Monday, July 27, 2020

CERPEN : Di Ujung Cerita Hanya Ada Hampa

Seperti ombak yang merindu tepian, di sana kelak asa kan melabuh. 
Jika saja, masa itu tetap kan ada, akan ku serahkan segalanya.
***
Panas ini seolah mampu melelehkan isi kepalaku yang penuh sesak oleh target penjualan bulan ini. Merosot tajam. Si makhluk kasat mata telah berhasil memorak-porandakan perekonomian dunia, jelas sudah berimbas pada segala bidang, termasuk gerai sepatu kulit milikku. Dalan kondisi seperti ini, rasanya, membeli sepatu dengan harga yang lumayan merogoh kocek bukanlah suatu pilihan tepat. Huft.

Kuhempaskan untaian sumsum tulang belakangku pada sofa berwarna salem dengan motif bunga matahari. Kucoba pejamkan mata sejenak, bukan untuk tidur, hanya menerawang kegelapan yang pasti hadir bersamanya. Seperti harapku saat ini, menghilang dalam gelap dan tak perlu banyak menguras otakku yang kurasa kian menyusut volumenya, akibat beban kerja terlalu berat. Namun, terawangan tak berbuah ketenangan. 

Kusibukkan jemari dengan gawai.

Apa kabarmu hari ini? Aku sedikit kacau. Tapi, tetap kuharapkan hari yang indah untukmu. Jangan lupa makan dan selalu mencintaiku, okey?!

Kuletakkan gawai keluaran terbaru itu di atas dada dan kembali kuterawang kegelapan yang ternyata membawaku pada alam lain. Aku tertidur.
***

Namaku Salman. Sejak resign dari suatu perusahaan tersohor di Indonesia dalam bidang Teknologi Informasi, aku memutuskan untuk berbisnis. Semua kumulai dari nol, tanpa ada kesiapan sama sekali. Namun, saat itu aku merasa harus mengambil langkah ini. Tanpa berpikir lama dan panjang kuajukan surat pengundurandiriku. Tentu saja, pihak kepegawaian terkejut. Aku yang terkenal memiliki etos kerja yang baik dan pencapaian yang gemilang, secara tiba-tiba mengambil langkah tak terduga. Pak Respati, kepala kepegawaian, bahkan mengajakku untuk bernegosiasi, bilamana ini perihal gaji, mereka siap menaikkannya. Tapi, sungguh bukan itu. Bulat sudah keputusanku. Ada sesuatu yang sama sekali tak bisa tertebus oleh uang, oleh materi apapun.
***

Selamat pagi, terkasih! Setelah sekian lama, akhirnya hujan turun juga. Kamu selalu suka dengan wangi tanah saat hujan turun, kan? Dan kamu tahu pasti bahwa yang kusuka hanya kamu. Anyway, aku rindu….”

Pesan terkirim dan aku lebih siap untuk memulai hari. Sepotong roti gandum sisa kemarin, aku panaskan di dalam pemanggang. Kubalut dengan sehelai tisu dan tak lupa kuseruput tetesan-tetesan terakhir kopi tanpa gula yang mulai mendingin, sebelum akhirnya kubergegas menuju gerai sepatu, sebelum kemacetan ibu kota kian menjebak. Sesaat di ambang pintu, kutengok kembali ruangan di belakangku. Sangat berantakan. 

Kutarik napas panjang dan akhirnya kutinggalkan ia dengan iringan bunyi klik tanda kunci telah terpaut. Kulajukan mobil di tengah hujan tanpa suara apapun lagi menemani, hanya suara rintikannya saja, rintikan hujan.
***

Hari ini kuputuskan untuk menutup gerai lebih awal. Tertanggal 24 Maret 2020, hari jadi kami ke-tiga. Sedikit kejutan perayaan aku rasa akan menjadi ide yang baik. Aku akan pulang ke rumah, membersihkan badan, memilih kemeja biru laut bergaris putih yang merupakan favoritnya, menyisir rapi rambutku yang cepak dan juga beberapa semprotan Hugo Boss yang sangat dia sukai. Kutatap bayanganku di cermin berbingkai kayu jati, sempurna. Kunci mobil yang telah siap di tangan kanan dan juga sekuntum mawar putih merekah berpita emas di tangan lainnya, kini waktu yang tepat untuk pergi.

Gedung itu sangat megah dengan gaya kolonialnya yang masih kental. Kuparkir sedan hitam di bawah rindangnya pohon meranti besar. Aku rasa, usia pohon ini bahkan lebih tua dariku, terlihat jelas dari batangnya yang lebar dan juga akarnya yang sudah merambat ke permukaan tanah. Namun, sisi ini sangat kusukai untuk memarkir mobil. Terik matahari seperti tak dapat menembus kerindangannya, sehingga si roda empat pun terhindar dari panasnya.

Sekali lagi kuyakinkan bahwa penampilanku telah sempurna. Seperti pemuda yang hendak mengencani wanitanya untuk pertama kali, aku hanya ingin terlihat paling istimewa di hadapannya. Kusisir rambut yang masih sangat rapi itu dengan jemari. Kerah baju yang sangat jelas garis lipatnya, kugerak-gerakkan, untuk memastikan semua baik dan sesuai. “Aku siap menemuimu, sayang!” bisikku yang diikuti rekahan senyum di antara kedua sudut bibir.
***

Langit-langit kamarku hanya berwarna putih, tetapi, kebahagiaan yang membuncah membuatnya seolah berwarna-warni. Pertemuan dengan yang terkasih selalu membawa nuansa baik, setidaknya bagiku. Meski sesaat, hari ini penuh makna.

Terima kasih untuk hari ini. Sangat luar biasa. Apakah kau juga bahagia? Happy anniversary sekali lagi, sayang! Aku hanya punya kamu dan rindu. Love you.

Malam kian larut seiring bergantinya hari. Bulu mata beradu, merekat, diikuti dengkuran halus juga gumaman dalam tidur yang selalu seperti itu, beberapa bulan terakhir.
***

“Salman, kapan kau pulang, nak? Rasanya sudah lama sekali Ibu tidak bertemu.” Aku hanya bisa terdiam, bukan berpikir, tetapi, keengganan untuk menjawab mungkin alasannya. Di seberang sambungan telepon pun akhirnya diam. Saling tak bertutur, terbaca kecanggungan di sana.

Dia ibuku, ya, aku tahu. Sosok yang padanya aku berhutang nyawa. Tentang dilahirkan ke dunia, tentang dibesarkan. Aku menghormatinya, tak ada keraguan. Hanya saja….

“Bu, maaf, ada beberapa pembeli datang. Aku harus melayaninya dulu. Nanti Salman telepon lagi. Assalamu’alaykum.” Membuat alasan yang tidak sepenuhnya hanya alasan, memang terlihat dua orang wanita masuk ke gerai dan mulai melihat-lihat etalase sepatu pria. Terima kasih pada mereka, kecanggunganku dengan ibu dapat terhenti sementara waktu.

Kuhampiri kedua wanita tersebut dan mulai melayani mereka sepenuh hati hingga akhirnya sepasang sepatu terbungkus rapi, siap diadopsi sang pembeli. Terakhir wanita berbaju hitam yang tampak lebih tua di antara mereka, memberitahu bahwa sepatu pantofel hitam bertali tersebut akan digunakan oleh calon menantunya, calon suami dari anaknya, pada acara pernikahan mereka yang akan digelar di awal bulan April 2020. 

Aku turut bahagia mendengar beritanya. Betapa beruntungnya sang calon mempelai pria, memiliki seorang mertua yang begitu sangat menyayanginya, terlihat jelas dari pancaran mata wanita tua berbaju hitam saat berkisah tentang calon menantunya tersebut. Semoga kebahagiaan dan keberuntungan meliputi kedua mempelai. Ya, benar, keberuntungan.
***

Rumah ini terlalu besar untukku. Mungkin tepatnya, terlalu kosong. Halaman yang luas, untuknya yang gemar bertanam. Dapur yang bergaya modern lengkap dengan segala perangkatnya, sangat sesuai dengan seleranya, diharapkan akan membuatnya semakin betah mempersiapkan hidangan kegemaranku. Ruang makan bernuansa putih, warna yang sangat disukainya. Di sinilah kiranya kami akan menikmati sarapan atau makan malam bersama sambil sesekali bertukar cerita dan canda.

Kutatap kembali setiap ruangan. Berakhir pada kamar tidur yang sangat lapang, dengan dipan berkelambu. Meja rias dilengkapi cermin oval terletak di satu sudut ruangan, beserta lemari pakaian besar dengan empat pintu di sudut lainnya. Terpasang satu lukisan berukuran sepanjang tempat tidur, pemandangan taman bunga dengan mawar putih mendominasi, juga seorang gadis yang juga berbaju putih dan bertopi lebar di tengahnya, seolah tenggelam di antara hamparan mawar di sekelilingnya. Gadis itu adalah dirinya.

Aku terlalu rindu, sayang. Besok aku akan kembali menemuimu. Tunggu aku.
***

Gedung bergaya kolonial, pohon beringin tua. Kita bertemu lagi. Bukankah selalu bertemu beberapa bulan ini? Itu karena rindu yang tak kunjung terbayarkan.

Kususuri koridor dari gedung tua tersebut dengan sekuntum mawar putih berpita emas di tangan, membawaku pada sisi barat dari bangunan megah tempo dulu tampatku berpijak kini. Terus kususuri, hingga terdiamlah ku di depan pintu besi kokoh berwarna putih. Betul, warna kesukaanmu, walau hampir semua pintu di gedung ini berwarna serupa.

Terdapat jendela kecil tepat di tengah pintu tersebut. Jendela yang tak bisa dibuka, terbuat dari kaca tembus pandang. Melaluinya, kudapat melihat apa yang sedang terjadi di dalamnya. Sesosok gadis berparas cantik duduk di bangku sederhana menatap dinding. Tatapannya kosong. Sesekali matanya berkedip, gerakan yang sangat lamban. Tangan kanannya meremas ujung baju, tak ingin dilepas. Tangan lainnya menggenggam sesuatu dengan erat, cincin bermata satu dengan ukiran “Latifa & Salman” di sisi bagian dalamnya.
***

Namanya Latifa. Dia tunanganku. Tiga tahun sejak aku menyatakan cintaku padanya. Seharusnya awal April 2020 nanti menjadi hari besar bagi kami. Tanggal di mana kami akan mengikrarkan janji suci di hadapan Tuhan. Bila saja ibuku tidak secara diam-diam menekannya terus menerus untuk meninggalkanku, hanya karena dia hanya gadis biasa, tanpa garis keturunan khusus seperti dalam keluargaku. Bila saja di tengah tekanan itu, ayahnya tak meninggal dunia dan membuatnya menjadi gadis yatim piatu. Bila saja saat keterpurukan itu terjadi padanya, aku yang terlalu sibuk dengan kantor dan perusahaan, juga prestis diri untuk dicap sebagai karyawan teladan, dapat meluangkan lebih banyak waktu untuknya, memberi dukungan moral padanya. Bila saja waktu itu ada, aku hanya ingin melakukan segala yang kubisa baginya. Hingga tak perlu ia berada di ruangan ini, menatap kosong dinding berwarna putih, tanpa kata, tanpa suara. Meninggalkan kerinduan dan kehampaan pada sisi ruang batinku yang entah sampai kapan akan berlalu. Hanya mampu terus mengirim pesan tanpa balasan dari waktu ke waktu. Maafkan aku, sayangku. Aku cinta kamu.

2 comments:

  1. cewenya masuk rumah sakit jiwakah? dashyat sekali berarti tekanannya ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha terinspirasi dari saikojiman juga sih kak wkwk bahwa penghuni RSJ tuh bukan cuma yang kayak parah doang masalahnya, pecandu minuman juga aja bisa masuk yak 🧚 adek nenekku, gegara terlalu cinta belajar, segala dipelajari, masuk RSJ juga kak, sampe meninggalnya beliau 🥺

      Delete