Kulitku
semakin memerah. Lebih tepatnya cokelat keunguan, mengingat warna dasar kulitku
yang tidak begitu putih atau pun kuning. Paparan sinar matahari yang kian hari
terasa kian terik, atau mungkin hanya perasaanku saja? Entahlah. Yang kutahu,
kulit ini harus mampu bersahabat baik dengan sinar ultraviolet yang kadang
jahat ini. Kau tidak akan setuju dengan pernyataanku hingga kau berada di
posisiku.
Aku terduduk di trotoar yang
berbatu. Tidak yakin dengan penyebab keroposnya jalur pejalan kaki ini. Mungkin
konstruksi yang kurang baik hingga tak begitu kuat terkena hantaman cuaca juga
beban para penggunanya, atau bisa juga karena kendaraan yang
menyalahgunakannya. Jika kalian hidup di kota besar, kalian pasti paham yang
kumaksud. Sepeda motor yang dengan manisnya menanjak dan mengambil alih trotoar
sebagai upaya menghindari kemacetan, sudah barang tentu itu alasannya.
Aku tak peduli. Setidaknya tetap
dapat kuistirahatkan tubuh ini sesaat, di antara usahaku mengais rezeki. Ya,
aku lah pejuang rupiah di jalanan. Namun, kurasa itu tak begitu hina. Mengapa
harus merasa seperti itu, jika aku bahkan tidak melakukan kemaksiatan apapun.
Aku tidak mencuri, aku tidak menipu. Aku menjalankan pekerjaan yang amat
disarankan oleh Rasulku.
Lampu tiga warna dalam kotak hitam
telah berganti. Warna hijau kini beralih merah. Kendaraan dengan berbagai tipe
dan kasta, kukatakan begitu, satu per satu berhenti dan membentuk barisan
dengan deru mesin yang saling sahut-menyahut. Alarm tubuhku seperti
mengisyaratkan dengan otomatis untuk segera bangkit dari duduk dan bergegas.
Mendekati mobil per mobil, juga motor, dengan menyodorkan tumpukan kertas. Aku
tahu, sebagian dari mereka mungkin tak tertarik lagi dengan daganganku.
Teknologi sedikit banyak telah menggeser eksistensiku, oh bukan, tepatnya
eksistensi benda asonganku.
Dengan gadget yang hampir semua orang memilikinya, segala informasi sangat
mudah mereka dapatkan. Apalagi aplikasi mumpuni dengan kecanggihan mode notifikasinya,
juga sisi tambahan real time-nya,
sangat jauh jika dibandingkan harus membolak-balikkan kertas yang bahkan
kontennya pun tak begitu update karena
keterbatasan waktu proses pengumpulan berita hingga cetak. Peristiwa yang
terjadi satu jam yang lalu, bahkan kini telah mampu diakses, beriringan dengan
nada pemberitahuan yang mengabarkan tentang rilisnya konten baru. Sungguh,
semudah itu.
Namun, aku tetap menggeluti usahaku.
Dengan alasan tentunya.
Alasan klise pertama, tentu perihal
tidak mudahnya mencari pekerjaan lain saat ini. Aku yang hanya keluaran sekolah
menengah pertama, yang bahkan tidak tamat karena kendala biaya, akan menjadi
bagian dari daftar yang tidak akan dilirik oleh perusahaan dengan pekerjaan
yang lebih mumpuni. Jikapun dilirik, itu akan menjadi suatu prosentasi kecil
yang mengarah pada keberuntungan. Sayangnya, aku bukan tipikal orang yang
senang bergantung hanya pada keberuntungan.
Alasan kedua, kepuasan batin. Pekerjaan
ini memang tak lagi banyak memberikanku pundi rupiah. Meskipun dulu, di
zamannya, aku sempat berada di atas angin menikmati hasil kerja dari mata
pencahariaan yang sama. Namun, kini aku hanya menjadi sosok langka yang siap
punah. Secara finansial, aku terpuruk. Namun, dengan pekerjaan ini aku dapat
mengisi tangki informasi dengan gratis dan up
to date, versiku.
Gawaiku terbatas hanya untuk fungsi
telepon dan juga berkirim pesan. Itu pun kadang tak maksimal karena tak selalu
terisi pulsa. Aku tak seberuntung mereka yang memiliki segala dalam genggaman
melalui satu benda bernama gawai. Dan dengan pekerjaanku ini, sedikit banyak
aku tetap dapat melahap informasi terkini yang terjadi di segala penjuru dunia,
dengan gratis. Tak terlalu masalah dengan waktu yang tak begitu riil seperti
mereka dengan aplikasinya. Namun, setidaknya aku tetap dapat melihat dunia
melalui jendelaku, dan aku sangat menikmatinya.
Rasa dahaga akan ilmu dan berita,
dapat kuperoleh dengan memanfaatkan jeda lampu lalu lintas ketika berwarna
hijau. Saat mereka berlalu-lalang dengan kendaraannya, aku menepi dan kubalik
halaman per halaman dagangan di genggamanku, kubaca, bejanaku terpenuhi. Kini,
isi otakku dengan para pemilik gadget mahal
itu dapat disetarakan. Atau bahkan aku lebih unggul jika mereka hanya
memanfaatkan teknologi dalam genggamannya hanya sebatas posting hasil selfie di
media sosial. Bukan, aku tak merasa bangga. Namun, aku bahagia karena ternyata
kondisi berbeda tak menutup suatu kesempatan yang sama.
Lampu kembali berganti, ya, kini
hijau kembali. Aku kembali menyisi, duduk di trotoar berbatu ini. Membuka
lembaran baru, lanjutan berita yang telah kubaca di jeda lampu hijau sebelumnya.
Menyelami diriku dalam lautan informasi dan ilmu melalui barang asonganku,
surat kabar harian dan juga beberapa tabloid cetak yang kini kian pudar
keberadaannya.
No comments:
Post a Comment