Thursday, April 29, 2021

CERPEN : Sosok Wanita yang Sama

 

Picture by Tribun Bali

Meyra. Seperti itu orang-orang memanggilku. Untuk mereka yang lebih akrab, sapaan “Rara” justru lebih familiar dibandingkan dengan “Mey” sebagai suku kata pertama dari namaku itu. Semua bermula dari mama yang sejak aku bayi selalu memanggil “Rara” sebagai panggilan manja. Dan, inilah aku.

Dilahirkan sebagai anak tunggal, membuatku agak diistimewakan oleh mama. Mungkin sebagian akan bertanya tentang papaku. Sayangnya, aku pun tak pernah tahu siapa dan di mana keberadaannya saat ini. Pengakuan mama pun, lelaki itu telah meninggalkan kami sejak aku berada di dalam kandungan, saat itu baru menapaki lima minggu. Dan, boleh kukatakan bahwa aku adalah seorang yatim, dengan versi sedikit berbeda. Mengapa? Karena yatimku lebih ke kondisi di mana aku memang kehilangan informasi sama sekali mengenainya, bukan karena ia pernah ada dan kemudian pergi dari kehidupan. Setidaknya begitu bagiku.

Memanglah kami hanya hidup berdua saat ini, mama dan aku. Nenek telah meninggal saat mama berusia sepuluh tahun, dan kakekku tinggal di negeri seberang, bersama istri dan keluarga barunya sejak kematian nenek. Benar, mama adalah korban ‘anak dibuang’. Yang ternyata senasib denganku. Mungkin itu juga yang membuat kami berdua dapat lebih tegar menghadapi balada kehidupan. Di satu sisi, kami pun saling menguatkan.

Namun, ruang kosong akan tetap menjadi ruang kosong. Sekuat apapun aku, dan mungkin mama, berusaha mengisinya, tetaplah ia akan meninggalkan dimensi berbeda yang tak bisa disempurnakan oleh apapun. Timpang, terkadang aku merasa seperti itu. Bukan karena iri, atau bisa jadi memang pun demikian, ketika melihat teman-teman di sekolah dulu dijemput oleh ayah mereka, atau sekedar cerita awal minggu tentang kegiatan outing bersama sosok yang mereka nisbatkan sebagai kepala keluarga. Ya, pada akhirnya aku merasa bahwa saat sesuatu tak lagi memiliki kepala, dia akan lebih sulit menentukan arah. Begitu adanya keluargaku, dan bentuk kekosongan yang aku maksud.

Kondisi memaksa kami, aku dan mama, untuk tetap maju menghadapi realita. Untunglah, meski ia hanya sosok single parent, tanpa ada backing-an finansial dan emosional dalam membesarkan seorang anak perempuan, yaitu aku. Mama tetap memberikan apa yang kubutuhkan. Apartemen untuk kami berteduh, sekolah swasta ternama di ibu kota, gaya hidup yang bisa dibilang menengah ke atas dan serba nyaman, semua dapat kunikmati. Hanya saja, tetap harus ada harga yang dibayar sebagai pengorbanan, yaitu waktu.

Tak banyak waktu yang dapat kulewati bersama mama. Kami seatap, tetapi seolah memiliki jam hidup berbeda. Aku yang sudah barang tentu aktif dikala matahari mencuatkan cerahnya, justru di saat itulah waktu mama tidur dan beristirahat setelah melewati malam penuh peluh bekerja. Mama bilang, client-nya memang hanya leluasa ditemui saat petang menjelang, selepas mereka bersibuk diri dengan pekerjaan utamanya. Entahlah, aku hanya seorang gadis SMA yang belum dan tidak ingin tahu terlalu banyak tentang itu. Toh, segala kebutuhanku telah tercukupi, bahkan bisa dikatakan berlebih. Jika mama harus beristirahat saat kupulang sekolah, dengan fasilitas kartu debit yang tak pernah dibiarkan kosong, aku biasa menghabiskan waktu bersama sahabat satu geng untuk nongkrong di satu mall ke mall yang lain. Tak menjadi masalah. Asalkan mama tetap sehat, tidak kekurangan waktu istirahat.

Sore itu, angin lembab ala ibu kota yang tak sedikit pun memberi kesejukan untuk menghalau sisa terik tengah hari, berdesir membawa sedikit rintik hujan sesaat. Murid-murid berhambur menuju gerbang yang menjulang tinggi, yang lebih terlihat seperti gerbang sel tahanan daripada sebuah sekolah. Waktu pulang sekolah telah tiba.

Kebetulan, kedua sahabat kumpulku harus absen menemani thawaf mall hari ini. Ada yang sudah memiliki jadwal dengan kekasihnya, ketika yang lain harus menemani ibunya belanja bulanan. Dan aku berjalan sendiri menuju gerbang sambil terus berpikir, ‘Kemana ya enaknya hari ini?’

Ketika tiba-tiba, “Heh, bangke! Dasar anak haram! Bisa-bisanya ya nyokap Lo morotin papi gue, hah?! Oh, jadi gini caranya si anak yatim Meyra Priyanka sampe bisa sekolah di tempat elit macem gini? Bisa hidup bak sultan, tinggal di apart, nongkrong tiap hari di mall? Ternyata semua itu hasil ngelacur nyokap Lo, hah?!”

Tangan itu terlalu kuat menghantam tubuhku. Tak bisa kuhindari, aku kehilangan keseimbangan. Terjungkal di tengah lapang basket dengan lantai bercat biru. Berutunglah tanganku masih cukup sigap menahan bobot tubuh bagian atasku. Jika tidak, kening ini pastilah sudah bercucur darah tergesek kasarnya lantai yang saat itu pun panas luar biasa. Atau mungkin mulutku yang harus kehilangan keperawanannya, karena mencium paduan semen dan pasir menyebalkan ini.

“Berdiri Lo! Biar orang-orang tahu, siapa Meyra Priyanka itu! See, Guys! Beware of this bitch! Atau hidup kalian bakal berantakan karena ulahnya dan nyokapnya!”

Gadis bertubuh ramping semampai dengan rambut tebal lurus sepunggung dengan berapi-api memaksaku bangkit dan terus menunjuk-tunjuk mataku. Ya, bukan hanya muka, tetapi mataku! Sebagai pancaran amarahnya yang begitu membuncah. Terlebih pipi dan sebagian besar mukanya yang semakin memerah. Dia amat sangat marah.

Aku tersulut emosi. Dia terus mencaci-maki mama. Dadaku panas, otakku tak lagi jernih.

“Heh, jangan nuduh macem-macem Lo, ya! Nyokap gue emang single parent, tapi dia punya bisnis, punya kerjaan, duit ga ngalir gitu aja, dan gue tahu itu! Buktinya, waktu bareng gue yang terbatas bareng dia. Karena apa? Karena dia lagi nyari duit! Paham, Lo?!”

Kudorong balik tubuhnya yang tak lebih besar dari tubuhku. Namun, anehnya, dia dapat menguasai keseimbangannya. Mungkin massa tubuhnya meningkat dengan supply amarah yang dia punya? Entahlah.

“Hahahaha. Lucu! Sumpah, Lo tuh lucu banget! Sini, Lo! Sini! Liat ini siapa?!”

Tangan berjari lentik dengan kuku berhiaskan nail art bernuansa nude itu menyodorkan ponsel keluaran terbarunya tepat di wajahku. Aku pun harus sedikit menarik mukaku untuk dapat menangkap apa yang hendak ia tunjukkan dari ponselnya itu.

“Ini bisnisan nyokap Lo? Gelayutan di badan cowok yang entah mereka udah beristri apa belom, hah? Keluar masuk hotel tiap malemnya. Lo pikir bisnis macem apa yang nyokap Lo jalanin? Kerjaan macem apa yang cuman keluyuran malem hari? Satpam ronda? Hey, bahkan satpam aja masih lebih beradab dari nyokap Lo itu.” Gadis itu tak lagi berteriak-teriak. Namun, desisnya kupikir jauh lebih menakutkan, seperti saat ini.

Dan foto itu. Kolase dari beberapa foto yang menangkap sosok wanita sedang melangkah keluar dari hotel-hotel ternama dengan manjanya. Rangkulan mesra yang memberikan indikasi sosok lelaki yang berbeda di setiap bidikannya.  Salah satunya adalah ayah dari gadis cantik di hadapanku. Pria berbadan tambun dengan rambut tersisir kelimis dan ornamen serba branded di tubuhnya.

Dan, wanita yang menjadi sosok sama di setiap fotonya adalah mama. Benar. Dia mamaku.

Kemudian, semua berubah menjadi gelap. Aku tak tahu ke mana hilangnya kesadaranku.