Picture by Pinterest |
"Heh, ngapain lo sekolah di sini? Lo tahu, kan, kalo sekolah ini tuh sekolah elit? Anak panti asuhan macem Lo beneran ga pantes, deh!" Salah satu dialog di skenario hidupku sejak menjadi murid di SMA Lab Class. Masih banyak dialog serupa yang kudapat setiap harinya. Yah, aku Si Yatim Piatu yang berasa menang lotere karena sedikit keenceran otakku, yang akhirnya bisa bergabung di sekolah terbaik di Jakarta selama sepuluh tahun terakhir ini. Senang, sudah pasti. Namun, hidup tak akan menjadi benar-benar hidup jika terlalu mulus tanpa kerikil.
Sebenarnya, aku tak sepenuhnya yatim piatu. Lebih tepatnya, belum dapat kupastikan itu. Karena keberadaanku di Panti Asuhan Puan Kenanga ini memiliki alasan sedikit dramatis, cukup mirip dengan kisah di sinetron yang tayang setiap hari.
Dibuang. Apakah kata itu cukup kasar untuk digunakan pada manusia? Sepertinya begitu. Namun, kenyataannya memang aku adalah anak yang dibuang. Di usia yang masih bayi merah saat itu, ibu kandungku membiarkanku tergeletak di bawah pohon beringin tepat di depan gerbang panti ini. Hanya beralaskan selimut lusuh dan kardus. Seperti itu cerita yang kuperoleh dari kepala panti saat kupaksa untuk buka suara tentang asal-usulku secara rinci.
Kenyataan pahit dan juga kehidupan keras di panti asuhan sedikit banyak telah membentuk mentalku menjadi kuat, terlalu kuat, hingga cenderung kaku. Aku menjadi sosok yang tak mudah untuk meneteskan air mata. Bagiku, masalah yang terjadi kini sangat tak ada apa-apanya dibanding rasa sakit hati yang telah kupendam dan berusaha kukubur bertahun-tahun ini. Benar, rasa sakit karena terbuang itu memang luar biasa. Apalagi dilakukan oleh figur yang seharusnya dielukan, orang tua.
Kabar baiknya adalah, segala bully-an yang kudapat selama bersekolah di sini pun menjadi tak begitu membebani. Aku tetap dapat berjalan dengan tenang melewati mereka yang menatapku dengan picingan mata sinis berikut mulut pedasnya. Apa yang harus kurisaukan, bila segala yang mereka katakan adalah realita. Membantah pun tak akan menghapus realita tersebut, bukan? Aku terima, pada awalnya.
"Gis, sini, deh! Gabung sama kita, yuk! Pulang sekolah kita mau hang out bareng di apart Indra. Seru-seruan aja, nonton kek, renang kek, have fun. Lumayan hiburan juga sebelum UAS minggu depan." Ada yang aneh kutangkap. Veria, salah satu dari populasi yang sangat gencar mem-bully-ku, kini sangat ramah mengajak untuk bergabung bersama genk-nya. Serius, ini kali pertama kulihat ia semanis dan seramah ini padaku.
"Iya, yuk, gabung! Lo ga penat apa seputar panti dan sekolah doang tiap hari?" Sissy, sahabat dan juga bagian dari genk-nya pun ikut menimpali. Bahkan, ia menggenggam lenganku seolah kita adalah dua kawan dekat sejak lama. Ada apa ini? Batinku tetap merasa janggal. Namun, dorongan dari mereka yang kerap dan intens, juga sikap hangat semuanya, membuatku berpikir untuk mencoba. Mengapa tidak? Toh, mereka juga temanku, kan? Mungkin mereka sudah lelah untuk mengejekku yang sudah dipastikan tidak memberikan respon apa-apa dariku. Manusia berubah dan itu wajar. Kuiyakan ajakan mereka.
Bel tanda pulang sekolah telah berbunyi. Kumasukkan beberapa buku dan alat tulis ke dalam tas ransel berwarna merah yang telah usang dan lusuh. Maklum, tas itu sudah kupakai sejak SMP kelas tujuh, dan kini aku berada di bangku kelas sebelas SMA, empat tahun lalu.
"Gis, kita tunggu di parkiran ya, gue mau ke kelas sebelah dulu," ucap Veria seolah mengingatkanku kembali pada ajakan yang diajukan saat jam istirahat tadi. Veria berlalu diikuti oleh beberapa Tiara, Rose, Mia, dan Sissy, yang kesemuanya pun menyunggingkan senyum yang sama. Kejadian langka, pikirku. Aku merasa sedikit senang, tak bisa kupungkiri. Akhirnya, segala bentuk ejekan, bully-an, hinaan padaku di sini akan segera berakhir.
Terparkir tiga mobildengan tipe dan merek ternama di parkiran, sesuai yang diinfokan oleh Veria sebelumnya. Salah satu mobil itu tentulah miliknya. Anak seorang pengusaha tambang emas dirasa wajar untuk memperoleh fasilitas seperti itu dari ayahnya. Apalagi, ibunya pun merupakan wanita sukses dengan gerai salon kecantikannya yang tersebar di mana-mana. Harga satu mobil mewah ini tak sebanding dengan omset yang mereka peroleh setiap bulannya kurasa.
Mobil kedua adalah milik Mario, pacar Veria. Indra sebagai pemilik apartemen yang akan kami gunakan saat ini, adalah sahabat Mario. Kebetulan, mereka berbeda kelas denganku dan Veria. Namun, sejak Veria dan Mario berpacaran, secara otomatis genk binaan keduanya pun berbaur lebih dekat.
Mobil terakhir agak asing bagiku. Seorang lelaki dan beberapa rekannya berada di bangku penumpang dengan menggunakan seragam yang berbeda dengan kami. Asumsiku, mereka berasal dari sekolah berbeda. Namun, alasan apa yang membuat mereka bisa bergabung dengan murid sekolah ini, aku pun tidak tahu.
"Hey, ngapain bengong di sini. Yuk, ke sana!" Tetiba suara Sissy mengagetkanku dari arah belakang. Tepukan tangannya di pundakku membuat sempurna kekagetan ini. Aku membetulkan tas ransel yang sedikit melorot, kemudian mengikuti Sissy ke arah jejeran mobil mewah bersama kawanannya.
Agak canggung. Aku tak pernah bergaul dengan kalangan mereka sebelumnya. Bagaimana bisa bergaul, menatap wajah mereka pun aku ragu, karena sudah pasti hinaan dan cibiran yang selalu kuterima kemudian. Namun, kali ini sangat berbeda. Mereka semua duluan menyapa. Betul, SEMUA! Bahkan Mario, Indra, Marvin dan Vino, orang-orang yang tak pernah bertukar kata ataupun tatap sebelumnya, ikut menyapaku.
Kini, rombongan tiga lelaki dengan dua perempuan yang berbeda seragam dengan kami, ikut keluar dari mobil ketiga dan saling sapa serta berkenalan. Kecanggunganku memudar. Meski tak banyak bicara, aku sudah mampu menatap wajah mereka.
"Yok, kita capcus, guys!" Suara Veria mengambil alih perhatian kami. Satu per satu masuk ke dalam mobil dan bersiap untuk pergi.
"Hm, Gis, Lo di mobil Jess, ya! Kebetulan mobil gue udah penuh, nih." Veria menginstruksikanku untuk pergi dengan mobil ketiga, mobil paling besar di antara yang lainnya. Memang benar, di kursi pengemudi tentu Veria. Di sebelahnya, telah duduk manis dengan seatbelt terpasang, Sissy. Di kursi belakang, terisi penuh oleh Rose, Tiara dan Mia.
Sesaat aku ragu. Namun, kemudian Veria dan Sissy meyakinkanku dengan berkata bahwa kita akan bertemu kembali di tempat tujuan yang tak begitu jauh dari sekolah. Hanya membutuhkan sekitar 30 menit untuk mencapai apartemen milik Indra dan kita akan bersama lagi. Dan akhirnya aku pun mengikuti apa yang diaturkan olehnya.
Tiba di ruangan cukup luas dengan tiga kamar tidur berisi furnitur bergaya modern minimalis. Unit milik Indra, atau mungkin milik orang tuanya, entahlah, berada di lantai 15. Pemandangannya luar biasa. Terlihat city view yang penuh dengan gedung-gedung megah. Aku takjub dengan pemandangan ini. Karena pemandangan kamarku sehari-hari adalah perkampungan kumuh di bantaran sungai yang berwarna cokelat. Jika hujan deras tiba, bersiaplah air masuk ke celah pintu dan membawa bau yang tak sedap.
Aku duduk di sofa berwarna biru tua yang sangat empuk. Tak tahu apa yang harus diperbuat. Yang lain? Ada yang segera ke dapur, ke toilet, ruang tidur, dan balkon. Aku merasa sedikit terkucilkan. Tidak seperti sebelumnya, yang sangat hangat dan ramah untuk mengajakku ke sini. Kini, mereka seperti asyik masing-masing.
"Gis, sini!" Aku menangkap suara Indra memanggil. Aku mencari arah suara dan kudapati ia di depan kamar utama, kamar paling besar dengan kamar mandi pribadi di dalamnya. Aku bangkit dari dudukku dan menghampirinya. Kudapati Veria, Mario, Sissy, Marvin, menuju arah yang sama. Yang lain, menatapku bergerak dengan tetap menghisap rokok yang berada di kepitan jemari mereka.
Tatapannya aneh. Seperti hendak melihat pertunjukkan menarik dalam beberapa saat lagi.
Indra menarik tanganku. Aku kaget. Ingin melepaskannya, tetapi genggaman itu terlalu kuat.
"Udah, siniii," ajaknya sambil menyeretku ke arah kamar utama. Tangan kirinya menggenggam puntung rokok yang belum dibakar, yang kini ia sematkan di mulutnya.
"Eh, bentar, ke mana ini?" tanyaku mulai panik.
Tarikan tangannya kian kuat, membawaku pada kamar luas dengan Jess di dalamnya. Aku dihempaskan ke ruangan itu, hingga tubuhku terjatuh ke kasur ukuran besar yang sangat nyaman dan lembut. Ketika hendak kubangkit dan keluar dari kamar, Indra telah menutupnya dengan suara dentuman keras yang diikuti suara kunci dari luar. Kini hanya ada aku dan Jess di dalam. Juga teriakan dari balik pintu kamar yang sangat menyayatku. "Enjoy, Jess! She is for you!" Diikuti gelak tawa yang bersahut-sahutan, membuat kepalaku berputar dan perutku melilit karena panik dan marahnya. Dan semua itu malah membuatku semakin tak berdaya.
Yang kuingat, lelaki di hadapanku ini menenggakkan minuman beraroma tajam dan berasa pahit ke mulutku. Setiap tegukan yang masuk ke dalam kerongkongan dan lambungku membuat kesadaran menurun. Hanya perasaan melayang dan euphoria yang kudapati, aku seperti terbang. Dan kemudian semua berlalu tanpa kutahu pasti kejadiannya. Yang kudapati saat terbangun dan tersadar, tubuhku hanya dibalut selimut wangi tanpa sama sekali busana menempel di sana. Seragamku teronggok di lantai bersama pakaian dalamku, juga seragam lain yang kutahu itu adalah milik Jess, yang ternyata tertidur juga tepat di sebelahku.
Aku menangis sejadi-jadinya. Tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Tangisanku membangunkan makhluk yang tertidur di sebelahku.
"Ssstt, berisik amat, sih! Diem ga, Lo? Gue capek, nih!"
Aku semakin terisak.
"Diem! Ngaapain, sih, Lo nangis-nangis, hah? Tadi aja Lo nikmatin, kok! Jangan sok suci deh sekarang pake nangis-nangis segala!" Bentakannya membuatku semakin kacau.
"Hehehe, kalo Lo ga diem juga, gue sebarin, lho, video hot kita tadi, mau?" Kini bukan sekadar bentakan, tetapi berupa ancaman.
"Video? Apa maksudnya?" Aku tak habis pikir.
Jess mengambil ponsel yang tergeletak di nakas sebelah kasur, mengotak-atik sesaat, dan kemudian menunjukkan sesuatu padaku.
"Nih, liat! Wow, Lo kece juga ya permaenannya. See, girl! You enjoyed it a lot."
Video berdurasi sekitar dua menit itu sungguh membuat isi perutku ingin keluar. Aku berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua. Tawa jahat Jess mengiringiku.
"Makanya, diem, okey! Tutup mulut, atau video ini gue viralin di mana-mana, hahahaha" Gelak tawanya menyadarkanku bahwa aku dijebak. Bukan oleh Jess saja, tetapi juga Veria, Mario, Indra, Sissy, dan yang lainnya. Kebaikannya hanyalah alat untuk menggiringku pada perangkap ini. Kenapa? Kenapa mereka sebenci ini padaku? Apa salahku pada mereka? Apa hanya karena aku si anak panti dan yang bahkan dibuang oleh orang tuanya sendiri? Apa karena itu?
Tangisku tak dapat lagi tecurahkan. Air mata seolah kering. Kupandangi tubuhku di cermin besar kamar mandi mewah ini. "Lo udah ga ada harganya lagi, Gis! Semua udah selesai!" teriakku dalam batin.
Sebilah pisau cukur yang memungkinkan untukku cukil dan kuambil mata pisaunya. Kunyalakan shower dengan debit air terderas. Kududuk di bawah kucuran air dingin yang tak terasa dingin sedikit pun olehku. Kulemparkan senyum ke arah tak pasti, dan kuayunkan bilah pisau yang sangat tajam tepat di nadi pergelangan tangan kiriku. Hangat. Cairan berwarna merah membanjiri bath tub, bersenyawa dengan air, mengalir menuju lubang pembuangan. Kian deras dan kental. Mengantarkanku pada masa transisi antara bernyawa dan tidak.
Tak lama kemudian, seluruh organ tak mampu lagi melakukan fungsinya, sebab tak ada lagi pompaan darah yang mengalir ke seluruh bagian tubuh lainnya. Habis, terbuang ke dalam pusara air, membawa serta sakit hati dan amarah tak terlampiaskanku.
Untuk kalian yang telah merencanakan semua ini, "Terima kasih, kini kudapat terbebas dari jahatnya dunia beserta isinya."
No comments:
Post a Comment