Monday, July 20, 2020

Dealing with Cyber Crime (Based on Experience)

Cyber crime. Sebagian orang mungkin sudah mengenal dengan baik istilah tersebut. Berkenaan dengan segala bentuk kriminalitas yang terjadi di dan atau melalui dunia maya. 

Seiring terus berkembangnya teknologi, juga semakin mudahnya akses internet, membuat makhluk bernama manusia semakin kreatif. Sayangnya, kreativitas yang berkembang ini bukan hanya dalam hal positif saja, tetapi juga, dalam hal negatif, yang tidak jarang mengarah pada kriminalitas.

Saya bukan bermaksud membuat kuliah umum mengenai cyber crime ini, juga tidak ada niatan untuk mengulas tuntas definisi dan berbagai macam teorinya. NoJustru, saya ingin sedikit berbagi (dengan sedikit unsur curhat juga) tentang pengalaman pribadi yang sepertinya masih berbau cyber crime.

Hari ini berjalan dengan cukup tenang. Tidak ada drama berlebihan tentang bocah, suami, semua berjalan sangat normal dan menyenangkan. Ketika, tiba-tiba pesan whatsapp masuk. Tertulis di layar gawai, pengirim pesan adalah Tante Ninuk. Yup, beliau adalah istri dari paman saya, adik kandung dari papa. Sejujurnya, bukan hal lumrah kami berkomunikasi lewat chat, kami tidak sedekat itu. Datangnya sebuah pesan darinya tentu saja membuat saya agak bingung juga kaget.

Singkat cerita, tante saya itu tiba-tiba dihubungi oleh seseorang yang mencari suami saya, katanya suami saya berhutang dan harap segera dilunaskan.

Ada hal yang agak mengganjal bagi saya:
1. Saat ini kami sedang tidak terikat hutang piutang dengan orang luar manapun. Bahkan, tidak lagi ada kartu kredit yang aktif sama sekali.
2. Peneror tersebut menyebut-nyebut nama suami saya Muhammad Ali, sedangkan nama suami saya hanya Ali tanpa ada panjangan apapun.
3. Masih gagal paham tentang pemilihan orang yang dikejar-kejar akibat utang yang tersangkut. Jelas tante saya itu tidak begitu banyak komunikasi dengan saya, apalagi dengan suami. Bahkan, suami saya pun baru memiliki nomer HP beliau saat ada kejadian ini, melalui saya. Tetapi, mengapa orang yang ditagihnya adalah beliau, bukan saya dulu misalnya, sebagai istrinya, dan jelas-jelas nomor HP saya tidak pernah berubah sejak tahun 2003. 

Akhirnya, saya konfirmasi suami saya saat itu. Kaget, karena merasa tidak enak juga ke keluarga saya, jika mereka akhirnya berpikiran bahwa benar kami ada masalah hutang piutang.

Suami pun sama kagetnya dengan saya. Dia pun akhirnya mencoba menghubungi kembali nomor peneror, berkali-kali, melalui panggilan telepon dan juga pesan teks, tetapi, selalu di-reject. Bahkan, akhirnya nomor suami saya seperti di-block oleh peneror tersebut.

Saya sempat menanyakan kepada suami perihal foto yang disebarkan oleh peneror. Foto suami berpose seperti sedang tahap verifikasi data via online. Dia menjelaskan bahwa seingatnya, pose tersebut diambil dan dikirim ketika akan verifikasi data untuk pemasangan layanan internet. Saya langsung berasumsi bahwa foto verifikasi yang sering diminta di hampir semua aplikasi yang memiliki akses dengan pendanaan, berstatus tidak aman. Mungkin tidak semua, tetapi, kejadian bocor data dan akhirnya disalahgunakan pun masih marak.

Rasa penasaran saya masih cukup tinggi, sehingga saya pun mencoba untuk profiling pemilik nomor tersebut melalui laman Google dan juga aplikasi pelacak nomor. Nomor tersebut tertulis nama Lubis di aplikasi whatsapp, tetapi, ketika saya lacak lebih luas, hasilnya adalah nihil.
Profiling melalui laman Google.
Profiling melalui aplikasi truecaller.

Saya kurang yakin mengenai alasan tidak terdaftarnya nomor tersebut. Apakah tersinyalir pada tindak murni penipuan atau bisa saja mungkin benar nomor tersebut adalah nomor debt collector yang bekerja untuk suatu perusahaan fintech ilegal, dengan kasus, terjadi kebocoran data suami saya, sehingga dapat disalahgunakan oleh pihak ke-tiga untuk meminjam uang pada salah satu perusahaan fintech ilegal tersebut. Semua masih berupa asumsi, mengingat kami tidak pernah merasa meminjam uang ataupun berhutang pada suatu badan atau pun perseorangan manapun. Angka yang mereka sebut pun agak rancu bagi kami, Rp 1.605.000,-. Tanpa bermaksud sombong atau apapun, tetapi, Alhamdulillaaah untuk nominal tersebut saya kira kami masih cukup mampu meng-cover-nya tanpa harus meminjam dari pihak lain.

Ada suatu kekhawatiran lain sejujurnya untuk suami saya. Jika, peneror meretas kontak teleponnya, artinya, ada kemungkinan SMS blasting ini pun akan dikirimkan secara acak ke nomor-nomor lain di daftar kontak tersebut. Sedangkan, tak sedikit mereka adalah para client dan rekanan suami. Ditakutkan imbas jangka panjangnya akan mempengaruhi alur bisnis dan pekerjaan juga. Alih-alih uang sejumlah dua juta kurang, kredibilitas perusahaan menjadi taruhannya. 

Kami berharap, semua itu hanyalah bentuk kekhawatiran kami saja. Tidak akan ada lagi kelanjutan dari teror seperti ini. Saya pribadi sudah berencana untuk mengangkat kasus ini pada pihak berwajib bidang cyber crime. Bila kejadian terulang, tak ada cara lain selain menempuh jalur hukum dan saya sangat siap dengan prosesnya. Karena, ketenangan hidup itu harus diupayakan, bukan? Terlebih sangat berhubungan dengan keamanan, betul?

Mungkinkah ada yang memiliki pengalaman serupa?

No comments:

Post a Comment