Seperti ombak yang
merindu tepian, di sana kelak asa kan melabuh.
Jika saja, masa itu
tetap kan ada, akan ku serahkan segalanya.
***
Panas ini seolah mampu
melelehkan isi kepalaku yang penuh sesak oleh target penjualan bulan ini.
Merosot tajam. Si makhluk kasat mata telah berhasil memorak-porandakan
perekonomian dunia, jelas sudah berimbas pada segala bidang, termasuk gerai
sepatu kulit milikku. Dalan kondisi seperti ini, rasanya, membeli sepatu dengan
harga yang lumayan merogoh kocek bukanlah suatu pilihan tepat. Huft.
Kuhempaskan untaian
sumsum tulang belakangku pada sofa berwarna salem dengan motif bunga matahari.
Kucoba pejamkan mata sejenak, bukan untuk tidur, hanya menerawang kegelapan
yang pasti hadir bersamanya. Seperti harapku saat ini, menghilang dalam gelap
dan tak perlu banyak menguras otakku yang kurasa kian menyusut volumenya,
akibat beban kerja terlalu berat. Namun, terawangan tak berbuah
ketenangan.
Kusibukkan jemari dengan
gawai.
Apa kabarmu hari ini?
Aku sedikit kacau. Tapi, tetap kuharapkan hari yang indah untukmu. Jangan lupa
makan dan selalu mencintaiku, okey?!
Kuletakkan gawai
keluaran terbaru itu di atas dada dan kembali kuterawang kegelapan yang
ternyata membawaku pada alam lain. Aku tertidur.
***
Namaku Salman.
Sejak resign dari suatu perusahaan tersohor di Indonesia dalam
bidang Teknologi Informasi, aku memutuskan untuk berbisnis. Semua kumulai dari
nol, tanpa ada kesiapan sama sekali. Namun, saat itu aku merasa harus mengambil
langkah ini. Tanpa berpikir lama dan panjang kuajukan surat pengundurandiriku.
Tentu saja, pihak kepegawaian terkejut. Aku yang terkenal memiliki etos kerja
yang baik dan pencapaian yang gemilang, secara tiba-tiba mengambil langkah tak
terduga. Pak Respati, kepala kepegawaian, bahkan mengajakku untuk bernegosiasi,
bilamana ini perihal gaji, mereka siap menaikkannya. Tapi, sungguh bukan itu.
Bulat sudah keputusanku. Ada sesuatu yang sama sekali tak bisa tertebus oleh
uang, oleh materi apapun.
***
Selamat pagi, terkasih! Setelah sekian lama, akhirnya hujan turun
juga. Kamu selalu suka dengan wangi tanah saat hujan turun, kan? Dan kamu tahu pasti bahwa yang
kusuka hanya kamu. Anyway, aku
rindu….”
Pesan terkirim dan aku
lebih siap untuk memulai hari. Sepotong roti gandum sisa kemarin, aku panaskan
di dalam pemanggang. Kubalut dengan sehelai tisu dan tak lupa kuseruput
tetesan-tetesan terakhir kopi tanpa gula yang mulai mendingin, sebelum akhirnya
kubergegas menuju gerai sepatu, sebelum kemacetan ibu kota kian menjebak.
Sesaat di ambang pintu, kutengok kembali ruangan di belakangku. Sangat
berantakan.
Kutarik napas panjang dan akhirnya kutinggalkan ia dengan iringan
bunyi klik tanda kunci telah terpaut.
Kulajukan mobil di tengah hujan tanpa suara apapun lagi menemani, hanya suara
rintikannya saja, rintikan hujan.
***
Hari ini kuputuskan
untuk menutup gerai lebih awal. Tertanggal 24 Maret 2020, hari jadi kami
ke-tiga. Sedikit kejutan perayaan aku rasa akan menjadi ide yang baik. Aku akan
pulang ke rumah, membersihkan badan, memilih kemeja biru laut bergaris putih
yang merupakan favoritnya, menyisir rapi rambutku yang cepak dan juga beberapa
semprotan Hugo Boss yang sangat dia
sukai. Kutatap bayanganku di cermin berbingkai kayu jati, sempurna. Kunci mobil
yang telah siap di tangan kanan dan juga sekuntum mawar putih merekah berpita
emas di tangan lainnya, kini waktu yang tepat untuk pergi.
Gedung itu sangat megah
dengan gaya kolonialnya yang masih kental. Kuparkir sedan hitam di bawah
rindangnya pohon meranti besar. Aku rasa, usia pohon ini bahkan lebih tua
dariku, terlihat jelas dari batangnya yang lebar dan juga akarnya yang sudah
merambat ke permukaan tanah. Namun, sisi ini sangat kusukai untuk memarkir
mobil. Terik matahari seperti tak dapat menembus kerindangannya, sehingga si
roda empat pun terhindar dari panasnya.
Sekali lagi kuyakinkan
bahwa penampilanku telah sempurna. Seperti pemuda yang hendak mengencani
wanitanya untuk pertama kali, aku hanya ingin terlihat paling istimewa di
hadapannya. Kusisir rambut yang masih sangat rapi itu dengan jemari. Kerah baju
yang sangat jelas garis lipatnya, kugerak-gerakkan, untuk memastikan semua baik
dan sesuai. “Aku siap menemuimu, sayang!” bisikku yang diikuti rekahan senyum
di antara kedua sudut bibir.
***
Langit-langit kamarku
hanya berwarna putih, tetapi, kebahagiaan yang membuncah membuatnya seolah
berwarna-warni. Pertemuan dengan yang terkasih selalu membawa nuansa baik,
setidaknya bagiku. Meski sesaat, hari ini penuh makna.
Terima kasih untuk hari ini. Sangat luar biasa. Apakah kau juga
bahagia? Happy anniversary sekali
lagi, sayang! Aku hanya punya kamu dan rindu. Love you.
Malam
kian larut seiring bergantinya hari. Bulu mata beradu, merekat, diikuti
dengkuran halus juga gumaman dalam tidur yang selalu seperti itu, beberapa bulan
terakhir.
***
“Salman,
kapan kau pulang, nak? Rasanya sudah lama sekali Ibu tidak bertemu.” Aku hanya bisa
terdiam, bukan berpikir, tetapi, keengganan untuk menjawab mungkin alasannya.
Di seberang sambungan telepon pun akhirnya diam. Saling tak bertutur, terbaca
kecanggungan di sana.
Dia
ibuku, ya, aku tahu. Sosok yang padanya aku berhutang nyawa. Tentang dilahirkan
ke dunia, tentang dibesarkan. Aku menghormatinya, tak ada keraguan. Hanya saja….
“Bu,
maaf, ada beberapa pembeli datang. Aku harus melayaninya dulu. Nanti Salman
telepon lagi. Assalamu’alaykum.”
Membuat alasan yang tidak sepenuhnya hanya alasan, memang terlihat dua orang
wanita masuk ke gerai dan mulai melihat-lihat etalase sepatu pria. Terima kasih
pada mereka, kecanggunganku dengan ibu dapat terhenti sementara waktu.
Kuhampiri
kedua wanita tersebut dan mulai melayani mereka sepenuh hati hingga akhirnya
sepasang sepatu terbungkus rapi, siap diadopsi sang pembeli. Terakhir wanita
berbaju hitam yang tampak lebih tua di antara mereka, memberitahu bahwa sepatu
pantofel hitam bertali tersebut akan digunakan oleh calon menantunya, calon
suami dari anaknya, pada acara pernikahan mereka yang akan digelar di awal
bulan April 2020.
Aku
turut bahagia mendengar beritanya. Betapa beruntungnya sang calon mempelai
pria, memiliki seorang mertua yang begitu sangat menyayanginya, terlihat jelas
dari pancaran mata wanita tua berbaju hitam saat berkisah tentang calon
menantunya tersebut. Semoga kebahagiaan dan keberuntungan meliputi kedua
mempelai. Ya, benar, keberuntungan.
***
Rumah
ini terlalu besar untukku. Mungkin tepatnya, terlalu kosong. Halaman yang luas,
untuknya yang gemar bertanam. Dapur yang bergaya modern lengkap dengan segala
perangkatnya, sangat sesuai dengan seleranya, diharapkan akan membuatnya
semakin betah mempersiapkan hidangan kegemaranku. Ruang makan bernuansa putih,
warna yang sangat disukainya. Di sinilah kiranya kami akan menikmati sarapan
atau makan malam bersama sambil sesekali bertukar cerita dan canda.
Kutatap
kembali setiap ruangan. Berakhir pada kamar tidur yang sangat lapang, dengan dipan
berkelambu. Meja rias dilengkapi cermin oval terletak di satu sudut ruangan,
beserta lemari pakaian besar dengan empat pintu di sudut lainnya. Terpasang
satu lukisan berukuran sepanjang tempat tidur, pemandangan taman bunga dengan
mawar putih mendominasi, juga seorang gadis yang juga berbaju putih dan bertopi
lebar di tengahnya, seolah tenggelam di antara hamparan mawar di sekelilingnya.
Gadis itu adalah dirinya.
Aku terlalu rindu, sayang. Besok aku akan kembali
menemuimu. Tunggu aku.
***
Gedung
bergaya kolonial, pohon beringin tua. Kita bertemu lagi. Bukankah selalu
bertemu beberapa bulan ini? Itu karena rindu yang tak kunjung terbayarkan.
Kususuri
koridor dari gedung tua tersebut dengan sekuntum mawar putih berpita emas di
tangan, membawaku pada sisi barat dari bangunan megah tempo dulu tampatku
berpijak kini. Terus kususuri, hingga terdiamlah ku di depan pintu besi kokoh
berwarna putih. Betul, warna kesukaanmu, walau hampir semua pintu di gedung ini
berwarna serupa.
Terdapat
jendela kecil tepat di tengah pintu tersebut. Jendela yang tak bisa dibuka,
terbuat dari kaca tembus pandang. Melaluinya, kudapat melihat apa yang sedang
terjadi di dalamnya. Sesosok gadis berparas cantik duduk di bangku sederhana
menatap dinding. Tatapannya kosong. Sesekali matanya berkedip, gerakan yang
sangat lamban. Tangan kanannya meremas ujung baju, tak ingin dilepas. Tangan
lainnya menggenggam sesuatu dengan erat, cincin bermata satu dengan ukiran “Latifa & Salman” di sisi bagian
dalamnya.
***
Namanya
Latifa. Dia tunanganku. Tiga tahun sejak aku menyatakan cintaku padanya. Seharusnya
awal April 2020 nanti menjadi hari besar bagi kami. Tanggal di mana kami akan
mengikrarkan janji suci di hadapan Tuhan. Bila saja ibuku tidak secara diam-diam menekannya
terus menerus untuk meninggalkanku, hanya karena dia hanya gadis biasa, tanpa
garis keturunan khusus seperti dalam keluargaku. Bila saja di tengah tekanan
itu, ayahnya tak meninggal dunia dan membuatnya menjadi gadis yatim piatu. Bila
saja saat keterpurukan itu terjadi padanya, aku yang terlalu sibuk dengan
kantor dan perusahaan, juga prestis diri untuk dicap sebagai karyawan teladan,
dapat meluangkan lebih banyak waktu untuknya, memberi dukungan moral padanya.
Bila saja waktu itu ada, aku hanya ingin melakukan segala yang kubisa baginya.
Hingga tak perlu ia berada di ruangan ini, menatap kosong dinding berwarna
putih, tanpa kata, tanpa suara. Meninggalkan kerinduan dan kehampaan pada sisi
ruang batinku yang entah sampai kapan akan berlalu. Hanya mampu terus mengirim pesan tanpa balasan dari waktu ke waktu. Maafkan aku, sayangku. Aku
cinta kamu.
cewenya masuk rumah sakit jiwakah? dashyat sekali berarti tekanannya ya
ReplyDeleteHaha terinspirasi dari saikojiman juga sih kak wkwk bahwa penghuni RSJ tuh bukan cuma yang kayak parah doang masalahnya, pecandu minuman juga aja bisa masuk yak 🧚 adek nenekku, gegara terlalu cinta belajar, segala dipelajari, masuk RSJ juga kak, sampe meninggalnya beliau 🥺
Delete