Thursday, March 4, 2021

ZONA 7 : Fitrah Gender menurut Kacamata Religi

Fitrah Gender
Picture by pinterest

Bismillaah.

Tulisan kali ini merupakan lanjutan dari bahasan kemarin, yaitu mengenai pemahaman perbedaan gender dan seks. Setelah membahas definisi secara harfiahnya, hingga dapat ditarik simpulan mengenai perbedaan antara seks, seksualitas dan gender tersebut, maka sekarang saya akan menarik garis hubung dengan fitrahnya.

Membicarakan fitrah gender, yang notabene di masyarakat kita masih banyak mengarah pada sistem patriarki (kaum lelaki lebih dominan atas kamu perempuan), tak jarang dan bahkan lumrah dikaitkan dengan agama. Namun, sebenarnya, apakah benar agama mengusung adanya perbedaan gender itu sendiri? Bagaimana pandangan agama yang sesungguhnya mengenai laki-laki dan perempuan? Apakah gender yang berada di masyarakat kali ini memang sudah sesuai dengan fitrahnya?

Sebelumnya, kita akan menengok bersama terlebih dahulu tentang definisi fitrah itu sendiri.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia :

Fitrah : sifat asal, kesucian, bakat, pembawaan

Menurut seorang ulama Iran, Murtadha Muthahhari, fitrah adalah keadaan yang dengan itu manusia diciptakan. Artinya, Allah telah menciptakan manusia dengan keadaan tertentu yang di dalamnya terdapat kekhususan-kekhususan yang ditempatkan Allah dalam dirinya saat ia diciptakan tersebut, dan keadaan itulah yang menjadi fitrahnya.

Sebagai contoh, di dalam penciptaan seorang perempuan, diberikan padanya perangkat ovarium yang mampu menghasilkan ovum, juga rahim yang secara biologis mumpuni dilekatkan oleh embrio (bakal janin). Dari dua realita tersebut, lahirlah fitrah pada perempuan, yaitu mengandung/hamil. Jika ada pertanyaan atau pernyataan, “Mengapa perempuan harus merasakan kesusahan mengandung sedangkan laki-laki tidak?” Ya, cukup jelas jawabannya, karena memang tubuh perempuan diberikan perangkat untuk itu sejak dilahirkan. Dan perangkat ini pun dibuat sangat sempurna, sinergis dengan organ tubuh lainnya, hingga mampu menunjang segala sesuatunya. Jadi, bukan karena perempuan dideskreditkan, tetapi memang fitrahnya seperti itu.

Namun, masalah kepengasuhan anak tersebut kelak, apakah masih menjadi fitrah perempuannya (ibu) saja? Jika merujuk pada konsep fitrah yang telah di bahas sebelumnya, saya dapat asumsikan bahwa fitrah penuh perempuan berada pada setidaknya fase melahirkan, dan jika memungkinkan hingga menyusui. Untuk ranah kepengasuhan, bukan lagi menjadi fitrah perempuan seutuhnya. Artinya, bukan hanya ibu yang berkewajiban dalam kepengasuhan, tetapi sosok ayah pun, atau mungkin figur lainnya. Sehingga, jika kita melihat anak yang diasuh oleh nenek kakeknya, anggota keluarga lainnya, atau pun oleh seorang pengasuh, itu bukan berarti ibu kandung dari anak tersebut TIDAK BAIK. Karena, fitrah utama si ibu tersebut sudah dijalani, yaitu mengandungnya dan melahirkannya.

Bila ibu tersebut lebih memilih untuk mengurus anaknya sendiri, mengambil peran kepengasuhan secara penuh, itu karena pilihan yang diambil oleh personal tersebut dengan mempertimbangkan beberapa aspek tentunya. Misalnya, keinginan untuk menjadi saksi perkembangan si anak secara langsung, keinginan untuk membangun bonding dengan si anak untuk investasi komunikasi yang lebih baik antar ibu-anak di kemudian hari, atau pun kesadaran secara penuh untuk menjadikan ranah tersebut sebagai ladang baginya dalam beribadah dengan lebih baik (bila si ibu merasa ladang ibadah ia lebih baik dalam bekerja di luar/membantu stabilitas finansial keluarga, maka itu pun adalah pilihan baik baginya). Tidak ada yang salah dan benar dalam hal ini, yang ada hanyalah sebab-akibat dan resiko dari setiap jalan yang diambil.

Islam, sebagai agama yang saya yakini,  tidak pernah mendoktrinkan adanya gender dan pembedaan yang berakibat pada pengkastaan yang didasarkan oleh seks/jenis kelamin. Tidak ada suatu ayat dalam Al-Quran yang menyatakan bahwa laki-laki akan masuk surga sedangkan perempuan tidak, atau laki-laki lebih baik dari pada perempuan. Yang membedakan keduanya hanya segi biologis dan keimanan serta ketaqwaannya.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Q.S. An-Nahl : 97

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.

Q.S. An-Nisa : 124

Menurut Muhammad Nur Kholis dalam karya ilmiahnya yang berjudul Konsep Kelapa Keluarga antara Laki-laki dan Perempuan, jika kita masih melihat adanya kehidupan patriarki, atau pun kondisi di mana seks satu lebih mendominasi dari pada seks lainnya, maka itu semua tak lebih dari implementasi yang tidak menyeluruh dari ajaran agama tersebut, yang dipengaruhi oleh faktor sejarah, lingkungan, budaya dan tradisi yang terjadi  di dalam masyarakatnya, sehingga menimbulkan sikap dan perilaku individual yang secara turun temurun.

Pada hakikatnya, eksistensi laki-laki dan perempuan merupakan suatu penyempurna bagi satu dan yang lainnya, untuk saling melengkapi dan mengisi ruang kosong  masing-masing sehingga misi kehidupan akan terlaksana secara utuh. Tanpa mendasarkan pada baku gender tertentu. 

Allahu’alam bi shawab.


No comments:

Post a Comment