Thursday, May 7, 2020

Aku Anak Rimba, Aku Rindu Sangatta

Tercetik oleh salah seorang dokter yang aktif menulis di grup Literasi yang aku ikuti, ahh benar, aku kangen alam.
Pada dasarnya, aku ini anak rimba. Sejak kicik aku sudah diajak untuk hidup berpindah-pindah, dari kota besar hingga pelosok. Tapi sejujurnya, yang paling menyimpan kesan terdalam ya saat di hutan itu. 

Adalah Sangatta, kota pembabakan tambang batu bara di Kalimantan Timur. Aku pindah ke sana saat kelas 5 Sekolah Dasar. Kelas 6 sempat kembali ke pulau Jawa, tetapi hanya sampai lulus dan kemudian ke Sangatta lagi, hingga menyelesaikan strata Sekolah Menengah Pertama. Sekitar empat tahun melewatkan masa di sana. Dua kata menggambarkannya, "luar biasa".

Pertama kali menjejakkan kaki di Sangatta, kaget tak terbendung. Terbiasa dengan kehidupan kota yang kemudian harus berada di kota kecil dikelilingi hutan. Sungguh ini hutan nyata ya, bukan kaleng-kaleng. Lebih kaget ketika masuk ke rumah awal, kebetulan rumah dinas jatah papaku masih di renovasi jadi sementara waktu kami tinggal di rumah kontrakan, di luar "site area", alias di luar daerah perusahaan. Jadi, di Sangatta itu seperti ada kota dalam kota. Kota utamanya adalah kabupaten Sangatta itu sendiri, tetapi di dalam kabupaten itu terdapat teritori perusahaan yang segala bentuk mandatorinya berada di bawah naungan perusahaan tambang batu bara terbesar saat itu, sebagai pembabak kota Sangatta. Bisa dibilang, mungkin Sangatta tidak akan benar-benar ada jika perusahaan tersebut tak ada.

Rumah kontrakan ini agak kurang familiar untukku. Terbuat dari kayu, berupa rumah panggung. Di daerah yang, menurutku, agak kumuh. Padahal kata papaku, ini masih mendingan dibanding kontrakan lainnya. Jarak antar satu rumah ke rumah lainnya lumayan berjauhan tetapi tidak ada pekarangan pribadi. Satu jalan itu ya begitu konsepnya. Best part-nya, interior rumah tersebut sangat jauh dari rumah-rumah kami sebelumnya. Kontrakan ini memang full furnished, tapi furnitur di dalamnya agak menyeramkan. Penuh hiasan kepala hewan buruan yang ditempel di dinding, juga botol-botol minuman keras berdebu. Underestimate, hari pertama dipenuhi air mata. Walhasil, hari pertama kami semua mengungsi ke hotel haha.

Selang tiga minggu, Alhamdulillaaah akhirnya rumah dinas pun beres. Tanpa tunggu, kami langsung pindah. Masuk gate site area, semua seperti berubah. Kekurangtertataan yang kami dapat di luar, berputar 180 derajat di sini. Bahkan aku bisa klaim kota mandiri ini sebagai kota paling rapi yang pernah aku tinggali. Bukan daerah metropolitan, atau dengan pusat perbelanjaan besar, tapi semua sangat tertata, dengan fasilitas lengkap. 

Town hall sebagai city center, jangan dibayangkan seperti Bundaran HI atau kawasan Asia Afrika Bandung. Tapi arti city center di sini benar-benar seperti pusat aktivitas kota, dari toko swalayan, toko baju, toko buku, food stalls, pasar tradisional yang modern, koperasi pegawai, bank, studio foto, taman bermain anak, pusat bantuan darurat (seperti damkar), klinik SOS, pusat kebugaran super lengkap; kolam renang, lapangan tenis, sepakbola, voli, ada juga lapangan baseball, basket, gimnastium, tetapi agak terpisah, berjarak sekitar 2 KM. Yang paling aku suka adalah sekolahnya. Sekolah terlengkap yang pernah aku nikmati.

Sebagaimana keadaan kehidupan di tengah hutan, aku pun menjadi sangat akrab dengan alam. Acara sekolah bukan sekedar mengunjungi museum, karena memang tidak ada, tapi kami ke pantai, ke taman nasional, yang merupakan hutan lindung di situ. Berguru anggrek liar, berbagai bentuk jamur hutan, bahkan tak jarang berpapasan dengan hewan-hewan yang sangat bahagia karena bisa hidup bebas di habitatnya, adalah salah satu, dua, tiga, agenda dalam pelantikan sebagai anggota Palang Merah Remaja, Pramuka, klub Pecinta Alam, bahkan sekedar menjadi anggota OSIS. Jika tak begitu, kami pun sering mengadakan acara berkemah di pelataran sekolah, yang luar biasa luas, di hutan kota, di pantai, yap, meskipun bentuknya adalah pantai buatan tetapi sangat pantai sekali, lengkap dengan hutan bakau yang mengelilinginya. Bersapa dengan biawak malam harinya adalah hal biasa. 

Aku anak alam, aku anak rimba, aku bahagia. Bahkan kadang aku berharap, Anis pun akan bisa merasakan pengalaman serupa. Bukan sekedar tahu tentang mall, atau video game saja. 

No comments:

Post a Comment