Friday, July 24, 2020

Anak adalah Senyatanya Pengingat

Picture by Pinterest

Berbicara tentang anak, hampir semua setuju bahwa mereka adalah anugerah. Berkah yang Allah berikan pada kita sebagai orang tuanya.

Para ibu pun banyak yang mengelukannya sebagai sumber kebahagiaan, seolah-olah, bagi mereka yang belum dan bahkan tidak bisa memiliki keturunan, kebahagiaan itu sebatas cerita.

Terbukti, saat memiliki anak, segala topik pembicaraan dan tema kehidupan akan tertuju pada persoalan anak. Pertanyaan tak lagi seputar, "Eh, apa kabar? Lagi sibuk apa, nih?" Tetapi, tanpa basa basi, "Gimana kabar? Si kakak sudah bisa apa sekarang?"

Atau lain kasus, betapa banyak pula orang tua yang terus saja meninggi-ninggikan anaknya. Tidak bermaksud sombong, tetapi, orang lain secara implisit dapat menangkap kesombongan itu sendiri.

Apa itu semua salah, Nad?

Tentu saja tidak. 

Rasa sayang, rasa bangga, kepada anak  adalah naluriah. Dia akan tumbuh secara alami di hati setiap orang tua. 

Tak perlu ditampik. Saya pun begitu. Ada satu sisi ego diri yang sangat "memuja" anak. Melihat perkembangannya dari hari ke hari, terbersit, "masyaAllah, pintar ya anakku." Apalagi kalau si anak baru saja bisa atau mendapatkan skill baru, rasa bangga itu ADA. Tetapi.......

Ketika saya menatap kembali wajahnya saat tertidur, saya seperti disadarkan bahwa anakmu ini hanya titipan Tuhan. Layaknya suatu titipan, suatu saat kita harus rela untuk mengembalikan lagi ke Sang Pemilik. Kembali ini tentu bukan hanya sebatas konteks meninggalkan dunia. Namun, ketika masa itu datang, di mana mereka harus mulai menjalankan peran sebagai manusia dewasa seutuhnya, bekerja atau menikah misalnya, kita harus dengan ikhlas melepaskannya.

Child is the real reminder.

Bagi saya, seperti itu. Kehadirannya seperti membuka pikiran saya lebih luas, lebih dalam, lebih realistis. Ya, seperti membangunkan tidur panjang. 

Ketika saya terlalu asyik dengan dunia saya, dia hadir ke dunia dan mengingatkan saya akan fitrah diri sebagai wanita. Kembali untuk lebih fokus pada suami, dia (anak) dan rumah.

Ketika saya terlalu "ditundukkan" oleh rasa sayang yang luar biasa pada "anak", mereka sendiri juga yang mengingatkan bahwa mereka hanya titipan. Tak perlu terlalu posesif dan overprotective, justru bantu lah untuk menjadi sosok mandiri yang siap menghadapi kehidupan di masa akan datang, dunia mau pun akhiratnya. 

Ketika saya hendak berbuat hal yang tidak baik, anak yang mengingatkan bahwa dia butuh contoh yang baik dari orang tuanya. Seolah menjadi rem dalam bertindak dan bertingkah-laku.

Ketika saya sedang berselisih paham dengan suami, anak yang menjadi penengah walau tanpa laku atau ucap. Dia mengingatkan bahwa dia ada di antara kami, dia butuh kedamaian dari kedua orang tuanya.

Dia mengingatkan juga untuk saya terus belajar, mencari ilmu, tentang kepengasuhan, tentang menjadi orang tua yang lebih baik, istri yang lebih baik. Demi aura ketenangan di dalam rumah tercipta, untuknya, untuk saya, untuk semua.

Bahkan, ketika saya merasa bahwa jalan yang telah saya ambil ini salah, mulai terasa hawa "penyesalan", hari mulai dipenuhi "andai dan andai", ya, dia, anak, yang mengingatkan saya lagi bahwa sosok kecil ini lah yang akan menjadi tanggungan saya sebenarnya, di dunia juga di hadapan Tuhan kelak. Jika, saya mampu mengajaknya untuk baik, maka kebaikan juga bagi kami orang tuanya. Sebaliknya, jika, keburukan padanya terjadi atas kelalaian kita, orang tua, dalam mendidik, maka siaplah mempertanggungjawabkannya di akhirat nanti. 

Secara tak langsung, anak juga lah akhirnya yang mengingatkan diri ini untuk bukan hanya mengingat dunia, tetapi, kehidupan setelahnya. Dengan maksud membangun keluarga yang kelak dipertemukan kembali, sehidup, sesurga. Aammiin. πŸ’™πŸ’™πŸ’™

4 comments: