Saturday, May 2, 2020

CERPEN : Toxic Relationship

"Oke, aku akan menikahimu dengan syarat, aku masih bisa menikmati kebebasanku, termasuk untuk tidak memiliki keturunan." Sepotong percakapan terakhirku dengan Ibra berkenaan dengan pernikahan. Setelahnya, aku selalu ragu untuk menanyakan, aku memilih diam.

Enam tahun kami berpacaran, bukan waktu yang sebentar. Usiaku pun terus merangkak, menua. November nanti, genap 30 tahun. Tertinggal sudah usia kepala dua yang menjadi targetanku untuk membina rumah tangga, menikah. Kutengok sahabat-sahabatku, yang tak berpacaran pun dia sudah berstatus istri bahkan dalam hitungan minggu akan menjadi ibu. Aku ingin, aku iri.

Ibra bukanlah lelaki yang kasar. Mungkin malah bisa dikategorikan lelaki romantis. Dia sangat lihai membuatku terbang melayang, seolah-olah aku lah wanita paling beruntung di dunia. Di satu sisi. Namun, di sisi lain, ada beberapa pemikirannya yang sungguh hingga saat ini pun aku kurang mengerti. Dia tidak ingin memiliki anak, dia tak ingin kebebasannya direnggut, walau hanya sekedar untuk berkumpul dengan karib-karibnya.

Za, Sabtu depan gue mau ngadain baby shower, lo dateng lho! Virtual Invitation-nya udah gue kirim email ya. Sekalian udah lama juga kita enggak kumpul kan. Ajak Ibra juga, okey! CU 😘

Itu isi dari notifikasi whatsapp yang baru saja kuterima. Sofia, sahabatku yang tanpa berpacaran itu, sudah officially akan menjadi seorang ibu dan membagikan kebahagiaannya pada kami, sahabat-sahabatnya, dengan acara baby shower itu. Aku turut berbahagia, pastinya, seperti tak sabar menunggu kehadiran Sofia mini di antara kami. Namun, ada sisi terdalam dari diriku yang, entahlah, sulit aku deskripsikan. Mungkin ada bentuk pengharapan disana. 

***
"Woy, ini dia bu manager kita yang super sibuk! Zakia, lo kemana aja? Susah banget deh gabung akhir-akhir ini, hah!" Sangat kenal dengan kehebohan suara itu, Maria, salah satu sahabat di genk-ku bersama Sofia. "Wih, akhirnya bisa ketemu juga sama wanita sukses satu ini, Zakia, sehat lo?" disambung sambutan hangat Dini, anggota genk lainnya yang terkenal paling dewasa, sembari cipika cipiki. Kami terdiri dari 5 bersahabat di dalam genk yang diberi nama genk "ngobat", maklum kami dulunya adalah mahasiswi jurusan farmasi. Kelimanya terdiri dari aku, Sofia, Maria, Dini dan Gendhis yang kini mengikuti suaminya tinggal di Belanda.

Ibra sudah sangat kenal sahabat-sahabatku berikut para suaminya. Ketika acara seperti ini pun dia sudah tidak canggung lagi. Selain, dia pun memang sangat easy going, mudah sekali bergaul dengan siapa saja dan dari background apapun. Seperti kali ini, dia sedang asyik berkumpul dan tertawa-tawa lepas dengan Andi dan Kemal, suami dari Dini dan Maria. Kebetulan juga mereka bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang yang sama, IT, walaupun institusi berbeda. Ini bagus bagiku. Aku bisa menikmati kebersamaan dengan the girls-ku dengan lebih leluasa.

"So, gimana nih perkembangan lo sama Ibra? Yaelah Zaa, lo berdua udah kurang mapan apalagi? Kalian udah punya posisi keren di kerjaan masing-masing, bahkan yang gue denger, Ibra baru ngambil apart (apartemen) kan? Tuh, tinggal lo nikah, tinggal situ, apalagi sih?" cerocos Maria. Aku sudah sangat memaklumi ke-ceplasceplos-an dia dalam berbicara, yang kemudian hanya dapat ku balas dengan senyuman. "Any problems, beb? Everything's good, kan?" lanjut Dini yang, aku yakin, sangat penuh perhatian daripada sekedar penasaran. Untuk pertama kalinya di hadapan mereka aku terbuka perihal ini. "Not pretty good, actually. Hmm, sebenernya enggak ada konflik sih antara kita, cuman, ada hal yang sepertinya bakal jadi kerikil besar untuk nasib hubunganku sama dia ke depannya." Mereka terdiam dan mulai memberi perhatian penuh dengan serius pada percakapan ini.

"What?! Yaa Allah Za, lo lempeng-lempeng aja selama ini depan kita, padahal lo lagi kebebanin pikiran macem gini. Aduh Zakiaa." Kekagetan Maria terlalu kentara dan tak bermaksud ditutup-tutupi. Mungkin Dini dan Sofia pun sama kagetnya, terlihat dari bahasa mata, tetapi semua terbungkus dengan elegan. Keduanya lebih berusaha menjaga perasaanku, ku kira. "Permisi, mbak Sofia. Itu ada kurir bingkisan datang, kata mas Bagas tanyain ke mbak aja." Bi Sumi, asisten rumah tangga kepercayaan Sofia, memotong percakapan kami. Sofia yang masih bingung bercampur kaget pun harus tetap menemui kurir tersebut sembari terlihat penasaran dan prihatin padaku. Dia lah tuan rumah acara ini, sudah pasti dia akan sibuk. "Gue tinggal dulu ya, girls. Hmm, lo ga buru-buru kan Za? Kita harus banget ngobrol lebih fokus abis ini. Harus!" Kemudian dia melangkah menuju gerbang depan diikuti Bi Sumi.

Pembicaraan mengenai aku dan Ibra pun seperti terpaksa terhenti, ketika akhirnya Clarin, anak tertua Dini yang berusia 4 tahun, menghampiri ibunya dan merengek untuk meminta tambahan es krim. Drama ibu dan anak, yang diam-diam aku pun mulai sangat mendambakannya. Lain dengan Maria, dia yang baru saja menikah 3 bulan lalu, memang dengan sengaja untuk menunda kehamilan selama setengah tahun, dengan alasan ingin menikmati bulan madu lebih lama.

Tak lama, Kemal dan Ibra menghampiri kami dan akhirnya kami berempat pun terlibat pembicaraan ringan hingga acara usai. 

Dini dan Andi berpamitan terlebih dulu, Clarin mulai terlihat tidak nyaman dengan keramaian. Diikuti Maria dan Kemal, mereka sudah ditunggu oleh orang tua Kemal untuk acara keluarga besar bulanan mereka. Tamu-tamu lain pun satu per satu meninggalkan rumah sang pemilik hajat. Tersisa 2 kawan Adib, suami Sofia, dan aku serta Ibra. Kami hendak berpamitan yang kemudian Sofia menarik tanganku dan berujar singkat pada Ibra, "Bentar ya, gue pinjem dulu Zakia, lo bisa ngobrol-ngobrol sama Adib tuh." Ibra yang sangat easy going pun tak mempermasalahkan hal seperti ini. Toh Sofia adalah sahabat terdekatku, dia sangat paham itu.

Sofia mengajakku ke kamarnya dan segera mengunci pintu. "Za, sorry banget loh ini. Gue bukan mau interfere ke masalah lo sama Ibra. Tapi, menurut gue, masalah ini bukan masalah sepele. Harus diberesin segera, entah dengan putusan apapun di akhirnya. At least, lo buka komunikasi serius tentang ini, mau enggak mau. Ayolah, Za, usia kita enggak diem disini aja kan. Ibra menua, lo menua, kondisi kalian makin enggak fit buat punya anak nantinya. Gue ngomong gini karena gue peduli banget sama lo. Kecuali lo memang siap untuk ngelewatin seumur hidup lo dengan cara seperti ini. Tapi menurut gue, sangat tidak adil juga memenjarakan diri pada toxic relationship. Inget ya Za, pernikahan bukan cuman tentang dia, lo, tapi juga ayah bunda lo. Dan kwalitas hubungan bukan hanya tentang berapa lama kalian sudah menjalaninya, tapi tentang visi misi masing-masing yang siap dikompromikan tidak. Pertimbangin semua mateng-mateng, okey baby?! Kalo lo butuh temen cerita, insyaAllah gue ada." Aku pun tak bisa merespon walau hanya sepatah dua patah kata, kecuali, "Thanks, Sof" dan pelukan erat yang tak bisa kubendung.

Selama perjalanan pulang, aku hanya diam dengan memandang kaca spion tanpa hiraukan apa yang terpantul olehnya. Pikiranku melaju cepat dan tanpa arah, sibuk. Seolah tak beriringan dengan perasaanku. Tak kudapati sinergi keduanya. Aku sadar, sesekali Ibra melirik ke arahku, tetapi seakan dia tahu bahwa ada sesuatu yang sedang bergumul dalam diri kekasihnya ini. Dia hanya membiarkan ku semakin larut dalam pikiranku sendiri.

***
Hari Sabtu sore, di minggu ke-dua, setiap bulannya. Sudah menjadi ritual di keluargaku untuk mengadakan arisan yang sebenarnya adalah ajang saling tatap muka dan berkumpul. Pertanyaan horor tentang "kapan menikah" sudah sangat biasa kudapati, hingga akhirnya ku pun kebal, mati rasa. Ku lempar senyum bahkan gurauan sederhana untuk menimpalinya. Namun, hari Sabtu di minggu ke-dua bulan Juli ini agak berbeda. Natasya, sepupuku yang tinggal bersama suaminya di Surabaya, turut serta hadir. Karena alasan melahirkan, hingga akhirnya Tasya, begitu sapaannya, memilih untuk tinggal sementara di Bandung, rumah ibunya. Kini bayinya telah lahir, 2 minggu yang lalu, masih sangat merah. Lucu dan cantik. Berbaju rajut berwarna kuning muda, selaras dengan bandananya. Bunda menyapa Tasya dan sang bayi merah imut itu. Ada binar disana. Di bola mata Bunda yang kian melayu karena usia. Tepat saat melihat bayi mungil di hadapannya. "Yaa Allah Gusti, meuni geulis kieu. Ahh gimana aja mamanya ya, cantik. Aduuh, sini sini enin gendong ya. Allahumma shalli ala sayyidina Muhammaad, bersih kamu teh masyaAllah. Sebersih hati kamu ya, nak. Duh, doakan enin yaa bisa segera nimang sepupuan kamu juga, ya ya. Nanti insyaAllah dari tante Zakia. Doain ya anak shalehah, duuh gemes enin." Sembari kembali menyerahkan si cantik kepada Tasya, ibunya. Seketika ada yang berat di dadaku. Bunda, orang yang tidak pernah banyak menuntut ini itu, ataupun meminta segala sesuatu, kepadaku, seperti leluasa membuncahkan unek-uneknya di hadapan makhluk kecil tak berdosa itu. Unek-unek yang terlihat sangat jujur, sangat tulus. Jelas, seharusnya aku tahu bahwa itu yang sangat diharapkannya, menimang cucu dariku. Karena aku lah anaknya, satu-satunya.

Yang, sibuk? Masih bareng Eza?

Ku kirim pesan singkat lewat whatsapp pada nomor kontak yang kuberi nama "only home". Tak butuh waktu lama hingga ceklis menjadi dua dan berwarna biru.

No, dear. Eza udah jalan sama bininya. Tapi mungkin aku mau janjian nge-gym pukul 7 malem nanti bareng Edward. How's your family time? Going well? I miss you 😘

Benar-benar tak ada yang salah dengan pria ini. Sangat manis. Selain dia senang berkumpul dengan kawan-kawannya dan keinginan "aneh" untuk tidak memiliki anak. 

So so in here. Lagi nunggu dinner, sambil bincang-bincang ringan. Kamu inget Natasya, sepupuku? Dia udah lahiran loh, bayinya cantik banget, i was taking a pic with her

Ku kirim balasan disertai fotoku dengan bayi kecil bernama Aleya itu, beserta caption foto, "Hey om Ibra, Aleya is here. Am i pretty cute?😘"

Ceklis dua, berubah biru. Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. Satu jam. Hingga waktu makan malam pun tiba dan ku rasa dia pun bersiap pergi bersama temannya. Triling. Whatsapp ku berbunyi, meninggalkan notifikasi pesan baru.

Baby, I'm going. Gonna catch you later. Text me when you home, love you πŸ’™

Tak ada sedikitpun komentar mengenai Aleya. Tak satu patah katapun. 

***
Pukul 23.40 masih di Sabtu yang sama, minggu ke-dua bulan Juli. Aku, ayah, bunda, sudah tiba di rumah sejak 2 jam lalu. Tetapi, aku bahkan belum mengirim pesan pada Ibra, seperti yang dia tinggalkan dalam pesan teks terakhirnya. 

Selama perjalanan pulang dari acara arisan keluarga itu, aku yang tidak biasanya ikut bersama mobil ayah, terlibat topik serius yang berusaha dengan baik dikemas santai oleh ayah bunda. "Za, kamu enggak kepikiran menikah? Atau sudah ada bahasan tentang itu kah sama Ibra? Kalian menjalin hubungan sudah cukup lama. Apa lagi yang sedang kalian tunggu sebenarnya? Bunda dan ayah pun semakin menua lho, nak." Aku tahu bahasan macam apa yang akan terjadi selanjutnya. Entah dengan kekuatan apa, sebelum ayah melanjutkan kata-katanya, segera ku sanggah, "Ayah dan bunda ingin Zakia menikah dan memberi cucu? Apa dengan itu ayah dan bunda akan bahagia?"

"Zakia, setiap orang tua hanya ingin melihat anaknya bahagia, terlepas dari keinginan mereka masing-masing. Apakah tentang memiliki jodoh, cucu, semua kehendak Sang Gusti. Bunda sendiri, kalau mengikuti ego, ya sangat ingin melihat kamu menikah, menata rumah tangga, syukur-syukur jika dipercaya menimang anak juga. Melihat kau memiliki kehidupan normal dan stabil, seperti kebanyakan orang seusiamu. Tapi, bunda tidak bisa memaksakan kehendak, bukan? Kedewasaanmu beriringan dengan rencana dan keinginanmu sendiri dalam menapaki kehidupan yang diharapkan. Bunda hanya bisa mendoakan dan mengingatkan, bahwa kehidupan berumah tangga bukan hanya berjalan setahun dua tahun saja. Akan menjadi perjalanan yang sangat panjang. Coba dipikirkan kembali tentang harapan ke depan dari kalian masing-masing, kau dan Ibra, apakah sudah selaras? Apakah sudah saling mendukung alih-alih mengorbankan perasaan salah satunya? Sakinah mawadah dan rahmah itu tidak mudah, Za. Maka dari itu harus diperjuangkan. Perjuangan yang melibatkan dua belah pihak, bukan hanya salah satunya saja."

***
Za, belum pulang?

Pesan masuk yang sudah ku tahu pasti siapa pengirimnya.

Sorry, yang. Udah di rumah dari 2 jam lalu. Hmm, besok bisa kita ketemu? 

Ahh, kamu bikin aku khawatir. Sure, i need to see you, too. Besok aku jemput pukul 11 okey

Okey. Ibra, you know i love you that much, right?

Hey, sure aku tau. I love you even more. 

Kamu serius jalin hubungan dengan aku kan?

Baby, what's going on? Ya pasti aku serius lah. Harus aku buktikan dengan apalagi sayang? 

Well, okey. Besok kita ketemu ya, cu ❤️

***
Seperti biasa, dia selalu terlihat gagah. Aroma Bvlgari Pour Homme yang menenangkan, seperti menghipnotis ku setiap waktu. Menumbuhkan aura kenyamanan juga kepercayaan. Senyum yang membentuk sudut mata menarik di balik kacamata berbingkai cokelat kayu sungguh meneduhkan. Benar adanya, dia yang bersifat manis, dia yang berpenampilan sempurna, setidaknya bagiku. Kecuali...... Ahh sudahlah.

Suasana Sierra Resto siang itu tidak terlalu ramai. Memang resto ini lebih menarik jika dinikmati saat senja turun. Pemandangan dari outdoor area -nya sungguh luar biasa indah di malam hari. Kemerlip lampu sekitar seakan bertegur sapa dengan kerlipan bintang di langit yang sama-sama terlihat gelap. Tapi, aku tak peduli. Keheningan justru suasana yang sedang aku butuhkan saat ini. Menemani percakapan mendalam kami.

"Ibra, hubungan seperti apa yang kamu harapkan dari kita untuk ke depannya?"

"Aku mau menikah denganmu. Melewati hari-hari bersama, kamu dan aku."

"Hanya aku dan kamu? Kamu yakin? Gimana kalau kita merasa bosan?"

"Sayang, kita masing-masing punya kegiatan, punya hobi, punya sahabat. We may kill the boredom away dengan itu. Bahkan, kalau perlu, kita travelling mengunjungi negara-negara baru. Banyak cara untuk itu."

"Gimana kalau kita merasa sepi?"

"Honey, kamu, teman-temanku, pekerjaanku, sangat lebih dari cukup."

"Gimana kalau aku mau memiliki anak? Hey, mereka akan merawat kita saat kita tua nanti sayang. Iya kan?"

"Zakia sayang, kita akan saling merawat. Kalau aku lemah duluan, kamu bersedia kan untuk merawatku? Aku pun bersedia merawatmu. Jika kita berdua melemah bersama, kita bisa hire suster yang akan merawat kita, bahkan mereka memiliki ilmunya. Lebih terpercaya."

"Jadi, seperti itu kira-kiranya rumah tangga impianmu?"

"Iya, dan dibayanganku itu semua akan menjadi indah. Aku hanya ingin perhatianmu tertuju padaku saja, hanya aku. Bahkan aku belum bisa menerima jika seorang anak akan mencuri sebagian besar fokusmu dari aku."

"Hmm, ini final answer? Enggak akan tergoyahkan?"

"Come on, Za. Kita sudah bahas ini berulang kali, kan? Dan jawaban aku akan selalu sama, tetap sama."

"Ok then. Kamu bahkan selama ini belum pernah bertanya balik, seperti apa hubungan kita ke depannya, sesuai impianku. Apa yang aku harapkan di dalam rumahtanggaku. Keluarga macam apa yang ingin ku bentuk. Aku selalu bertanya tentang itu ke kamu, aku ingin tahu hal apa yang bisa membuat kamu bahagia, aku ingin membahagiakanmu. Tapi, kamu seperti tak pernah ingin tahu tentang bahagiaku. Apa hanya kebahagiaanmu saja yang kamu pikirkan?"

"Hey, hey, siapa bilang begitu. Aku juga pasti ingin membahagiakanmu. Dan aku yakin aku pasti bisa membahagiakanmu, dengan cara dan jalanku."

"Ibra, kamu bukan cenayang atau peramal, yang bisa tahu apa yang ada di pikiran dan hati seseorang, termasuk aku. Kamu butuh bertanya juga. Cari tahu. Enggak semuanya hanya berjalan dengan caramu. Apalagi ini tentang dua individu, dua ego disitu. Kita butuh mengkomunikasikannya. Kemudian menyelaraskannya."

"Oke oke, jadi maumu apa sekarang? Menikah? Ayo, aku akan melamarmu. Mudah kan."

"Maaf sayang. Saat ini aku justru hanya ingin kita berjalan dengan cara hidup masing-masing. Aku seharusnya tak perlu mengemis-ngemis tentang pernikahan atau apapun itu, jika kamu pun membutuhkannya. Aku sayang kamu, aku pun tahu kamu sayang aku. Tapi, kita belum bisa menemukan titik temu tentang bahagiaku dan bahagiamu. Jika kita terus memaksakan hubungan seperti ini, kita hanya akan menyakiti salah satu pihak, mengorbankan banyak hal dari satu pihak, untuk mengabulkan kebahagiaan pihak lainnya. Ini akan jadi toxic, yang perlahan akan menggerogoti kita. Maaf sekali lagi. Aku punya definisi bahagiaku, yang sudah seringkali aku coba share denganmu, tapi tak pernah kamu gubris. Aku sudah mencoba. Tapi kini aku sadar, aku harus kejar juga bahagiaku. Karena ada orang-orang tersayang disekitarku, yang kebahagiaannya masih bergantung dari kebahagiaanku. Aku harus bahagia untuk mereka, terlebih untuk diriku sendiri."

Suara angin yang terdengar seolah menenggelamkan percakapan dua insan yang sedang dimabuk cinta, dengan cara berbeda. Kini, mereka menapaki jalan masing-masing. Cinta mungkin akan tetap menjadi cerita. Namun, bukankah kita masih memiliki cinta sang Maha Pecinta? Lalu, mengapa kita sering lupa dan berputusasa?

6 comments:

  1. Keren, teh Nad.. Ku harus berguru padamu..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Berguru bareng para suhu di KLIP teh yuk πŸ₯°πŸ’™

      Delete
  2. Jadi kangen Sierra 😁 lanjut teh Nad keren kisahnya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa, mood kangen Sierra juga makanya ke-mention di cerpen haha mudah2an ni wabah cepet beres yaa, biar bisa nengok Sierra lagi 🀭

      Delete
  3. Ditunggu lanjutannya teh :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. insyaAllah yaa, makasih udah ikut baca πŸ’™☺️

      Delete