Saturday, March 6, 2021

ZONA 7 : Tantangan dalam Membumikan Seks dan Seksualitas pada Anak

love my body
Picture by Amazone

Bismillaah.

Cukup banyak telah kita bahas mengenai pemahaman seks, seksualitas, gender dan fitrah. Wah, lumayan berat ya materinya. Terkesan berat karena kita harus melawan arus paradigma masyarakat. Yup, tentang ke-tabu-annya. Walaupun ternyata, setelah diikuti ilmunya, seks itu bukan tentang hal negatif, ya? Itu hanyalah bagian dari hal mendasar pada diri seseorang.

Jujur, dalam penerapannya, membumikan seks dan seksualitas pada Anis itu memang gampang-gampang susah. Alasan pertama, karena minimnya pengalaman. Maklum, kami baru memiliki satu anak, sehingga belum ada gambaran tentang hal ini sebelumnya.

Alasan kedua, menyamakan persepsi dengan lingkungan. Sama seperti topik hangat di kalangan parenting, semisal : meng-ASI-hi atau susu formula, lahir per vaginam atau SC, ibu bekerja atau stay at home mom, semua menjadi isu yang tidak berujung. Masing-masing membawa pendapatnya, dan sebenarnya tidak ada salah dan benar yang baku juga di antara keduanya.

Dalam hal pengenalan seks dan seksualitas ini yang paling menantang bagi saya pribadi adalah lingkungan terdekat, yaitu keluarga. Saya dan suami berasal dari keluarga yang beragam latar belakangnya. Dan kebanyakan, dari para sesepuh, mereka memiliki cara berbeda tentang mengenalkan hal ‘tabu’ ini, apalagi dengan peruntukkan anak-anak.

Sama seperti masyarakat Indonesia pada umumnya, sebagian sesepuh kami pun meyakini bahwa pendidikan seperti itu tidak perlu terlalu banyak disinggung pada anak. Karena secara naluriah dan alamiah, anak pun akan mengetahuinya.

Belum lagi, karena alasan ‘tabu’ tersebut, mereka lebih mengenalkan istilah-istilah tidak baku pada anak. Mulai dari penamaan alat genital misalnya. Padahal, hak anak untuk tahu nama umum dari anggota tubuh mereka, bukan? Sama halnya seperti kita mengenalkan mulut, hidung, mata, tangan, telinga dan sebagainya. Karena, menurut saya, semakin dibuat-buat, si anak justru semakin bertanya-tanya, “Kenapa harus dipake nama-nama aneh, ya?” Yang akhirnya, akan terbentuk pemikiran bahwa menyebut alat kelamin itu ternyata hal yang tidak baik/tabu.

Sebenarnya, sesepuh-sesepuh kita itu pun tidak salah. Karena mungkin mereka mengikuti apa yang mereka dapat dari generasi-generasi sebelumnya. Namun, ketika saat ini kita telah mengetahui hal yang seharusnya berdasarkan perkembangan ilmu, ada baiknya kita upayakan untuk memutus mata rantai. Kita ubah cara sebut alat genital kita dengan nama ilmiahnya dan tak perlu mengolok-olok serta menjadikannya hal tabu.

Ternyata, jika kita mampu bersikap konsisten terhadap anak untuk tetap mengenalkan nama-nama tersebut dalam kehidupan sehari-hari, anak pun akan merekam kekonsistenan tersebut dan membentuk suatu habit. Sehingga, saat si anak terjun ke dunia yang beragam, dia akan tetap kembali dengan habit yang telah ditegakkan dalam kesehariannya. Dan lebih mencengangkan lagi, ternyata tanpa harus kita menyeramahi para sesepuh tentang maksud kita, perlahan mereka yang akhirnya mengerti bahwa anak kita memiliki cara berbeda dalam hal ini.

Hal lain yang sangat menantang bagi saya dan suami dalam upaya membumikan seks dan seksualitas ini adalah rasa malu. Benar, membuat anak mengerti rasa malu tanpa membuatnya tabu. Cukup sulit.

Anak akan bertanya banyak hal jika ada sesuatu yang tidak biasa. Semakin besar, keingintahuannya akan semakin kuat dan sampai tahap itu akan lebih sulit bagi kita memberikan penjelasan dengan konteks yang mudah diterima. Seperti contohnya, tidak boleh berganti pakaian di muka umum, harus ada batasan tubuh yang boleh dilihat apalagi disentuh oleh orang lain selain ayah ibunya, alasan mengapa harus tidur terpisah dengan ayah ibu atau pun kakak adiknya. Oleh karena itu, saya dan suami sepakat untuk membiasakan hal tersebut sedini mungkin yang kami bisa. Kami di sini adalah saya, suami, dan Anis.

Saya dan suami membiasakan untuk tidak mandi bersama Anis. Meskipun itu ayahnya sendiri yang notabene satu jenis kelamin dengannya. Jika pun ada hal urgent yang mengharuskan mandi bersama, bilas setelah berenang misalnya, suami akan tetap menggunakan pakaian dalam saat mandi bersama Anis. Begitupun saya. Namun, sejak Anis menginjak usia 1.5 tahun, suami telah melarang saya sepenuhnya untuk mandi bersama Anis. Alhamdulillah, sejauh ini semua dapat diterapkan dengan adanya kerja sama dan kesepahaman antara ayah dan ibunya.

Begitu juga dengan buang air. Kami tidak membiasakan untuk buang air di hadapan anak. Jika terpaksa harus sekali, saya akan tetap membiarkan Anis di depan pintu meskipun menangis, dan saya akan bergegas dalam menyelesaikan kebutuhan jamban saya. Alhamdulilllaah, sejak usia satu setengah tahunan, Anis sudah bisa mengerti jika saya ijin untuk ke toilet. Kadang ia hanya berdiri tepat di depan pintu kamar mandi untuk menunggu saya.

Termasuk kebiasaan berhanduk setelah mandi. Sejak Anis mandi di kamar mandi, kami biasakan untuk berhanduk rapi dulu sebelum keluar kamar mandi, meskipun di rumah sendiri. Walau Anis mungkin belum paham tentang malu saat itu, saya dan suami selalu sounding setiap habis mandi, “Yuk, pake handuk dulu yaa, dibuntel-buntel gini, biar ga malu.” Kini, usia Anis 3.5 tahun, dia sudah melakukan sendiri berhanduk itu. Jika kebetulan sedang berkunjung ke rumah saudara dan mendapati anak seusianya keluar kamar mandi bertelanjang bulat, dia mulai menegurnya.

Masih sangat banyak PR yang harus kami selesaikan mengenai pendidikan seks dan seksualitas ini. Seiring bertumbuhnya Anis, maka kasus per kasusnya pun akan meningkat. Nantinya bukan sekadar perkara penamaan organnya saja, tetapi bagaimana kaitannya dengan pubertas, hormonal, dll. MasyaAllah. Menjadi orang tua artinya belajar tiada henti rupanya. Semoga selalu dimudahkan oleh Allah SWT.

Allahu’alam bi shawab.

 

No comments:

Post a Comment