Sunday, November 29, 2020

Family Potrait


Bismillah.

Family Potrait. Kadang, ketika saya melihat orang lain yang sepertinya banyak sekali moment yang diabadikan bersama keluarga dalam bentuk visual alias foto atau pun video, saya merasa ingin mengikutinya. Sayangnya, saya dan suami sama-sama tipikal manusia yang jika sedang menikmati sesuatu maka nikmatilah, jangan mau terganggu oleh hal lainnya, memotret misalnya. Sejak masa honeymoon #prikitiw hingga sekarang, prinsip itu masih kami pegang. Sebenarnnya untuk saya pribadi sih, hal ini bukan disengaja. Namun, secara alamiah mengalir begitu saja, menikmati kebersamaan, membuatnya berkualitas dan enjoyable hingga tanpa terasa waktu pun usai dan tak ada visualisasi moment itu sedikit pun. Hanya sebatas terekam dalam kenangan dan ingatan.

Keadaan makin didukung oleh suami yang tidak begitu senang berfoto, baik difoto maupun memoto. Sekalinya dimintai tolong untuk mengambil gambar saya atau Anis, hasilnya ya memang tak memuaskan hehehe. Jadi, semakin sulitlah kami mengoleksi moment dengan gambar.

Kecuali fitrah emak-emak saya sih tetap stay tune, ya. Hobi memotret anaknya pun menjangkiti saya. Hampir 80% bisa dibilang, isi gallery ponsel saya adalah foto Anis, mungkin seperti ibu-ibu kebanyakan lainnya.

Satu sisi, prinsip seize the moments ini bagus sebenarnya. During time, we literally could enjoy the moments itlself  fully, make it qualitied and worth to remembered. 

Namun, hanya sebatas itu!

Ketika saya ingin memanggil kembali memori tentang kejadian-kejadian di masa lalu, terasa tidak sempurna. Karena kurangnya gambar untuk mendukungnya.

Begitu juga dengan foto keluarga di handphone. Ketika orang lain meminta saya untuk mengirimkan foto keluarga kecil saya, selalu kesulitan. Perlu membuka file lama di gallery, saking jarangnya kami berfoto bersama.

Namun, hari ini kami membuat keseruan! Apakah itu? Jeng jeng jeng...

KAMI BER-PHOTOBOX  hahahaha.

Lebih mencengangkannya lagi, orang yang excited untuk melakukannya justru Pak Suami! Langka sekali, kan?

Sebenarnya, ini bukan kali pertama saya dan suami, juga Anis, ber-photobox. Namun, justru menjadi photobox kami terheboh sejauh ini. Mungkin karena Anis sudah lebih besar dan sedang masa-masa aktifnya, sehingga sulit sekali diajak bergaya bersama. Ditambah lagi, ukuran kami yang semakin mengembang #hahaha, membuat booth foto terasa sempit dan agak sulit bergerak wahahaha. 

Hal tersulitnya, sudah tentu adalah mengkondisikan Anis. Wah, LUAR BIASA! 

Boro-boro dia mau berpose dan tersenyum, yang ada malah kita heboh bertiga karena Anis terus-menerus memencet tombol-tombol yang berada di layar. Akibatnya, ter-capture-lah unready face kami, lebih banyak dibandingkan dengan wajah siapnya.


Alhamdulillaah, kami sangat menikmati event sederhana ini. Main purpose saya dan suami tetap bukan pada hasil jekrekan kameranya, tetapi pengalaman yang berbuah kenangan yang tak terlupakan, dan juga kebersamaan yang terjalin antar kami, menjadi point-nya.

So, kalian tim mana nih? 

Lebih memilih untuk banyak mengabadikan moment dalam bentuk gambar bersama keluarga, atau justru lebih menikmati kualitas dari kebersamaannya dan menyimpannya dalam memori saja?

Apapun itu, keep seizing the moments, yaaaa <3

Saturday, November 28, 2020

Keseruan Kelas Zoom Kaulinan Isteri Rumbel Boga Regional Bandung

Emak-Emak Kece Tukang Bikin Kue

Bismillaah.

Malam Minggu, nih! Pada ke mana kawan-kawan? Kalau saya sih stay at home aja. Karena kebetulan Pak Suami harus kerja, hujan seharian, dan angka Covid-19 lagi Siaga I di daerah saya. Serem juga, kan? Mugah-mudahan kita semua selalu diberi kesehatan yaaa :)

Eh, walaupun stay di rumah, tapi hari ini seru juga, lho. Sesiangan saya mengikuti acara Kaulinan Isteri Rumbel Boga Ibu Profesional. Apaan sih tuh? 

Jadi, Kaulinan Isteri ini merupakan salah satu program upgrading skill berjenjang di Rumbel Boga IP Regional Bandung. Programnya berjalan beberapa minggu dengan penyampaian dan pengupasan satu materi per minggunya. Kebetulan, minggu lalu Teh Tika sebagai pemateri kelas kali ini, berhalangan untuk menyampaikan materinya. Sehingga dirapel-lah materi minggu lalu ke minggu ini. Alhamdulillah-nya materi kemarin dan sekarang sangat relate sekali. Jadi, disampaikan berbarengan malah justru lebih nyambung dan mudah dipahami hihi.

Nah, tadi tuh kita bahas tentang bermacam metode baking dan kesalahan yang sering terjadi dalam baking. Wahahaha, saya yang awam per-baking-an langsung antusias dong pastinya. Maklum, selama ini bebikinan cake hanya bersandar pada arahan Om Google dan Mbah Youtube. Sering sukses sih Alhamdulillah, tapi lebih sering lagi gagalnya haha. Sedihnya adalah, saat harus gagal, karena keawaman diri jadilah bingung mau evaluasi dan memperbaikinya. Banter-banter akhirnya ganti resep untuk ke depannya >_< Ada yang senasib? 

Untuk itu, dengan mempelajari ilmunya, insyaAllah akan lebih mudah dalam praktik dan juga evaluasinya, betul? 

Kelas kali ini diadakan via Zoom. Uwow, pengalaman pertama juga sih buat saya tatap muka (walau tak langsung) dengan rekan-rekan serumbel yang selama ini hanya bersua via tulisan aja. Silaturahim terbentuk, bonding terbangun, bonusnya ilmu pula. Bahagia ga tuh?

Teh Nisa sebagai moderator sukses membawa kelas kali ini menjadi sangat interaktif. Pertanyaan dan diskusi pun lancar, seolah-olah menyuarakan isi hati teteh-teteh selama ini yang ternyata banyak yang senasib sepenaggungan dengan saya, sering gagal baking, haha. Alhasil, dua jam pun berjalan dengan tidak terasa sama sekali. Malah sebenarnya kurang sih. Karena sesi terakhir bahkan belum selesai, yaitu demo (bukan unjuk rasa-ahem) membuat cake dengan metode Sponge yang sedang hits, tetapi riskan gagal. Akhirnya, dilanjutkanlah diskusi yang seru itu ke whatsapp group Kaulinan Isteri. Hingga sekarang pun masih trang-tring berlanjut curcol emak-emak tentang kuenya, tuh hihi.

Dari materi kali ini, saya mendapatkan banyak sekali pembelajaran. Saya jadi kenal dengan istilah-istilah baking yang biasa digunakan oleh profesionalnya, seperti metode Sugar-Butter, metode Hot-Milk, folding, rub-in, shieve, dan masih banyak lagi. Hayoloh, ikut bingung ga yang baca? Itu baru dari metode ya. Belum lagi istilah dalam bahan kue, alat kue, bahkan nama-nama kuenya itu sendiri yang ihwow kadang mengucapkannya pun belibet nih lidah, wahaha. Makin yakin kalau sesuatu itu pasti ada ilmunya dan semua profesi itu ya hebat :)

Saya sendiri juga ikut memberondong Teh Tika dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah lama saya pendam, halahhh. Pertanyaan saya adalah tentang konversi ukuran jika menggunakan tepung lain, utamanya adalah oats halus, sebagai pengganti tepung terigu. Bagaimana cara membuat tekstur cake dengan bahan pengganti tersebut menjadi lebih acceptable dan mendekati hasil resep aslinya. Karena kan ceritanya saya ini sedang program mengurangi asupan Gluten untuk panganan rumah, tapi kendalanya adalah rasa dan tekstur dari bahan penggantinya itu belum bisa memberikan rasa seenak penggunaan tepung Gluten. Doh, ya, emang kan, yang namanya makanan kurang sehat itu pasti lebih menggoda huhu.

Selain itu, saya juga menanyakan cara membedakan mentega dan margarin yang masih bagus dengan yang sudah tidak layak guna, cara menentukan apakah suatu baking powder masih aktif dan juga penyebab turunnya kualitas dari bahan tersebut meski waktu simpan masih panjang. Bahkan, terjawab juga tuh isu mengenai bahan kue curah kurang bagus digunakan untuk produksi dibandingkan dengan bahan dengan pengemasan satuan. Weleh-weleh, ternyata bikin kue bukan hanya sebatas campur-campur bahan, masukkan oven, dan tadaaa jadi deh. Sungguh tak sesederhana itu Rosidah! Jika menginginkan hasil cake yang baik itu kuncinya adalah ILMU dan SABAR, kata Teh Tika juga. And I totally agree! wahahaha. 

Untuk isi materi, hasil diskusi, juga tips-tips baking hasil dari kelas Kaulinan Isteri hari ini insyaAllah akan saya bahas di tulisan lain. Tulisan ini sih lebih ke curhatan dan repostase haha.

Well, have a productive weekend, fellas

Friday, November 27, 2020

Selftalk is The New Monologue

Picture by Pinterest


Halo diri, Assalamu'alaykum.
Terima kasih untuk selalu berusaha menjadi diri seutuhnya meskipun dalam suasana tak memungkinkan. 
Setidaknya, kau terus mencoba.
Hari-hari ini tak begitu baik bagimu, kutahu.
Ada fase tak biasa sedang kau hadapi.
Tentang penerimaan diri dan juga keraguan atasnya.
Kau pun sendiri bingung mengapa itu bisa terjadi.
Pun bagaimana cara dealing dengannya.
Tak ada yang menginginkan situasi ini, tetapi saat ini kau ditakdirakan untuk menghadapinya.
Maka hadapilah.
Tanpa perlu terus merasa kuat, merasa tahu, merasa baik-baik saja.

Kadang kala, mengakui kelemahan diri itu perlu.
Memanusiakan dirimu sendiri, agar ia tak lupa.
Hidup bukan jalan tol yang akan terus lancar.
Eh, bahkan jalan tol pun tidak bisa dikatakan bebas hambatan, bukan?
Gagal, tak sesuai harapan, lelah, kesal, bagian dari fitrah manusia.
Kau pun manusia, hei wahai diri!
Tak apa-apa, wajar adanya.

Mengenai pilihan dan kondisi yang membuat ragu kemudian.
Ada alasannya.
Karena kau bertumbuh, semua berkembang.
Pasti akan terjadi perubahan cara validasi, atau sekedar opini tentangnya.
Makhluk dinamis adalah dirimu, diri setiap insan.
Jika dulu kau begitu menginginkannya, dan lalu kini kau mempertanyakannya, itu bukan salahmu.
Memang seperti itu akan terjadi, apalagi di dunia yang sarat informasi saat ini.

Diri, jika kau bingung, menepilah sejenak.
Pejamkan mata, tarik napasmu 4 detik pertama.
Tahan 7 detik selanjutnya.
Lepaskan perlahan dalam 8 detik kemudian.
Lakukan lagi, lagi, hingga kau temukan sosok kecil dirimu di sana.
Yang kan kau sapa ia, rangkul ia.
Hai, my inner child, there you are.

Kebuntuanmu akan terjawab.
Dengan waktu dan sedikit komunikasi bersama inner child-mu.
Tak lain tak bukan hanya meluruskan apa yang terlihat tak sesuai.
Mengisi apa yang kosong.
Menambal apa yang bopong. 
Membayar yang masih terhutang.

Buah pikirku, inner child bukanlah suatu excuse akan realita.
Objek empuk untuk disalahkan jika hidup sedang di luar jalurnya.
Bukan, tak seperti itu ia berfungsi sesungguhnya.
Justru ia terpanggil untuk berangkulan.
Mendiskusikan antar raga yang sama dalam dua generasi dan menyelaraskannya.
Jika kau kenal istilah support system, maka inner child-mu adalah bagian dari padanya.
Percayalah.
Ia akan memberi cahaya untuk kekalutanmu saat ini, bila kau bisa mendiskusikannya.
Bukan sekadar terpuruk dan kemudian memusuhinya.
Tak benar rasanya jika kita memusuhi diri kita sendiri, bukan begitu?

Larut.
Kini malam semakin mengelam.
Hujan masih mengguyur.
Menemani deretan kata, kegundahan, juga percakapan tanpa bahasa kita.
Cukupkah?
Saatnya ragamu meminta jatah.
Ia pun lelah, butuh sedikit rebah.
Jemputlah chapter lain dari cerita kita esok hari, wahai diri.
Namun, saat ini, biarkan kita merengkuh mimpi.
Selamat malam dunia, selamat malam diri.

P.S: You know I love you that much, hah? Because I have to love myself ...




Wednesday, November 25, 2020

CERPEN : Bullying!

  
Picture by Pinterest

  "Heh, ngapain lo sekolah di sini? Lo tahu, kan, kalo sekolah ini tuh sekolah elit? Anak panti asuhan macem Lo beneran ga pantes, deh!" Salah satu dialog di skenario hidupku sejak menjadi murid di SMA Lab Class. Masih banyak dialog serupa yang kudapat setiap harinya. Yah, aku Si Yatim Piatu yang berasa menang lotere karena sedikit keenceran otakku, yang akhirnya bisa bergabung di sekolah terbaik di Jakarta selama sepuluh tahun terakhir ini. Senang, sudah pasti. Namun, hidup tak akan menjadi benar-benar hidup jika terlalu mulus tanpa kerikil.

    Sebenarnya, aku tak sepenuhnya yatim piatu. Lebih tepatnya, belum dapat kupastikan itu. Karena keberadaanku di Panti Asuhan Puan Kenanga ini memiliki alasan sedikit dramatis, cukup mirip dengan kisah di sinetron yang tayang setiap hari. 

    Dibuang. Apakah kata itu cukup kasar untuk digunakan pada manusia? Sepertinya begitu. Namun, kenyataannya memang aku adalah anak yang dibuang. Di usia yang masih bayi merah saat itu, ibu kandungku membiarkanku tergeletak di bawah pohon beringin tepat di depan gerbang panti ini. Hanya beralaskan selimut lusuh dan kardus. Seperti itu cerita yang kuperoleh dari kepala panti saat kupaksa untuk buka suara tentang asal-usulku secara rinci.

    Kenyataan pahit dan juga kehidupan keras di panti asuhan sedikit banyak telah membentuk mentalku menjadi kuat, terlalu kuat, hingga cenderung kaku. Aku menjadi sosok yang tak mudah untuk meneteskan air mata. Bagiku, masalah yang terjadi kini sangat tak ada apa-apanya dibanding rasa sakit hati yang telah kupendam dan berusaha kukubur bertahun-tahun ini. Benar, rasa sakit karena terbuang itu memang luar biasa. Apalagi dilakukan oleh figur yang seharusnya dielukan, orang tua.

    Kabar baiknya adalah, segala bully-an yang kudapat selama bersekolah di sini pun menjadi tak begitu membebani. Aku tetap dapat berjalan dengan tenang melewati mereka yang menatapku dengan picingan mata sinis berikut mulut pedasnya. Apa yang harus kurisaukan, bila segala yang mereka katakan adalah realita. Membantah pun tak akan menghapus realita tersebut, bukan? Aku terima, pada awalnya.

    "Gis, sini, deh! Gabung sama kita, yuk! Pulang sekolah kita mau hang out bareng di apart Indra. Seru-seruan aja, nonton kek, renang kek, have fun. Lumayan hiburan juga sebelum UAS minggu depan." Ada yang aneh kutangkap. Veria, salah satu dari populasi yang sangat gencar mem-bully-ku, kini sangat ramah mengajak untuk bergabung bersama genk-nya. Serius, ini kali pertama kulihat ia semanis dan seramah ini padaku.

    "Iya, yuk, gabung! Lo ga penat apa seputar panti dan sekolah doang tiap hari?" Sissy, sahabat dan juga bagian dari genk-nya pun ikut menimpali. Bahkan, ia menggenggam lenganku seolah kita adalah dua kawan dekat sejak lama. Ada apa ini? Batinku tetap merasa janggal. Namun, dorongan dari mereka yang kerap dan intens, juga sikap hangat semuanya, membuatku berpikir untuk mencoba. Mengapa tidak? Toh, mereka juga temanku, kan? Mungkin mereka sudah lelah untuk mengejekku yang sudah dipastikan tidak memberikan respon apa-apa dariku. Manusia berubah dan itu wajar. Kuiyakan ajakan mereka.

    Bel tanda pulang sekolah telah berbunyi. Kumasukkan beberapa buku dan alat tulis ke dalam tas ransel berwarna merah yang telah usang dan lusuh. Maklum, tas itu sudah kupakai sejak SMP kelas tujuh, dan kini aku berada di bangku kelas sebelas SMA, empat tahun lalu.

    "Gis, kita tunggu di parkiran ya, gue mau ke kelas sebelah dulu," ucap Veria seolah mengingatkanku kembali pada ajakan yang diajukan saat jam istirahat tadi. Veria berlalu diikuti oleh beberapa Tiara, Rose, Mia, dan Sissy, yang kesemuanya pun menyunggingkan senyum yang sama. Kejadian langka, pikirku. Aku merasa sedikit senang, tak bisa kupungkiri. Akhirnya, segala bentuk ejekan, bully-an, hinaan padaku di sini akan segera berakhir. 

    Terparkir tiga mobildengan tipe dan merek ternama di parkiran, sesuai yang diinfokan oleh Veria sebelumnya. Salah satu mobil itu tentulah miliknya. Anak seorang pengusaha tambang emas dirasa wajar untuk memperoleh fasilitas seperti itu dari ayahnya. Apalagi, ibunya pun merupakan wanita sukses dengan gerai salon kecantikannya yang tersebar di mana-mana. Harga satu mobil mewah ini tak sebanding dengan omset yang mereka peroleh setiap bulannya kurasa.

    Mobil kedua adalah milik Mario, pacar Veria. Indra sebagai pemilik apartemen yang akan kami gunakan saat ini, adalah sahabat Mario. Kebetulan, mereka berbeda kelas denganku dan Veria. Namun, sejak Veria dan Mario berpacaran, secara otomatis genk binaan keduanya pun berbaur lebih dekat. 

    Mobil terakhir agak asing bagiku. Seorang lelaki dan beberapa rekannya berada di bangku penumpang dengan menggunakan seragam yang berbeda dengan kami. Asumsiku, mereka berasal dari sekolah berbeda. Namun, alasan apa yang membuat mereka bisa bergabung dengan murid sekolah ini, aku pun tidak tahu.

    "Hey, ngapain bengong di sini. Yuk, ke sana!" Tetiba suara Sissy mengagetkanku dari arah belakang. Tepukan tangannya di pundakku membuat sempurna kekagetan ini. Aku membetulkan tas ransel yang sedikit melorot, kemudian mengikuti Sissy ke arah jejeran mobil mewah bersama kawanannya.

    Agak canggung. Aku tak pernah bergaul dengan kalangan mereka sebelumnya. Bagaimana bisa bergaul, menatap wajah mereka pun aku ragu, karena sudah pasti hinaan dan cibiran yang selalu kuterima kemudian. Namun, kali ini sangat berbeda. Mereka semua duluan menyapa. Betul, SEMUA! Bahkan Mario, Indra, Marvin dan Vino, orang-orang yang tak pernah bertukar kata ataupun tatap sebelumnya, ikut menyapaku. 

    Kini, rombongan tiga lelaki dengan dua perempuan yang berbeda seragam dengan kami, ikut keluar dari mobil ketiga dan saling sapa serta berkenalan. Kecanggunganku memudar. Meski tak banyak bicara, aku sudah mampu menatap wajah mereka. 

    "Yok, kita capcus, guys!" Suara Veria mengambil alih perhatian kami. Satu per satu masuk ke dalam mobil dan bersiap untuk pergi. 

    "Hm, Gis, Lo di mobil Jess, ya! Kebetulan mobil gue udah penuh, nih." Veria menginstruksikanku untuk pergi dengan mobil ketiga, mobil paling besar di antara yang lainnya. Memang benar, di kursi pengemudi tentu Veria. Di sebelahnya, telah duduk manis dengan seatbelt terpasang, Sissy. Di kursi belakang, terisi penuh oleh Rose, Tiara dan Mia. 

    Sesaat aku ragu. Namun, kemudian Veria dan Sissy meyakinkanku dengan berkata bahwa kita akan bertemu kembali di tempat tujuan yang tak begitu jauh dari sekolah. Hanya membutuhkan sekitar 30 menit untuk mencapai apartemen milik Indra dan kita akan bersama lagi. Dan akhirnya aku pun mengikuti apa yang diaturkan olehnya.

    Tiba di ruangan cukup luas dengan tiga kamar tidur berisi furnitur bergaya modern minimalis. Unit milik Indra, atau mungkin milik orang tuanya, entahlah, berada di lantai 15. Pemandangannya luar biasa. Terlihat city view yang penuh dengan gedung-gedung megah. Aku takjub dengan pemandangan ini. Karena pemandangan kamarku sehari-hari adalah perkampungan kumuh di bantaran sungai yang berwarna cokelat. Jika hujan deras tiba, bersiaplah air masuk ke celah pintu dan membawa bau yang tak sedap.

    Aku duduk di sofa berwarna biru tua yang sangat empuk. Tak tahu apa yang harus diperbuat. Yang lain? Ada yang segera ke dapur, ke toilet, ruang tidur, dan balkon. Aku merasa sedikit terkucilkan. Tidak seperti sebelumnya, yang sangat hangat dan ramah untuk mengajakku ke sini. Kini, mereka seperti asyik masing-masing.

    "Gis, sini!" Aku menangkap suara Indra memanggil. Aku mencari arah suara dan kudapati ia di depan kamar utama, kamar paling besar dengan kamar mandi pribadi di dalamnya. Aku bangkit dari dudukku dan menghampirinya. Kudapati Veria, Mario, Sissy, Marvin, menuju arah yang sama. Yang lain, menatapku bergerak dengan tetap menghisap rokok yang berada di kepitan jemari mereka. 
Tatapannya aneh. Seperti hendak melihat pertunjukkan menarik dalam beberapa saat lagi.

    Indra menarik tanganku. Aku kaget. Ingin melepaskannya, tetapi genggaman itu terlalu kuat. 

    "Udah, siniii," ajaknya sambil menyeretku ke arah kamar utama. Tangan kirinya menggenggam puntung rokok yang belum dibakar, yang kini ia sematkan di mulutnya.

    "Eh, bentar, ke mana ini?" tanyaku mulai panik.

    Tarikan tangannya kian kuat, membawaku pada kamar luas dengan Jess di dalamnya. Aku dihempaskan ke ruangan itu, hingga tubuhku terjatuh ke kasur ukuran besar yang sangat nyaman dan lembut. Ketika hendak kubangkit dan keluar dari kamar, Indra telah menutupnya dengan suara dentuman keras yang diikuti suara kunci dari luar. Kini hanya ada aku dan Jess di dalam. Juga teriakan dari balik pintu kamar yang sangat menyayatku. "Enjoy, Jess! She is for you!" Diikuti gelak tawa yang bersahut-sahutan, membuat kepalaku berputar dan perutku melilit karena panik dan marahnya. Dan semua itu malah membuatku semakin tak berdaya.

    Yang kuingat, lelaki di hadapanku ini menenggakkan minuman beraroma tajam dan berasa pahit ke mulutku. Setiap tegukan yang masuk ke dalam kerongkongan dan lambungku membuat kesadaran menurun. Hanya perasaan melayang dan euphoria yang kudapati, aku seperti terbang. Dan kemudian semua berlalu tanpa kutahu pasti kejadiannya. Yang kudapati saat terbangun dan tersadar, tubuhku hanya dibalut selimut wangi tanpa sama sekali busana menempel di sana. Seragamku teronggok di lantai bersama pakaian dalamku, juga seragam lain yang kutahu itu adalah milik Jess, yang ternyata tertidur juga tepat di sebelahku.

    Aku menangis sejadi-jadinya. Tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Tangisanku membangunkan makhluk yang tertidur di sebelahku. 

    "Ssstt, berisik amat, sih! Diem ga, Lo? Gue capek, nih!"

    Aku semakin terisak.

    "Diem! Ngaapain, sih, Lo nangis-nangis, hah? Tadi aja Lo nikmatin, kok! Jangan sok suci deh sekarang pake nangis-nangis segala!" Bentakannya membuatku semakin kacau.

    "Hehehe, kalo Lo ga diem juga, gue sebarin, lho, video hot kita tadi, mau?" Kini bukan sekadar bentakan, tetapi berupa ancaman. 

    "Video? Apa maksudnya?" Aku tak habis pikir.

    Jess mengambil ponsel yang tergeletak di nakas sebelah kasur, mengotak-atik sesaat, dan kemudian menunjukkan sesuatu padaku.

    "Nih, liat! Wow, Lo kece juga ya permaenannya. See, girl! You enjoyed it a lot." 

    Video berdurasi sekitar dua menit itu sungguh membuat isi perutku ingin keluar. Aku berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua. Tawa jahat Jess mengiringiku. 

    "Makanya, diem, okey! Tutup mulut, atau video ini gue viralin di mana-mana, hahahaha" Gelak tawanya menyadarkanku bahwa aku dijebak. Bukan oleh Jess saja, tetapi juga Veria, Mario, Indra, Sissy, dan yang lainnya. Kebaikannya hanyalah alat untuk menggiringku pada perangkap ini. Kenapa? Kenapa mereka sebenci ini padaku? Apa salahku pada mereka? Apa hanya karena aku si anak panti dan yang bahkan dibuang oleh orang tuanya sendiri? Apa karena itu?

    Tangisku tak dapat lagi tecurahkan. Air mata seolah kering. Kupandangi tubuhku di cermin besar kamar mandi mewah ini. "Lo udah ga ada harganya lagi, Gis! Semua udah selesai!" teriakku dalam batin.

    Sebilah pisau cukur yang memungkinkan untukku cukil dan kuambil mata pisaunya. Kunyalakan shower dengan debit air terderas. Kududuk di bawah kucuran air dingin yang tak terasa dingin sedikit pun olehku. Kulemparkan senyum ke arah tak pasti, dan kuayunkan bilah pisau yang sangat tajam tepat di nadi pergelangan tangan kiriku. Hangat. Cairan berwarna merah membanjiri bath tub, bersenyawa dengan air, mengalir menuju lubang pembuangan. Kian deras dan kental. Mengantarkanku pada masa transisi antara bernyawa dan tidak. 

    Tak lama kemudian, seluruh organ tak mampu lagi melakukan fungsinya, sebab tak ada lagi pompaan darah yang mengalir ke seluruh bagian tubuh lainnya. Habis, terbuang ke dalam pusara air, membawa serta sakit hati dan amarah tak terlampiaskanku.

    Untuk kalian yang telah merencanakan semua ini, "Terima kasih, kini kudapat terbebas dari jahatnya dunia beserta isinya."
    
    

Tuesday, November 24, 2020

STAYCATION during Pandemic, Yay or Nay?

Bismillah.
Hola hola, kembali menyelami blog yang sudah mulai ditandangi lumut di beberapa sudut haha. Bukan kurang ide menulis sebenarnya, tetapi kadar malas untuk menuangkannya ke dalam tulisan itu yang lagi gencar akhir-akhir ini, duhai, penyakit akhir tahun sekali, bukan? 

Picture by Pinterest
Nah, jadi kali ini saya mau membahas lifestyle yang sedang naik daun, nih! Apalagi sejak dicetuskannya budaya new normal, saya rasa trend ini semakin digandrungi. Apalagi yang tinggal di kota besar, kemudahan membuat mereka lebih leluasa. Hayoo, apa coba kegiatannya? STAYCATION. Yup, liburan ngotel kalau kata Anis. 

Kenapa sih staycation ini jadi makin trending dan lumayan layak dicoba untuk yang sudah ga kuat liburan di masa pandemi gini? Here my top three reasons! Eh, jangan lupa dibaca penjelasan dan tips-tipsnya, ya hihi.

1. Cakupan Tempat Lebih Terbatas
Jika dibandingkan dengan pergi ke mall atau pusat hiburan, misalnya, berlibur di hotel ini memberikan ruang gerak interaksi lebih sedikit. Bahkan, kita bisa lebih meminimalisirnya lagi, dengan membawa makanan dari rumah (haha sekalian irit kan tuh), menetapkan in room breakfast (malah beberapa hotel masih menerapkan ini hingga sekarang, walaupun beberapa hotel mulai longgar dengan mengadakan buffet dengan protokol), menggunakan fasilitas hotel (jika sudah mulai dibuka), seperti kolam renang, tempat fitness, seperlunya dan melihat kondisi (jika terlalu penuh lebih baik jangan dan selalu membawa sanitizer juga masker), atau kalau mau lebih ekstrim lagi, kita bisa hanya check-in dan stay di kamar hingga check-out. Lho, kalau gitu ngapain ngotel dong? Eitz, jangan salah, untuk yang sudah mumet banget harus di rumah aja, pindah tidur begini juga sudah sangat membantu mengembalikan kewarasan, lho. Karena kita disuguhkan dengan suasana baru, tanpa cucian piring numpuk, harus membereskan ruangan dan kasur atau menyapu dan mengepel, ibu-ibu pasti bahagia kan bebas tugas begini hihi.

2. Lebih Mudah Mengontrol Anak
Ini terkhususkan yang sudah memiliki bocah. Dikurung berbulan-bulan sedikit banyak mempengaruhi psikis mereka, lho. Ya, jangankan bocah yang belum paham-paham amat tentang Covid-19 ini, kita orang dewasa yang sudah mengerti pun kena dampak juga, kan? Karena tetap saja ada kebutuhan psikologis lain yang harus tetap dipenuhi untuk menjaga stabilnya emosi kita, betul? Nah, menurut saya, staycation adalah salah satu solusi untuk itu dengan tidak mengesampingkan kondisi pandemi saat ini. Jangan lupa bawakan mereka mainan kesukaannya, ya! Biarkan mereka bermain dengan bebas di bath tub atau berjalan-jalan pagi di taman hotel, di saat udara masih segar dan tentunya pengunjung masih belum banyak dan sepi.

3. Dampak Pandemi pada Industri Pariwisata melahirkan Promo Besar-besaran
Salah satu sektor pariwisata ini tentunya akomodasi ya, dan hotel menjadi bagiannya. Para perusahaan penyedia jasa booking hotel ini berlomba-lomba memberikan promosi untuk kembali menaikkan industri mereka. Bahkan, tak sedikit official website dari hotel-hotelnya pun membuat harga miring yang kini sangat bersaing dengan harga yang diberikan oleh situs e-commerce. Sebenarnya, harga gila ini membawa hal baik dan hal buruk untuk kegiatan staycation ini sendiri. Baiknya, sudah tentu membantu dompet kita untuk bernapas lebih leluasa. Hal buruknya, peminat yang lebih tinggi membuat suasana hotel semakin ramai. Solusinya, pilihlah weekday sebagai waktu booking jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan, pilih kamar hotel yang nyaman dan memiliki fasilitas yang mumpuni, sehingga staycation cukup hanya di dalam kamar saja. 

Gimana? Cukup memberi insight untuk teman-teman yang sudah tak kuat di rumah berlama-lama, bukan? Tulisan ini hanyalah pendapat dan pengalaman pribadi saya aja, lho ya. Bagi yang membutuhkannya, sila dicoba. Namun, tetap protokol kesehatan new normal-nya diterapkan, okey! Have a nice short escape, pals! Stay healthy, happy, and safe

Friday, November 13, 2020

CERPEN: Aku Tak Semenarik Dulu Lagi

 

    Kulitku semakin memerah. Lebih tepatnya cokelat keunguan, mengingat warna dasar kulitku yang tidak begitu putih atau pun kuning. Paparan sinar matahari yang kian hari terasa kian terik, atau mungkin hanya perasaanku saja? Entahlah. Yang kutahu, kulit ini harus mampu bersahabat baik dengan sinar ultraviolet yang kadang jahat ini. Kau tidak akan setuju dengan pernyataanku hingga kau berada di posisiku.

      Aku terduduk di trotoar yang berbatu. Tidak yakin dengan penyebab keroposnya jalur pejalan kaki ini. Mungkin konstruksi yang kurang baik hingga tak begitu kuat terkena hantaman cuaca juga beban para penggunanya, atau bisa juga karena kendaraan yang menyalahgunakannya. Jika kalian hidup di kota besar, kalian pasti paham yang kumaksud. Sepeda motor yang dengan manisnya menanjak dan mengambil alih trotoar sebagai upaya menghindari kemacetan, sudah barang tentu itu alasannya.

     Aku tak peduli. Setidaknya tetap dapat kuistirahatkan tubuh ini sesaat, di antara usahaku mengais rezeki. Ya, aku lah pejuang rupiah di jalanan. Namun, kurasa itu tak begitu hina. Mengapa harus merasa seperti itu, jika aku bahkan tidak melakukan kemaksiatan apapun. Aku tidak mencuri, aku tidak menipu. Aku menjalankan pekerjaan yang amat disarankan oleh Rasulku.

    Lampu tiga warna dalam kotak hitam telah berganti. Warna hijau kini beralih merah. Kendaraan dengan berbagai tipe dan kasta, kukatakan begitu, satu per satu berhenti dan membentuk barisan dengan deru mesin yang saling sahut-menyahut. Alarm tubuhku seperti mengisyaratkan dengan otomatis untuk segera bangkit dari duduk dan bergegas. Mendekati mobil per mobil, juga motor, dengan menyodorkan tumpukan kertas. Aku tahu, sebagian dari mereka mungkin tak tertarik lagi dengan daganganku. Teknologi sedikit banyak telah menggeser eksistensiku, oh bukan, tepatnya eksistensi benda asonganku.

    Dengan gadget yang hampir semua orang memilikinya, segala informasi sangat mudah mereka dapatkan. Apalagi aplikasi mumpuni dengan kecanggihan mode notifikasinya, juga sisi tambahan real time-nya, sangat jauh jika dibandingkan harus membolak-balikkan kertas yang bahkan kontennya pun tak begitu update karena keterbatasan waktu proses pengumpulan berita hingga cetak. Peristiwa yang terjadi satu jam yang lalu, bahkan kini telah mampu diakses, beriringan dengan nada pemberitahuan yang mengabarkan tentang rilisnya konten baru. Sungguh, semudah itu.

    Namun, aku tetap menggeluti usahaku. Dengan alasan tentunya.

    Alasan klise pertama, tentu perihal tidak mudahnya mencari pekerjaan lain saat ini. Aku yang hanya keluaran sekolah menengah pertama, yang bahkan tidak tamat karena kendala biaya, akan menjadi bagian dari daftar yang tidak akan dilirik oleh perusahaan dengan pekerjaan yang lebih mumpuni. Jikapun dilirik, itu akan menjadi suatu prosentasi kecil yang mengarah pada keberuntungan. Sayangnya, aku bukan tipikal orang yang senang bergantung hanya pada keberuntungan.

    Alasan kedua, kepuasan batin. Pekerjaan ini memang tak lagi banyak memberikanku pundi rupiah. Meskipun dulu, di zamannya, aku sempat berada di atas angin menikmati hasil kerja dari mata pencahariaan yang sama. Namun, kini aku hanya menjadi sosok langka yang siap punah. Secara finansial, aku terpuruk. Namun, dengan pekerjaan ini aku dapat mengisi tangki informasi dengan gratis dan up to date, versiku.

    Gawaiku terbatas hanya untuk fungsi telepon dan juga berkirim pesan. Itu pun kadang tak maksimal karena tak selalu terisi pulsa. Aku tak seberuntung mereka yang memiliki segala dalam genggaman melalui satu benda bernama gawai. Dan dengan pekerjaanku ini, sedikit banyak aku tetap dapat melahap informasi terkini yang terjadi di segala penjuru dunia, dengan gratis. Tak terlalu masalah dengan waktu yang tak begitu riil seperti mereka dengan aplikasinya. Namun, setidaknya aku tetap dapat melihat dunia melalui jendelaku, dan aku sangat menikmatinya.

    Rasa dahaga akan ilmu dan berita, dapat kuperoleh dengan memanfaatkan jeda lampu lalu lintas ketika berwarna hijau. Saat mereka berlalu-lalang dengan kendaraannya, aku menepi dan kubalik halaman per halaman dagangan di genggamanku, kubaca, bejanaku terpenuhi. Kini, isi otakku dengan para pemilik gadget mahal itu dapat disetarakan. Atau bahkan aku lebih unggul jika mereka hanya memanfaatkan teknologi dalam genggamannya hanya sebatas posting hasil selfie di media sosial. Bukan, aku tak merasa bangga. Namun, aku bahagia karena ternyata kondisi berbeda tak menutup suatu kesempatan yang sama.

      Lampu kembali berganti, ya, kini hijau kembali. Aku kembali menyisi, duduk di trotoar berbatu ini. Membuka lembaran baru, lanjutan berita yang telah kubaca di jeda lampu hijau sebelumnya. Menyelami diriku dalam lautan informasi dan ilmu melalui barang asonganku, surat kabar harian dan juga beberapa tabloid cetak yang kini kian pudar keberadaannya.