit-pijit punggungnya, tak lama dia tertidur. 

Ponsel Fawaz berdering. Terlihat nama Office Geri di layar. Aku mengenalnya. Pernah sekali Fawaz mengajaknya makan malam di rumah kami. Geri adalah rekan satu bagian dengan Fawaz di kantor. Aku pikir, biar ku angkat saja teleponnya, sekaligus ku kabarkan bahwa Fawaz dalam kondisi kurang sehat, dia butuh istirahat. 

"Ya ampun, Bro, akhirnya di angkat juga. Kemana aja sih? Udah 2 hari enggak masuk kerja, dihubungin susah. Tuh si Bos udah makin garang aja nanyain progres laporan terakhir. Kan sebagian data mentahnya di elu. Wah, kacau nih!"

"Oh, maaf. Ini Kemuning. Kebetulan Fawaz keliatan kurang sehat, tadi sempet muntah dan sekarang dia tertidur. Saya angkat teleponnya karena sekalian buat menginformasikan juga ke pihak kantor."

"Eh, maaf maaf. Saya pikir tadi Fawaz yang angkat. Ooh, jadi dia sakit? Aduh, kenapa dia enggak ngabarin kita sih. Apalagi ini kan udah hari ke-tiga dia absen. Seharusnya pihak personalia juga tau."

"Hari ke-tiga? Hmmm, kemarin dan kemarinnya lagi dia tetep ngantor kok, baru hari ini dia sakit di rumah."

"Oh. Kok aneh. Fawaz udah enggak masuk kantor sejak 2 hari lalu, handphone-nya pun susah dihubungi. Wah, gini aja ya mbak Kemuning, saya minta tolong, sampaikan ke Fawaz untuk menghubungi saya secepatnya saat dia sudah bangun. Makasih banyak ya mbak."

Sambungan telepon sudah terputus. Tapi ponsel masih tetap menempel di telingaku. Kaget. Bingung. Kemana Fawaz dua hari ini? Bukankah dia tetap izin berangkat kerja seperti biasa kemarin?

"Mama mama, Vana pingin susu!" Havana sudah bangun. Dia membawaku kembali menapak bumi. Ku letakan ponsel Fawaz di rak buku semula dan membuatkan secangkir susu untuk Havana. "Yaa Tuhan, ada apa ini sebenarnya?" Batin dan pikiranku sibuk.

Membersamai anak 3 tahun memang menyita banyak perhatian, ditambah dengan mengurus rumah tanpa asisten rumah tangga. Sehari rasanya kurang untuk hanya 24 jam. Fawaz terbangun, dan kehidupan berjalan normal. Kuajak dia ke rumah sakit untuk pemeriksaan tapi dia menolak. Dia berkata hanya butuh istirahat sejenak. Pikiran yang mengusik pun seakan tenggelam, oh bukan, terpaksa tenggelam, oleh kesibukan menyiapkan makan siang semua, menyuapi Havana, menemaninya bermain, mengeloni tidur siangnya, membersihkan rumah yang terus berantakan oleh balok mainan atau masak-masakan, dan segudang kegiatan harian lainnya. Tanpa terasa matahari pun tak lagi menampakan wujudnya. Siang berganti senja, senja berganti malam.

"Mas, gimana? Sudah enakan?"

"Aku sudah jauh lebih baik. Maaf ya jadi lebih merepotkanmu hari ini."

"Mas kok ngomongnya gitu sih. Syukurlah kalo memang sudah enakan. Hmm, mas, boleh aku tanya sesuatu?"

"Mau nanya aja sampe permisi hehe, ya tanya aja dong, Ning."

"Tadi pagi waktu kamu tertidur lagi, Geri nelpon, aku angkat aja, aku pikir sekalian aku bisa mengabari kantor bahwa kamu sakit. Tapi dia......" Belum sempat ku selesaikan kata-kataku.

"Sejak kapan kamu jadi lancang begitu, Kemuning? HP itu privasi ku, baiknya kamu memegang dengan seizinku! Aku juga enggak suka sentuh-sentuh HP -mu kan? Karena aku menghargai privasimu!" Entah apa yang membuatnya tiba-tiba terduduk kembali saat sudah rebahan menuju tidur, lalu bersikap offensive seolah yang ku lakukan adalah suatu kesalahan besar. Aku terpaku. Tak bisa melanjutkan kalimatku. Fawaz lelaki yang tegas, aku tahu itu, tapi dia bukan orang  temperamen seperti ini.

***
"Selamat siang, dengan mbak Kemuning?" Nomor tidak ku kenal meneleponku. Aku pikir, mungkin client atau rekanan. "Betul, saya Kemuning. Maaf ini dengan siapa? Ada yang bisa saya bantu?" Tangan ku masih sibuk menulis deskripsi rancangan desain permintaan seorang client. "Saya Dinda, teman mas Fawaz. Saya mau minta maaf secara personal sama mbak Kemuning." Lalu, tut tut tut. Sambungan terputus. Langsung ku buat sambungan balik ke nomor bersangkutan. "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, silakan coba beberapa saat lagi." Tit

Nomor telepon asing. Seorang wanita. Teman. Meminta maaf.

Ku putar haluan. Segera ku lakukan speed dial nomor 1, berusaha tersambung ke "my hubby". Nada sibuk. Ku coba kembali. Masih. Hingga usahaku kesekian kali, akhirnya nomor itu tidak aktif. "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif. Co......." Dengan cepat ku putus sambungan tak terjawab yang mulai menaikpitamkan tersebut. "Sialan!!" Tanpa sadar umpatan terlontar dari bibir Surakarta-ku, yang sangat tabu dengan itu.

Ku tinggalkan rancangan desain yang sedang digarap. Hanya ponsel, dompet dan kunci Nissan yang ku bawa bersamaku. Di balik kemudi, aku hanya terdiam. Aku tak tahu harus kemana, tapi adrenalinku terus memburu dan memaksa untuk maju. Cepat nyalakan mesinnya dan melaju, tancap gas sekuat kau bisa, Kemuning. Tanpa alasan, tanpa tahu arah tujuan, decitan roda Nissan mengiringi gerungan mesin, meninggalkan tempat kini ku berada, laju, sangat laju.

Siapa wanita itu? Maaf untuk apa? Fawaz dan dia? Apa sebenarnya di balik ini semua? Mengapa terlalu banyak rahasia?

Mataku seperti tertuju pada hamparan jalan besar nan lengang di siang itu. Cukup lengang hingga mampu memfasilitasi laju mobilku dengan kecepatan 100 km/jam pada speedometer-nya. Namun, pikiranku meliar. Penuh pertanyaan. Semakin bertanya, semakin gas ku tancap, tanpa terasa. Seolah tiap pacuannya menghempaskan sedikit beban di dalam jiwa.

Telepon Fawaz tetap tidak aktif. Entah sudah berapa ribu kali ku coba menghubungi, nihil. Sudah lewat 5 jam sejak wanita itu meneleponku dengan misterius, dan selama itu pula aku tak tahu bagaimana nasib suamiku. Andai bisa, aku ingin menandangi kantornya saat ini juga. Tapi kami memiliki jarak terpisah samudera. Arghh

Kemuning, tenang. Tunggulah dia. Malam ini dia akan kembali, bukan? 

Bandara. Ya, benar. Aku akan menunggunya di bandara. Aku sudah tak bisa menunggu terlalu lama lagi. 

"Ning, kemana malam-malam begini? Bukannya Fawaz mau pulang?"

"Iya, bu. Kemuning mau jemput mas Fawaz di bandara ya. Havana sudah tidur, bu. Ibu juga istirahat ya. Assalamu'alaykum."

Aku tak tahu apa yang ibu katakan selepasku. Semua seperti bias. Otak ku sesak. Yang ada hanya aku, tentangku. Juga ngiangan pertanyaan yang tak berhenti menjegalku.

Terminal kedatangan domestik dari maskapai yang selalu menjadi langganannya. Aku disitu. Menunggu. Setelah ku pastikan jam penerbangan Balikpapan - Jakarta malam itu, sesuai yang Fawaz kabarkan tempo hari.

Semua penumpang pesawat dengan penerbangan Balikpapan - Jakarta sudah keluar gate terminal kedatangan. Untuk memastikan, aku tanyakan pada petugas yang sedang berdinas disana. Semua sudah keluar. Baik penumpang dan bagasi, semua. Lalu kemana suamiku? Kemana Fawaz?

Aku hanya duduk di kursi penunggu antrian bus Damri, tepat di seberang terminal kedatangan. Kosong, tak seperti siang hari. Aku diam, duduk. Tatapanku kosong. Cemas, kesal, bingung, tak berdaya. Semua rasa membuatku lemas. Aku hanya ingin diam saat ini. Mungkin akan tetap diam disitu hingga fajar menyingkap, bila saja tak ada telepon dari ibu, menanyakan keberadaanku.

"Lho, mana Fawaz, nduk?"

"Enggak ada, bu. Dia ada tugas mendadak jadi menunda kepulangan." Sudah pasti, aku berbohong. "Muning ke kamar dulu ya, bu." Kutinggalkan saja ibu kebingungan di ruang tengah yang sudah temaram.

***
"Mas, hari ini bisa pulang agak cepat? Aku kurang enak badan. Havana bisa main denganmu dulu sebentar?"

"Aku usahakan ya, tapi aku enggak janji. Beberapa superintendent baru sudah datang, aku harus men-training mereka."

Dan akhirnya aku disini. Sendiri. Oh, tidak. Dengan puteriku, Havana. Aku cek termometer, aku demam. Kepalaku berat sekali. Setiap bangkit dari duduk atau rebahan, bumi seakan berputar. Gawat, vertigo-ku kambuh. Havana yang sangat bertingkah hari ini, benar-benar mengujiku. Sebenarnya bukan salah dia. Yang dia lakukan hanya selayaknya anak usia 3 tahun kebanyakan. Banyak bereksplorasi, mulai membantah, moody yang tak bisa ditebak. Secara teori aku paham tentang itu, buah melahap buku parenting dan kuliah daring yang kadang aku ikuti. Tapi, kehidupan tak semudah teori rupanya. Walau tekadku memaksa tuk menjadi ibu sempurna bagi Havana, nyatanya, kondisi yang "apa-apa serba sendiri" ini merobohkan idealisku. Jika sudah begini, aku hanya bisa melarikan diri ke kamar mandi, dan menenangkan diri. 

Menangis. Berteriak dengan membekap mulutku. Bahkan tak jarang, ku benturkan kepala ke dinding. Tak ada rasa sakit sama sekali. Tetapi saat ku bercermin, kemudian kutemukan beberapa lebam di dahi. 

Semakin parah sejak Fawaz berperilaku aneh akhir-akhir ini.

***
Alih-alih tertidur, saat tiba di kamar aku segera membuka aplikasi penyedia jasa penerbangan dari ponselku. Booked. Payment, confirmed. Satu seat untuk penerbangan Jakarta - Balikpapan. Lusa, flight terpagi, pukul 04.55 AM. Besok aku akan mendatangi adik bungsu ibuku di daerah Serpong, untuk memintanya menemani ibu dan Havana sementara waktu. Sembari menyiapkan beberapa hal sebelum aku meninggalkan Jakarta keesokan harinya.

***
Setahun sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di bandara ini. Sepinggan. Tak terlalu banyak perubahan, kecuali beberapa ekspansi ruangan yang membuatnya semakin luas, dengan kondisi penumpang tidak sepadat di Soekarno-Hatta pikirku.

Pukul 08.05 WITA. Sebaiknya aku langsung mendatangi kantor Fawaz dan menemuinya disana. Ya, ide baik. Aku pesan lewat aplikasi, mobil yang akan mengantarkanku ke kantor suamiku.

Suasana kantor di pagi hari selalu terlihat "hidup" dan sibuk. Biasanya, mereka akan mengadakan apel pagi sebelum memulai hari. Petugas keamanan yang berjaga di pintu masuk menyapaku. "Ada yang bisa dibantu, bu?" Wajah yang asing. Pasti telah terjadi pergantian karyawan selama aku pergi. 

"Ah, iya. Saya mau bertemu suami saya, Pak Fawaz. Bisa?"

"Oh, sebentar saya akan hubungkan ke bagian receptionist. Sudah ada janji temu sebelumnya?"

"Belum, pak. Saya dadakan datang, kebetulan saya dari luar kota."

Belum sempat menuju receptionist, Geri keluar dari pintu lift dan melihatku.

"Kemuning?"

"Ah, hei, Ger. Kebetulan banget kamu ada. Aku mau ketemu Fawaz, dia sudah dateng?"

Geri mengernyitkan dahi.

"Bukankah ini jadwal cuti pulang dia? Aku pikir juga begitu. Karena dia juga enggak datang di apel tadi."

Seperti ada setruman listrik menghujam dada. 

Aku bertolak menuju rumah dinas kami. Perutku seperti diaduk. Mual. Tanpa terasa ku gigiti jari jempol tangan kananku, hingga terkelupas, berdarah. Kubiarkan saja. Aku tak peduli dengan jari sialan ini.

Lampu teras rumah dinas masih menyala. Seperti sedang ditinggal pergi jauh pemiliknya. Aku memastikan. Berputar aku menuju pintu belakang. Ku coba membuka pintu, klek, terbuka. Aku selalu tahu kebiasaannya. Saat berada di rumah, pintu belakang jarang sekali dia kunci. 

Aku segera menyisiri ruangan di lantai 1, sepi, kosong. Bergegas ku menuju lantai 2. Kamar kami, dulu, kosong. Namun, kamar Havana terbuka sedikit pintunya. Aku mendekati. Ku buka lebih lebar. Ya Tuhan, apa ini?

Kasur berantakan. Gorden yang tertutup meski matahari telah tinggi. Sampah kertas, plastik makanan, botol dan kaleng minuman, berserakan. Dan, di atas meja kutemukan barang yang terlihat asing bagiku. Barang yang selama ini hanya ku lihat di film ataupun berita. Satu set alat hisap juga beberapa bungkus kecil bubuk putih di sebelahnya. Serta beberapa tablet berukuran kecil berwarna putih.

Kepalaku pening. Tak bisa ku bendung isi perutku yang sedari tadi teraduk-aduk. Berlari ke kamar mandi, ku muntahkan semua. Ketika ku dengar langkah di belakangku, "Fawaz...." Aku panggil namanya, tapi yang tampak justru sosok lelaki lain. Aku kenal dia. Teman satu klub tenis Fawaz, Diandra. "Kemuning?" Tak bisa dia sembunyikan kekagetannya. Tak lama kemudian, Fawaz tampak di belakangnya, dengan wajah yang tak kalah kagetnya.

"Tolong jelaskan! Apa ini?!" Mereka terdiam. Hanya duduk di sofa ruang tv dan memandangi karpet yang berdebu tebal. 

"Fawaz, aku mohon, jangan kau bunuh aku perlahan dengan tetap diam seperti itu. Ada apa ini??!" Air mata sudah tak terhitung jatuh berderai. 

"Kemuning, maafkan aku. Maafkan Fawaz. Ku mohon!" Diandra tetiba berlutut di hadapanku, menangis. 

"Tidak, Kemuning. Ini salahku. Maafkan aku. Kau boleh hukum aku, apapun. Tapi tolong jangan tinggalkan aku, dan jangan sakiti Diandra. Please....."

Setelah semua yang terjadi, dia masih memintaku untuk TIDAK MENYAKITI Diandra? Seperti tidak peduli pada sakit yang ada padaku.

"Kemuning, maafkan aku. Ini aib, ini salah, tapi aku sangat MENCINTAI Fawaz, mungkin seperti kau mencintainya."

Ada yang menghantam keras sekali jantungku. Sakit. Kemudian gelap.

***
Memaafkan itu sulit, tapi kulakukan. Namun, terlalu berat bagiku menerima kenyataan. Menerima dirinya, apa adanya, masih berupa kemustahilan, untukku, saat ini.

Wanita yang menghubungiku kala itu, dia lah istri Diandra. Dinda, yang menurutku adalah wanita hebat. Dia telah lama mengetahui ketidaknormalan pada suaminya, tetapi dia tetap mendampingi. Dia selalu berpikir bahwa suatu saat semua kan kembali seperti semula. Cintanya pada Diandra mampu mengenyahkan segala sakithatinya. Dia yang menghadapi kenyataan bahwa suaminya adalah pemakai obat-obat terlarang. Dia yang menghadapi kenyataan bahwa cinta suaminya telah terbagi dua, untuk lelaki lain, Fawaz, suamiku.

Kini, aku berusaha menjadi bentuk lain dari Dinda. Tapi bukan karena cintaku, ya mungkin masih tersisa cintaku diantara ke-jijik-an ku padanya. Namun, aku bertahan untuk Havana. Dia masih butuh sosok ayahnya. Tak lagi banyak pintaku pada suami tercinta, 

tolong, setidaknya, berpura-puralah menjadi ayah normal untuk Havana.

Monday, May 4, 2020

Resep Ibu Anis : Brownies Panggang


Selamat menunaikan ibadah shaum Ramadhan bagi yang melaksanakannya! Btw, shaum itu identik dengan yang manis-manis kan yaa. Nah, kali ini ibu Anis mau berbagi resep yang sudah teruji langsung di dapur mungilku. Panganan yang akan dibahas adalah Brownies Panggang. Wah, kalo di rumah sih enggak ada tuh yang enggak suka bronis. Dari ayah, ibu dan bahkan Anis-nya pun demen banget sama kue padat kaya akan rasa cokelat tersebut. Dibandingkan dengan bronis kukuspun, bagi kami, bronis panggang seperti lebih unggul di lidah. Tekstur krekes-nya itu lho yang ngangenin

πŸ₯§ Brownies PanggangπŸ₯§
Bahan yang digunakan :
125 g cokelat batang
120 g gula halus
100 g butter / mentega
100 g tepung terigu protein sedang
40 g cokelat bubuk
2 butir telur ayam
Optional topping : chocochips, keju, rajangan kacang almond dll 

Cara membuat :
1. Lelehkan butter/mentega, setelah leleh semua, masukkan cokelat batang, terus diaduk hingga mentega dan cokelat homogen dan leleh sempurna. Sisihkan (1).
2. Campurkan tepung terigu dengan cokelat bubuk, aduk merata (2).
3. Campurkan dalam mixing bowl : gula halus + telur, kemudian dikocok dengan whisker / mixer hingga tercampur dan sedikit mengembang adonannya.
4. Tambahkan campuran (1) ke dalam mixing bowl tersebut sambil terus di aduk. Setelah itu, masukkan sedikit demi sedikit campuran kering (2), homogenkan.
5. Tuangkan adonan ke dalam loyang kue yang telah diolesi dengan margarin atau kertas roti. Ketuk-ketuk agar adonan memadat di dalam loyang.
6. Taburi toppings sesuai selera.

Ketentuan memanggang :
1. Panaskan oven terlebih dahulu selama kurang lebih 10 menit di suhu 200°C. Lalu turunkan suhu ke 180°C.
2. Panggang adonan dengan suhu sedang-tinggi (sekitar 180°C) selama 20 menit. Cek bronis dengan cara ditusuk dan tidak basah. 
3. Di sisa 10 menit akhir, panggang dengan suhu rendah (sekitar 120°C).
4. Segera keluarkan loyang bronis dari oven, diamkan sesaat agar suhu turun, ketuk-ketuk untuk mengeluarkan bronis dari loyangnya.

Gimana? Mudah kan? Bisa dijadikan alternatif menu berbuka puasa juga. Silahkan mencoba πŸ’™

Sunday, May 3, 2020

Mata Pelajaran dari Sekolah Kehidupan

Kalian pikir semua skenario manusia bisa terbaca jelas oleh mata kita yang berbatas ini? Tahu kah kira-kira mengapa ada garis horizon saat kita melihat ke arah hamparan laut di pantai? Itu salah satu bentuk pembuktian bahwa visual kita ini sangat terbatas, tak mampu menginterpretasikan apa yang ada di belahan laut bagian lainnya hanya bermodal kedua mata kita. Bukti lain? Baiklah. Kalian tahu jin? Mungkin populer dengan istilah hantu ya? Atau, yang sedang high trend saat ini, virus Covid-19 dan bentukan virus lainnya? Juga bakteri? Tahu nama-nama tersebut kan? Dengan bare eyes kita, mampukah kita memvisualisasikan mereka? Hm hm, tak perlu di jawab, cukup diaminkan bahwa memang seterbatas itulah pandangan kita. 

Ada pelajaran menarik yang saya dapati hari ini. Berkenaan langsung dengan indera penglihat kita, mata, serta fungsi operasionalnya. Let's say, ada tetangga saya. Tanpa maksud men-judge apa-apa, tetapi memang agak membingungkan keluarga mereka. Anyway, dengan izin yang bersangkutan saya akan angkat cerita ini sebagai bahan pelajaran untuk saya pribadi dan mungkin untuk beberapa teman-teman yang membaca tulisan ini. 

Teteh ini, sebut saja dia Mawar, adalah seorang istri dan ibu dari anak berusia 2 tahun. Dia bekerja juga di sebuah industri ritel ber-genre fashion. Suaminya bekerja di perusahaan providing mesin ATM daerah Bandung, yang memiliki jam kerja shifting. Bertiga mereka tinggal di sebelah rumah saya. Tapi, tak lama ada seorang ibu-ibu berkerudung agak paruh baya pindah bersama mereka, dengan seorang laki-laki yang yaa cukup tua, sekitar usia 40 tahunan menurut saya, yang kemudian saya tahu bahwa ibu itu adalah ibu sang suami dan lelaki itu adalah kakaknya, walau saya agak bingung juga di awal karena secara fisik mereka sangat jauh berbeda. Tapi, cukup sampai disitu kebingungan saya. Saya cenderung tak acuh untuk kehidupan personal orang.

Beberapa kali si ibu berkerudung ini pinjam uang ke saya. Nominal tidak besar memang, kadang hanya lima belas ribu, tiga puluh ribu. Tidak lebih dari lima puluh ribu. Awalnya sempat kaget saya karena saya pun belum terlalu mengenal beliau. Hanya sebatas menyapa ketika berpapasan. Tapi, melihatnya seperti ada bayangan ibu dan mertua saya, jadi menolonglah tanpa banyak bertanya ketika kita sedang ada, insyaAllah ibu dan mertua kita akan dimudahkan kehidupannya dimanapun mereka berada. Dengan pemikiran seperti itu, saya selalu meminjamkan padanya ketika saya memang memegang uang tunai. Ada hal yang "aneh" sebenarnya untuk saya. Setiap kali meminjam uang itu, selalu berbisik beliau, "Neng, jangan bilang-bilang teh Mawar ya kalo ibu minjem ke eneng!" Saya sih tak mempermasalahkan saat itu. Saya jawab iya karena kebetulan saya dan teh Mawar ini tidak banyak komunikasi sehari-hari.

Selang beberapa waktu, datang lagi seorang ibu-ibu yang lebih tua perawakannya. Tak berkerudung, jadi kita sebut saja beliau ibu tak berkerudung. Dia tinggal di rumah teh Mawar juga. Sampai hal tersebut, tidak sama sekali mengusik pikiran saya. Banyak juga keluarga lain yang tinggal satu atap dengan beberapa kepala keluarga, bukan? Sampai suatu hari, ibu ini, yang ternyata adalah ibunda teh Mawar, mengetuk rumah saya dan, yang membuat saya kembali terkejut, dia pun meminjam uang ke saya. Nominalnya agak besar dibanding pinjaman ibu berkerudung, enam puluh lima ribu saat itu. Kebetulan saat itu saya sedang tidak memegang uang tunai, jadi saya bilang ke beliau untuk coba meminjam ke teteh lain sebelah rumah saya, sebut lah teh Melati, bila memang benar-benar kebutuhan urgent. Beliau pun pergi ke rumah teh Melati, saya tidak tahu lagi setelah itu. 

Beberapa hari kemudian, teh Melati tiba-tiba me-whatsapp saya. "Teh, mau tanya dong. Agak bingung nih aku. Kenal ibunya teh Mawar? Kok agak aneh ya dia? Beberapa hari lalu dateng ke rumah, minta rokok ke aku. Kebetulan aku lagi ada rokok, jadi ya aku kasih. Eh, kok berlanjut ya. Bisa tiap hari dia minta rokok teh. Tapi selalu nyuruh buat jangan ngomong sama teh Mawar-nya. Aduuh, lama-lama enggak enak saya sama si Aa (suami)." Mulai membingungkan disini. Saya pikir saat itu beliau ke rumah teh Melati setelah dari rumah saya, untuk meminjam uang. Tapi, kenapa rokok? Saya yang belum berani berspekulasi akhirnya sedikit mencari tahu tentang teh Mawar. Kebetulan kami sudah saling follow di Instagram tapi saya belum pernah melihat-lihat isi Instagram-nya, lha ya buat apa kan?

Dari rekam jejak sosial medianya, teh Mawar terlihat dari keluarga berada. Sebelum tinggal di rumah ini bahkan terlihat mereka pernah tinggal di salah satu apartemen di Bandung. Isi posting-annya pun seputar jalan-jalan, makan-makan di kafe dan resto ternama, juga sedikit tentang pernikahan dan anaknya. Ahh, Astagfirullaah Nad, stop it! Rekam jejak sosmed bukan tolak ukur kehidupan seseorang. Ayolah Nad, cukup bersikap tak beradab begitu. Akhirnya, saya pun menghentikan ke-kepo-an yang kurang beretika tersebut. Case's closed, pikirku. 

Semua berjalan seperti biasa. Saya pun mulai kembali ke koridor lurus. Bantu ketika memang bisa membantu, atau diam. Tanpa prasangka, tanpa spekulasi. Suami pun menyuruh saya untuk begitu. Sampai suatu hari, ketika kebetulan suami sedang libur kerja. Dia mengajak Anis main di depan sekalian berjemur badan dengan saya. Kakak suami dari teh Mawar lewat dan menatap saya dengan tatapan "tidak biasa". Bahkan, suami pun komentar, "Dia siapa sih? Kok ngeliatin kamu gitu banget?" Suami adalah orang super cuek yang pernah saya kenal. Sangat tidak suka per-kepo-an, yang membuat dia pun tidak suka di-kepo-in orang lain. Katanya, dari kepo bisa timbul prasangka, ghibah, bahkan fitnah. Well, betul juga. Tapi kali ini, dia pun terlihat sedikit kesal. 

Teh Melati pun makin sering curhat tentang keanehan-keanehan yang dia alami berkenaan dengan keluarga itu. Termasuk, si kakak ipar teh Mawar yang intip-intip ke jendela rumah teh Melati dan kepergok beberapa kali. Aduh, makin mencemaskan ini. Harus segera diselesaikan. But how??? Teh Mawar pun seperti berjarak ketika saya sapa. Mulai ada prasangka disitu, jujur saya akui. Menilai negatif keluarga tersebut. Hingga saya pun menceritakan semua hal ke suami, dan seperti biasa, suami menyuruh saya untuk berhenti berprasangka sebelum tahu kebenaran. Dia menyarankan saya untuk bisa mendekati teh Mawar sehingga bisa membicarakan perkara kurang mengenakan ini padanya.

Baiklah. Bismillaah. Demi menghindari ghibah, fitnah, prasangka buruk. Saya mulai mendekati anaknya, yang kebetulan seusia anak saya. Saya kirim makanan ketika saya membuat sesuatu agak berlebih. Saya sapa duluan ibu, ibu mertua, dan bahkan teh Mawar dan suaminya juga ketika berpapasan (masih takut untuk menyapa kakak iparnya, jadi lebih baik bermain aman hehe). Hubungan positif mulai terbangun disitu. Anaknya sangat dekat dengan Anis. Teh Mawar-nya pun mulai lebih sering menyapa saya duluan, bahkan beberapa kali me-whatsapp untuk menanyakan hal-hal berkaitan posyandu dan dokter anak. Walau pun tetap saya merasa dia masih berusaha berjarak dengan saya. Tak apa. Tidak instan nilai sebuah percaya.

Bulan terlewati. Ketidaknyamanan masih saya rasakan, terutama dari kakak ipar teh Mawar. Namun, hari itu berbeda. Rumah mereka terlihat agak sibuk. Seperti acara pindahan. Rupanya, ibu berkerudung dan kakak ipar teh Mawar pindah, yang lately saya tahu, kembali ke kota asal mereka. Aahh Alhamdulillaaah, ada sedikit kelegaan saya. Feeling insecure itu melelahkan bukan?

Dan hari ini. Teh Mawar mengajak anaknya bermain ke rumah saya, kebetulan anaknya sangat senang bermain disini. Biasanya ditemani oleh neneknya. Saya sih senang saja ketika kali ini mamanya yang menemani. Setidaknya saya bisa lebih nyaman dengan yang seumuran. 

Kami pun banyak bercerita, walaupun saya lebih banyak jadi pendengarnya 😁. Ternyata, teh Mawar dan suami terkena dampak lumayan hebat dari pandemi Covid-19 ini. Keduanya terkena pemotongan gaji tak tanggung-tanggung hingga 50% dari masing-masing perusahaan. Inti cerita, perekonomian mereka sedang terguncang. Bahkan, rumor juga beredar perusahaan tempat suaminya bekerja sedang berada di ambang collapse, begitu teh Mawar bercerita. Saya masih mendengarkan.

Mereka menjadi penanggung penuh biaya hidup ibu, ibu mertua, dan kakak ipar itu. Ternyata, kakak iparnya adalah pasien ketergantungan obat. Diawali dari penyalahgunaan narkoba, kemudian rehabilitasi, terkena case depresi, akhirnya berobat ke psikiater dan mengharuskannya mengkonsumsi obat adiktif dengan resep setiap bulannya. Untuk obatnya saja menghabiskan dana sekitar Rp 800.000,- setiap bulan dan tentunya belum termasuk biaya konsultasi dokter. Suami teh Mawar dan kakak ipar ini adalah saudara kandung berbeda ayah. Ayah tiri si kakak ipar, yang merupakan ayah kandung suami teh Mawar, tidak mau menanggung "aib dan resiko" dari anak tirinya. Sehingga akhirnya, dengan dasar humanity, teh Mawar dan suami lah yang menawarkan untuk membantu menanggungnya, setelah ibu si kakak ipar memohon kepada teh Mawar untuk memaklumi dan mengerti. "Ahh teh Nad, jadi saya sih selama ini ya bekerja untuk humanity aja. Selagi saya ada, saya bisa, saya akan bantu. Saya menikah dengan anaknya, berarti Allah memang mendekatkan mereka dengan saya agar saya bisa turut andil membantu mereka. Ada rejeki mereka melalui saya dan suami. Ya kan?" Okey, tertohok saya dengan pernyataan ini. "Tapi gimana lagi. Untuk kondisi saat ini sih berat juga buat saya. Kesanggupan kami sedang menurun drastis dan tiba-tiba. Demi Tuhan teh, saya sih kalo sedang ada, saya enggak mungkin hitungan. Si mama (mertua) sempet enggak ngerti situasi ini sampe saya harus nunjukkin pemotongan gaji saya dan si aa. Akhirnya mereka paham."

Yaa Allah. Begitu jahatnya prasangka. Kita ini sangat berbatas, jangan jadikan apa yang hanya terlihat oleh mata menjadi dasar untuk menilai sesuatu dan seseorang. Sungguh, bukan kapasitas kita untuk itu. Baiknya, bantu dalam sunyi jika mampu, diam tanpa komentar banyak jika tidak mampu. Terganggu dengan suatu hal, cari tahu, sampaikan. Bukan menimbun prasangka, bahkan menebar ghibah atau fitnah. Mata kita berbatas, tapi kita dilengkapi dengan perangkat pendukung lainnya, seperti akal, bukan? 

Banyak pelajaran yang saya dapat dari teh Mawar. Saya meminta maaf untuk prasangka yang sempat terbersit, juga berterimakasih untuk pelajaran hidup dan kesediaan untuk dibagikan dalam tulisan ini. Semoga kita semua selalu diberi kemampuan untuk menyelaraskan segala indera kita dengan akal juga hati. Aammiin πŸ’™

Saturday, May 2, 2020

CERPEN : Toxic Relationship

"Oke, aku akan menikahimu dengan syarat, aku masih bisa menikmati kebebasanku, termasuk untuk tidak memiliki keturunan." Sepotong percakapan terakhirku dengan Ibra berkenaan dengan pernikahan. Setelahnya, aku selalu ragu untuk menanyakan, aku memilih diam.

Enam tahun kami berpacaran, bukan waktu yang sebentar. Usiaku pun terus merangkak, menua. November nanti, genap 30 tahun. Tertinggal sudah usia kepala dua yang menjadi targetanku untuk membina rumah tangga, menikah. Kutengok sahabat-sahabatku, yang tak berpacaran pun dia sudah berstatus istri bahkan dalam hitungan minggu akan menjadi ibu. Aku ingin, aku iri.

Ibra bukanlah lelaki yang kasar. Mungkin malah bisa dikategorikan lelaki romantis. Dia sangat lihai membuatku terbang melayang, seolah-olah aku lah wanita paling beruntung di dunia. Di satu sisi. Namun, di sisi lain, ada beberapa pemikirannya yang sungguh hingga saat ini pun aku kurang mengerti. Dia tidak ingin memiliki anak, dia tak ingin kebebasannya direnggut, walau hanya sekedar untuk berkumpul dengan karib-karibnya.

Za, Sabtu depan gue mau ngadain baby shower, lo dateng lho! Virtual Invitation-nya udah gue kirim email ya. Sekalian udah lama juga kita enggak kumpul kan. Ajak Ibra juga, okey! CU 😘

Itu isi dari notifikasi whatsapp yang baru saja kuterima. Sofia, sahabatku yang tanpa berpacaran itu, sudah officially akan menjadi seorang ibu dan membagikan kebahagiaannya pada kami, sahabat-sahabatnya, dengan acara baby shower itu. Aku turut berbahagia, pastinya, seperti tak sabar menunggu kehadiran Sofia mini di antara kami. Namun, ada sisi terdalam dari diriku yang, entahlah, sulit aku deskripsikan. Mungkin ada bentuk pengharapan disana. 

***
"Woy, ini dia bu manager kita yang super sibuk! Zakia, lo kemana aja? Susah banget deh gabung akhir-akhir ini, hah!" Sangat kenal dengan kehebohan suara itu, Maria, salah satu sahabat di genk-ku bersama Sofia. "Wih, akhirnya bisa ketemu juga sama wanita sukses satu ini, Zakia, sehat lo?" disambung sambutan hangat Dini, anggota genk lainnya yang terkenal paling dewasa, sembari cipika cipiki. Kami terdiri dari 5 bersahabat di dalam genk yang diberi nama genk "ngobat", maklum kami dulunya adalah mahasiswi jurusan farmasi. Kelimanya terdiri dari aku, Sofia, Maria, Dini dan Gendhis yang kini mengikuti suaminya tinggal di Belanda.

Ibra sudah sangat kenal sahabat-sahabatku berikut para suaminya. Ketika acara seperti ini pun dia sudah tidak canggung lagi. Selain, dia pun memang sangat easy going, mudah sekali bergaul dengan siapa saja dan dari background apapun. Seperti kali ini, dia sedang asyik berkumpul dan tertawa-tawa lepas dengan Andi dan Kemal, suami dari Dini dan Maria. Kebetulan juga mereka bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang yang sama, IT, walaupun institusi berbeda. Ini bagus bagiku. Aku bisa menikmati kebersamaan dengan the girls-ku dengan lebih leluasa.

"So, gimana nih perkembangan lo sama Ibra? Yaelah Zaa, lo berdua udah kurang mapan apalagi? Kalian udah punya posisi keren di kerjaan masing-masing, bahkan yang gue denger, Ibra baru ngambil apart (apartemen) kan? Tuh, tinggal lo nikah, tinggal situ, apalagi sih?" cerocos Maria. Aku sudah sangat memaklumi ke-ceplasceplos-an dia dalam berbicara, yang kemudian hanya dapat ku balas dengan senyuman. "Any problems, beb? Everything's good, kan?" lanjut Dini yang, aku yakin, sangat penuh perhatian daripada sekedar penasaran. Untuk pertama kalinya di hadapan mereka aku terbuka perihal ini. "Not pretty good, actually. Hmm, sebenernya enggak ada konflik sih antara kita, cuman, ada hal yang sepertinya bakal jadi kerikil besar untuk nasib hubunganku sama dia ke depannya." Mereka terdiam dan mulai memberi perhatian penuh dengan serius pada percakapan ini.

"What?! Yaa Allah Za, lo lempeng-lempeng aja selama ini depan kita, padahal lo lagi kebebanin pikiran macem gini. Aduh Zakiaa." Kekagetan Maria terlalu kentara dan tak bermaksud ditutup-tutupi. Mungkin Dini dan Sofia pun sama kagetnya, terlihat dari bahasa mata, tetapi semua terbungkus dengan elegan. Keduanya lebih berusaha menjaga perasaanku, ku kira. "Permisi, mbak Sofia. Itu ada kurir bingkisan datang, kata mas Bagas tanyain ke mbak aja." Bi Sumi, asisten rumah tangga kepercayaan Sofia, memotong percakapan kami. Sofia yang masih bingung bercampur kaget pun harus tetap menemui kurir tersebut sembari terlihat penasaran dan prihatin padaku. Dia lah tuan rumah acara ini, sudah pasti dia akan sibuk. "Gue tinggal dulu ya, girls. Hmm, lo ga buru-buru kan Za? Kita harus banget ngobrol lebih fokus abis ini. Harus!" Kemudian dia melangkah menuju gerbang depan diikuti Bi Sumi.

Pembicaraan mengenai aku dan Ibra pun seperti terpaksa terhenti, ketika akhirnya Clarin, anak tertua Dini yang berusia 4 tahun, menghampiri ibunya dan merengek untuk meminta tambahan es krim. Drama ibu dan anak, yang diam-diam aku pun mulai sangat mendambakannya. Lain dengan Maria, dia yang baru saja menikah 3 bulan lalu, memang dengan sengaja untuk menunda kehamilan selama setengah tahun, dengan alasan ingin menikmati bulan madu lebih lama.

Tak lama, Kemal dan Ibra menghampiri kami dan akhirnya kami berempat pun terlibat pembicaraan ringan hingga acara usai. 

Dini dan Andi berpamitan terlebih dulu, Clarin mulai terlihat tidak nyaman dengan keramaian. Diikuti Maria dan Kemal, mereka sudah ditunggu oleh orang tua Kemal untuk acara keluarga besar bulanan mereka. Tamu-tamu lain pun satu per satu meninggalkan rumah sang pemilik hajat. Tersisa 2 kawan Adib, suami Sofia, dan aku serta Ibra. Kami hendak berpamitan yang kemudian Sofia menarik tanganku dan berujar singkat pada Ibra, "Bentar ya, gue pinjem dulu Zakia, lo bisa ngobrol-ngobrol sama Adib tuh." Ibra yang sangat easy going pun tak mempermasalahkan hal seperti ini. Toh Sofia adalah sahabat terdekatku, dia sangat paham itu.

Sofia mengajakku ke kamarnya dan segera mengunci pintu. "Za, sorry banget loh ini. Gue bukan mau interfere ke masalah lo sama Ibra. Tapi, menurut gue, masalah ini bukan masalah sepele. Harus diberesin segera, entah dengan putusan apapun di akhirnya. At least, lo buka komunikasi serius tentang ini, mau enggak mau. Ayolah, Za, usia kita enggak diem disini aja kan. Ibra menua, lo menua, kondisi kalian makin enggak fit buat punya anak nantinya. Gue ngomong gini karena gue peduli banget sama lo. Kecuali lo memang siap untuk ngelewatin seumur hidup lo dengan cara seperti ini. Tapi menurut gue, sangat tidak adil juga memenjarakan diri pada toxic relationship. Inget ya Za, pernikahan bukan cuman tentang dia, lo, tapi juga ayah bunda lo. Dan kwalitas hubungan bukan hanya tentang berapa lama kalian sudah menjalaninya, tapi tentang visi misi masing-masing yang siap dikompromikan tidak. Pertimbangin semua mateng-mateng, okey baby?! Kalo lo butuh temen cerita, insyaAllah gue ada." Aku pun tak bisa merespon walau hanya sepatah dua patah kata, kecuali, "Thanks, Sof" dan pelukan erat yang tak bisa kubendung.

Selama perjalanan pulang, aku hanya diam dengan memandang kaca spion tanpa hiraukan apa yang terpantul olehnya. Pikiranku melaju cepat dan tanpa arah, sibuk. Seolah tak beriringan dengan perasaanku. Tak kudapati sinergi keduanya. Aku sadar, sesekali Ibra melirik ke arahku, tetapi seakan dia tahu bahwa ada sesuatu yang sedang bergumul dalam diri kekasihnya ini. Dia hanya membiarkan ku semakin larut dalam pikiranku sendiri.

***
Hari Sabtu sore, di minggu ke-dua, setiap bulannya. Sudah menjadi ritual di keluargaku untuk mengadakan arisan yang sebenarnya adalah ajang saling tatap muka dan berkumpul. Pertanyaan horor tentang "kapan menikah" sudah sangat biasa kudapati, hingga akhirnya ku pun kebal, mati rasa. Ku lempar senyum bahkan gurauan sederhana untuk menimpalinya. Namun, hari Sabtu di minggu ke-dua bulan Juli ini agak berbeda. Natasya, sepupuku yang tinggal bersama suaminya di Surabaya, turut serta hadir. Karena alasan melahirkan, hingga akhirnya Tasya, begitu sapaannya, memilih untuk tinggal sementara di Bandung, rumah ibunya. Kini bayinya telah lahir, 2 minggu yang lalu, masih sangat merah. Lucu dan cantik. Berbaju rajut berwarna kuning muda, selaras dengan bandananya. Bunda menyapa Tasya dan sang bayi merah imut itu. Ada binar disana. Di bola mata Bunda yang kian melayu karena usia. Tepat saat melihat bayi mungil di hadapannya. "Yaa Allah Gusti, meuni geulis kieu. Ahh gimana aja mamanya ya, cantik. Aduuh, sini sini enin gendong ya. Allahumma shalli ala sayyidina Muhammaad, bersih kamu teh masyaAllah. Sebersih hati kamu ya, nak. Duh, doakan enin yaa bisa segera nimang sepupuan kamu juga, ya ya. Nanti insyaAllah dari tante Zakia. Doain ya anak shalehah, duuh gemes enin." Sembari kembali menyerahkan si cantik kepada Tasya, ibunya. Seketika ada yang berat di dadaku. Bunda, orang yang tidak pernah banyak menuntut ini itu, ataupun meminta segala sesuatu, kepadaku, seperti leluasa membuncahkan unek-uneknya di hadapan makhluk kecil tak berdosa itu. Unek-unek yang terlihat sangat jujur, sangat tulus. Jelas, seharusnya aku tahu bahwa itu yang sangat diharapkannya, menimang cucu dariku. Karena aku lah anaknya, satu-satunya.

Yang, sibuk? Masih bareng Eza?

Ku kirim pesan singkat lewat whatsapp pada nomor kontak yang kuberi nama "only home". Tak butuh waktu lama hingga ceklis menjadi dua dan berwarna biru.

No, dear. Eza udah jalan sama bininya. Tapi mungkin aku mau janjian nge-gym pukul 7 malem nanti bareng Edward. How's your family time? Going well? I miss you 😘

Benar-benar tak ada yang salah dengan pria ini. Sangat manis. Selain dia senang berkumpul dengan kawan-kawannya dan keinginan "aneh" untuk tidak memiliki anak. 

So so in here. Lagi nunggu dinner, sambil bincang-bincang ringan. Kamu inget Natasya, sepupuku? Dia udah lahiran loh, bayinya cantik banget, i was taking a pic with her

Ku kirim balasan disertai fotoku dengan bayi kecil bernama Aleya itu, beserta caption foto, "Hey om Ibra, Aleya is here. Am i pretty cute?😘"

Ceklis dua, berubah biru. Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. Satu jam. Hingga waktu makan malam pun tiba dan ku rasa dia pun bersiap pergi bersama temannya. Triling. Whatsapp ku berbunyi, meninggalkan notifikasi pesan baru.

Baby, I'm going. Gonna catch you later. Text me when you home, love you πŸ’™

Tak ada sedikitpun komentar mengenai Aleya. Tak satu patah katapun. 

***
Pukul 23.40 masih di Sabtu yang sama, minggu ke-dua bulan Juli. Aku, ayah, bunda, sudah tiba di rumah sejak 2 jam lalu. Tetapi, aku bahkan belum mengirim pesan pada Ibra, seperti yang dia tinggalkan dalam pesan teks terakhirnya. 

Selama perjalanan pulang dari acara arisan keluarga itu, aku yang tidak biasanya ikut bersama mobil ayah, terlibat topik serius yang berusaha dengan baik dikemas santai oleh ayah bunda. "Za, kamu enggak kepikiran menikah? Atau sudah ada bahasan tentang itu kah sama Ibra? Kalian menjalin hubungan sudah cukup lama. Apa lagi yang sedang kalian tunggu sebenarnya? Bunda dan ayah pun semakin menua lho, nak." Aku tahu bahasan macam apa yang akan terjadi selanjutnya. Entah dengan kekuatan apa, sebelum ayah melanjutkan kata-katanya, segera ku sanggah, "Ayah dan bunda ingin Zakia menikah dan memberi cucu? Apa dengan itu ayah dan bunda akan bahagia?"

"Zakia, setiap orang tua hanya ingin melihat anaknya bahagia, terlepas dari keinginan mereka masing-masing. Apakah tentang memiliki jodoh, cucu, semua kehendak Sang Gusti. Bunda sendiri, kalau mengikuti ego, ya sangat ingin melihat kamu menikah, menata rumah tangga, syukur-syukur jika dipercaya menimang anak juga. Melihat kau memiliki kehidupan normal dan stabil, seperti kebanyakan orang seusiamu. Tapi, bunda tidak bisa memaksakan kehendak, bukan? Kedewasaanmu beriringan dengan rencana dan keinginanmu sendiri dalam menapaki kehidupan yang diharapkan. Bunda hanya bisa mendoakan dan mengingatkan, bahwa kehidupan berumah tangga bukan hanya berjalan setahun dua tahun saja. Akan menjadi perjalanan yang sangat panjang. Coba dipikirkan kembali tentang harapan ke depan dari kalian masing-masing, kau dan Ibra, apakah sudah selaras? Apakah sudah saling mendukung alih-alih mengorbankan perasaan salah satunya? Sakinah mawadah dan rahmah itu tidak mudah, Za. Maka dari itu harus diperjuangkan. Perjuangan yang melibatkan dua belah pihak, bukan hanya salah satunya saja."

***
Za, belum pulang?

Pesan masuk yang sudah ku tahu pasti siapa pengirimnya.

Sorry, yang. Udah di rumah dari 2 jam lalu. Hmm, besok bisa kita ketemu? 

Ahh, kamu bikin aku khawatir. Sure, i need to see you, too. Besok aku jemput pukul 11 okey

Okey. Ibra, you know i love you that much, right?

Hey, sure aku tau. I love you even more. 

Kamu serius jalin hubungan dengan aku kan?

Baby, what's going on? Ya pasti aku serius lah. Harus aku buktikan dengan apalagi sayang? 

Well, okey. Besok kita ketemu ya, cu ❤️

***
Seperti biasa, dia selalu terlihat gagah. Aroma Bvlgari Pour Homme yang menenangkan, seperti menghipnotis ku setiap waktu. Menumbuhkan aura kenyamanan juga kepercayaan. Senyum yang membentuk sudut mata menarik di balik kacamata berbingkai cokelat kayu sungguh meneduhkan. Benar adanya, dia yang bersifat manis, dia yang berpenampilan sempurna, setidaknya bagiku. Kecuali...... Ahh sudahlah.

Suasana Sierra Resto siang itu tidak terlalu ramai. Memang resto ini lebih menarik jika dinikmati saat senja turun. Pemandangan dari outdoor area -nya sungguh luar biasa indah di malam hari. Kemerlip lampu sekitar seakan bertegur sapa dengan kerlipan bintang di langit yang sama-sama terlihat gelap. Tapi, aku tak peduli. Keheningan justru suasana yang sedang aku butuhkan saat ini. Menemani percakapan mendalam kami.

"Ibra, hubungan seperti apa yang kamu harapkan dari kita untuk ke depannya?"

"Aku mau menikah denganmu. Melewati hari-hari bersama, kamu dan aku."

"Hanya aku dan kamu? Kamu yakin? Gimana kalau kita merasa bosan?"

"Sayang, kita masing-masing punya kegiatan, punya hobi, punya sahabat. We may kill the boredom away dengan itu. Bahkan, kalau perlu, kita travelling mengunjungi negara-negara baru. Banyak cara untuk itu."

"Gimana kalau kita merasa sepi?"

"Honey, kamu, teman-temanku, pekerjaanku, sangat lebih dari cukup."

"Gimana kalau aku mau memiliki anak? Hey, mereka akan merawat kita saat kita tua nanti sayang. Iya kan?"

"Zakia sayang, kita akan saling merawat. Kalau aku lemah duluan, kamu bersedia kan untuk merawatku? Aku pun bersedia merawatmu. Jika kita berdua melemah bersama, kita bisa hire suster yang akan merawat kita, bahkan mereka memiliki ilmunya. Lebih terpercaya."

"Jadi, seperti itu kira-kiranya rumah tangga impianmu?"

"Iya, dan dibayanganku itu semua akan menjadi indah. Aku hanya ingin perhatianmu tertuju padaku saja, hanya aku. Bahkan aku belum bisa menerima jika seorang anak akan mencuri sebagian besar fokusmu dari aku."

"Hmm, ini final answer? Enggak akan tergoyahkan?"

"Come on, Za. Kita sudah bahas ini berulang kali, kan? Dan jawaban aku akan selalu sama, tetap sama."

"Ok then. Kamu bahkan selama ini belum pernah bertanya balik, seperti apa hubungan kita ke depannya, sesuai impianku. Apa yang aku harapkan di dalam rumahtanggaku. Keluarga macam apa yang ingin ku bentuk. Aku selalu bertanya tentang itu ke kamu, aku ingin tahu hal apa yang bisa membuat kamu bahagia, aku ingin membahagiakanmu. Tapi, kamu seperti tak pernah ingin tahu tentang bahagiaku. Apa hanya kebahagiaanmu saja yang kamu pikirkan?"

"Hey, hey, siapa bilang begitu. Aku juga pasti ingin membahagiakanmu. Dan aku yakin aku pasti bisa membahagiakanmu, dengan cara dan jalanku."

"Ibra, kamu bukan cenayang atau peramal, yang bisa tahu apa yang ada di pikiran dan hati seseorang, termasuk aku. Kamu butuh bertanya juga. Cari tahu. Enggak semuanya hanya berjalan dengan caramu. Apalagi ini tentang dua individu, dua ego disitu. Kita butuh mengkomunikasikannya. Kemudian menyelaraskannya."

"Oke oke, jadi maumu apa sekarang? Menikah? Ayo, aku akan melamarmu. Mudah kan."

"Maaf sayang. Saat ini aku justru hanya ingin kita berjalan dengan cara hidup masing-masing. Aku seharusnya tak perlu mengemis-ngemis tentang pernikahan atau apapun itu, jika kamu pun membutuhkannya. Aku sayang kamu, aku pun tahu kamu sayang aku. Tapi, kita belum bisa menemukan titik temu tentang bahagiaku dan bahagiamu. Jika kita terus memaksakan hubungan seperti ini, kita hanya akan menyakiti salah satu pihak, mengorbankan banyak hal dari satu pihak, untuk mengabulkan kebahagiaan pihak lainnya. Ini akan jadi toxic, yang perlahan akan menggerogoti kita. Maaf sekali lagi. Aku punya definisi bahagiaku, yang sudah seringkali aku coba share denganmu, tapi tak pernah kamu gubris. Aku sudah mencoba. Tapi kini aku sadar, aku harus kejar juga bahagiaku. Karena ada orang-orang tersayang disekitarku, yang kebahagiaannya masih bergantung dari kebahagiaanku. Aku harus bahagia untuk mereka, terlebih untuk diriku sendiri."

Suara angin yang terdengar seolah menenggelamkan percakapan dua insan yang sedang dimabuk cinta, dengan cara berbeda. Kini, mereka menapaki jalan masing-masing. Cinta mungkin akan tetap menjadi cerita. Namun, bukankah kita masih memiliki cinta sang Maha Pecinta? Lalu, mengapa kita sering lupa dan berputusasa?

Friday, May 1, 2020

Curahan Hati Gagal "Save as Draft"

Kesel, gemes, campur aduk deh rasanya. Sekitar 1 jam berkutat dengan cerpen yang, rencananya, jadi pembuka target tulisanku bulan ini, proses sudah 80% lah kira-kira, tinggal menuangkan closing yang sebenarnya bahkan sudah cantik tertulis "di imaji", tiba-tiba perut keroncongan parah dan berpikir untuk makan dulu aja daripada lambung kumat. Siap disimpan di draft, dan terjadilah pemirsa, GAGAL MENYIMPAN. Aarrgghh. Ketika klik "save as draft", layar handphone mendadak white blank lama, bahkan tekan tombol BACK pun tak gubris. Ahh, celaka. Aplikasi  BLOGGER-ku pasti bermasalan. Dan eng ing eng, tepat sekali! Ketika aku kembali ke HOME dan serta merta window aplikasinya hilang. Aku coba masuk kembali untuk memastikan apakah "save as draft" -nya sukses. Tapi ternyata gagal simpan alias tidak ada. Hufftt.

Dilema. Tulis ulang atau sudahi. Ternyata hati yang baper ini memilih untuk sudahi dulu aja. Sudah panjang coy! Bukan lupa bagaimana jalan ceritanya, tapi mood sudah koyak πŸ˜‚. Alamak, jiwa penulisku baru segini rupanya. Kena hantaman gagal "save as draft" doang langsung ciyut malah milih untuk curhat disini. Adududuuh Nad, plis deh.

Woosshhhaa, exhale-inhale-exhale-inhale, that's ok, besok coba ramu lagi ya, Nad. Yok yok seduh kopi dulu yok, ada sisa brownies tuh bisa jadi padanannya. Relaaax....
Angkat cangkirmu, gigit bronismu, Al iz Wel πŸ’™

Note : aaah Alhamdulillaaah, hujan deras, pengobat sedikit jengkelku kali ini πŸ’€