Friday, November 13, 2020

CERPEN: Aku Tak Semenarik Dulu Lagi

 

    Kulitku semakin memerah. Lebih tepatnya cokelat keunguan, mengingat warna dasar kulitku yang tidak begitu putih atau pun kuning. Paparan sinar matahari yang kian hari terasa kian terik, atau mungkin hanya perasaanku saja? Entahlah. Yang kutahu, kulit ini harus mampu bersahabat baik dengan sinar ultraviolet yang kadang jahat ini. Kau tidak akan setuju dengan pernyataanku hingga kau berada di posisiku.

      Aku terduduk di trotoar yang berbatu. Tidak yakin dengan penyebab keroposnya jalur pejalan kaki ini. Mungkin konstruksi yang kurang baik hingga tak begitu kuat terkena hantaman cuaca juga beban para penggunanya, atau bisa juga karena kendaraan yang menyalahgunakannya. Jika kalian hidup di kota besar, kalian pasti paham yang kumaksud. Sepeda motor yang dengan manisnya menanjak dan mengambil alih trotoar sebagai upaya menghindari kemacetan, sudah barang tentu itu alasannya.

     Aku tak peduli. Setidaknya tetap dapat kuistirahatkan tubuh ini sesaat, di antara usahaku mengais rezeki. Ya, aku lah pejuang rupiah di jalanan. Namun, kurasa itu tak begitu hina. Mengapa harus merasa seperti itu, jika aku bahkan tidak melakukan kemaksiatan apapun. Aku tidak mencuri, aku tidak menipu. Aku menjalankan pekerjaan yang amat disarankan oleh Rasulku.

    Lampu tiga warna dalam kotak hitam telah berganti. Warna hijau kini beralih merah. Kendaraan dengan berbagai tipe dan kasta, kukatakan begitu, satu per satu berhenti dan membentuk barisan dengan deru mesin yang saling sahut-menyahut. Alarm tubuhku seperti mengisyaratkan dengan otomatis untuk segera bangkit dari duduk dan bergegas. Mendekati mobil per mobil, juga motor, dengan menyodorkan tumpukan kertas. Aku tahu, sebagian dari mereka mungkin tak tertarik lagi dengan daganganku. Teknologi sedikit banyak telah menggeser eksistensiku, oh bukan, tepatnya eksistensi benda asonganku.

    Dengan gadget yang hampir semua orang memilikinya, segala informasi sangat mudah mereka dapatkan. Apalagi aplikasi mumpuni dengan kecanggihan mode notifikasinya, juga sisi tambahan real time-nya, sangat jauh jika dibandingkan harus membolak-balikkan kertas yang bahkan kontennya pun tak begitu update karena keterbatasan waktu proses pengumpulan berita hingga cetak. Peristiwa yang terjadi satu jam yang lalu, bahkan kini telah mampu diakses, beriringan dengan nada pemberitahuan yang mengabarkan tentang rilisnya konten baru. Sungguh, semudah itu.

    Namun, aku tetap menggeluti usahaku. Dengan alasan tentunya.

    Alasan klise pertama, tentu perihal tidak mudahnya mencari pekerjaan lain saat ini. Aku yang hanya keluaran sekolah menengah pertama, yang bahkan tidak tamat karena kendala biaya, akan menjadi bagian dari daftar yang tidak akan dilirik oleh perusahaan dengan pekerjaan yang lebih mumpuni. Jikapun dilirik, itu akan menjadi suatu prosentasi kecil yang mengarah pada keberuntungan. Sayangnya, aku bukan tipikal orang yang senang bergantung hanya pada keberuntungan.

    Alasan kedua, kepuasan batin. Pekerjaan ini memang tak lagi banyak memberikanku pundi rupiah. Meskipun dulu, di zamannya, aku sempat berada di atas angin menikmati hasil kerja dari mata pencahariaan yang sama. Namun, kini aku hanya menjadi sosok langka yang siap punah. Secara finansial, aku terpuruk. Namun, dengan pekerjaan ini aku dapat mengisi tangki informasi dengan gratis dan up to date, versiku.

    Gawaiku terbatas hanya untuk fungsi telepon dan juga berkirim pesan. Itu pun kadang tak maksimal karena tak selalu terisi pulsa. Aku tak seberuntung mereka yang memiliki segala dalam genggaman melalui satu benda bernama gawai. Dan dengan pekerjaanku ini, sedikit banyak aku tetap dapat melahap informasi terkini yang terjadi di segala penjuru dunia, dengan gratis. Tak terlalu masalah dengan waktu yang tak begitu riil seperti mereka dengan aplikasinya. Namun, setidaknya aku tetap dapat melihat dunia melalui jendelaku, dan aku sangat menikmatinya.

    Rasa dahaga akan ilmu dan berita, dapat kuperoleh dengan memanfaatkan jeda lampu lalu lintas ketika berwarna hijau. Saat mereka berlalu-lalang dengan kendaraannya, aku menepi dan kubalik halaman per halaman dagangan di genggamanku, kubaca, bejanaku terpenuhi. Kini, isi otakku dengan para pemilik gadget mahal itu dapat disetarakan. Atau bahkan aku lebih unggul jika mereka hanya memanfaatkan teknologi dalam genggamannya hanya sebatas posting hasil selfie di media sosial. Bukan, aku tak merasa bangga. Namun, aku bahagia karena ternyata kondisi berbeda tak menutup suatu kesempatan yang sama.

      Lampu kembali berganti, ya, kini hijau kembali. Aku kembali menyisi, duduk di trotoar berbatu ini. Membuka lembaran baru, lanjutan berita yang telah kubaca di jeda lampu hijau sebelumnya. Menyelami diriku dalam lautan informasi dan ilmu melalui barang asonganku, surat kabar harian dan juga beberapa tabloid cetak yang kini kian pudar keberadaannya.

No comments:

Post a Comment