Monday, March 15, 2021

Ngobrol tentang Cita-cita


Bismillaah.

“Anis, mau jadi fire fighter, ga?”

“Ga, ah! Anis mau jadi OM SPBU aja.”

Dan percakapan berakhir dengan Anis anteng berlama-lama menikmati menjadi petugas SPBU, tepat ketika anak lain memilih untuk berseragam merah dan memadamkan miniatur hotel yang (ceritanya) kebakaran.

Lain scene,

“Ayok, terus Ayah, kiri kiri, terus, stop dulu Ayah, ya, terus lagi lurus lurus!”

“Sip, Om, terus terus, lurus aja oke. Kanan, Om, lurus lagi. Eh, stop stop ada batu!”

Secara sepintas sudah cukup jelas ya peran apa yang sedang Anis lakoni. Yup, betul, Bund!

“Anis suka jadi om parkir, hebat soalnya.”

Dan siapa pun yang dia temui hendak memarkirkan mobil, Anis sigap memberi aba-aba dengan penuh percaya diri dan rasa bangga. Untung aja ga sampe julurin tangan nagih uang parkir ke pengemudinya.

Namun, saat saya dan Anis sedang duduk-duduk santai sambil ngobrol, dan kemudian saya tanya, “Anis cita-citanya mau jadi apa, sih?”

“Anis mau jadi dokter, Ibu, biar Anis bisa bantu orang sakit.”

Well, so far, tiga profesi itu yang ‘setia’ jadi cita-cita Anis hingga saat ini. Kadang, waktu saya ceritakan profesi lain atau ada yang dia lihat tentang pekerjaan lain, Anis suka tetiba pengen jadi profesi tersebut, tapi hanya sesaat, dan kembali lagi jadi om SPBU, om Parkir, dan dokter.

Bicara tentang cita-cita Anis, “Anis sudah besar mau jadi apa, Nad?”

Hmm, untuk pertanyaan macam ini, saya rasa kurang etis jawabannya keluar dari mulit saya ataupun ayahnya (apalagi di luar itu wakakaka). WHY?!

Ehm, cita-cita adalah hak anak untuk menentukannya, dan kita orang tua hanya sebagai pengontrol dan konsultan aja. Itu menurut saya, lho, ya.

Kita boleh mengarahkan, memberi gambaran tentang kebermanfaatan setiap pekerjaan, status kehalalannya, prospeknya, dan itu harus. Biarkan Anis memperoleh informasi sebanyak mungkin tentang hal itu, dan juga kesesuaian dengan realita. Ga perlu kita menghebat-hebatkan satu profesi di depan anak hanya karena kita ingin dia menjadi sosok itu. Ini merupakan bentuk otoriter terselubung menurut saya hihi.

Namun, sebelum lebih jauh mengenalkan tentang profesi-profesi itu sendiri, ada hal mendasar yang saya lebih kenalkan kepada Anis, yaitu tentang tujuan akhir kita hidup itu apa? Apakah tentang berlimpah materi? Atau tentang mendapat sanjungan dan pengakuan saja? Apakah sebatas dunia saja?

Berat? Iya, jika kita menyampaikan kepada anak dengan bahasa teori, hehehe. Namun, jika kita sampaikan dengan pemaparan dan aksi sederhana, insyaAllah anak pun akan lebih mudah menangkapnya.

“Itu polisi, Nis. Dia bantu kita nangkep penjahat. masyaAllah hebat ya, bisa bantu banyak orang. Bikin orang ngerasa aman, ya?”

“Itu abah sampah, Nak. Tuh, sampah-sampah dari setiap rumah dia ambilin, beresin. Jadi ga bau ya rumah kita? Abah sampah udah ngebantu kita tuh, Nis. masyaAllah ya, makasih abah sampah.”

“Guru itu ngajarin banyak orang jadi pinter. Ibu, Ayah, semua pernah diajarin sama guru. Bu guru bantu ibu yang ga ngerti ngitung jadi bisa. Bantuin Ayah yang ga bisa nulis jadi bisa nulis sekarang.”

“Itu emang kerjaan bapaknya jualan sayur, Nis. Saya kayak Ayah kerja bikin buku, bapak itu kerja juga. Bantu Ibu, mami-nya Kakak Arkhan, biar ga usah susah-susah kalo mau beli sayur. Baik, kan?”

Semuanya bermanfaat. Semuanya membawa kebaikan, berbuat hal baik juga. Semuanya sama, hebat, karena mereka semua MEMBANTU banyak orang. Apa yang mereka lakukan membawa manfaat bagi sekitar, dan kita harus berterimakasih kepada masing-masing mereka.

Konsep bermanfaat dan melakukan kebaikan sudah tersampaikan tanpa harus membawa dalil dan literatur panjang, yang rasanya, kurang ngena jika digunakan untuk anak usia bayi dan balita.

“Ayah kerja karena ayah pengen Allah happy. Biar Ayah bisa beliin beras buat kita makan, bisa ngajak Ibu jalan-jalan, bisa beliin Anis buku atau mainan. Jadi, Ibu happy, Anis happy, Ayah happy, Allah juga happy karena Ayah udah pinter bikin kita semua happy.”

Penangkapan Anis berbeda saat dulu sempat saya katakana bahwa ayahnya bekerja untuk mencari uang. Ada moment di mana dia ga pengen ayahnya pergi kerja dan akhirnya dia ambil celengan dia, “Ayah, ini Anis punya uang, Ayah ga usah kerja.”

Sejak kejadian itu, konteks penyampaiannya saya ubah. Alhamdulillaah, kini dia paham bahwa kerja bukan hanya sekadar untuk uang. Apalagi sekarang Anis sudah berusia 3.5 tahun, sedikit banyak telah lebih dikenalkan mengenai peran gender. Sehingga, kadang ayahnya mulai sounding, “Ayah kerja karena ayah laki-laki, harus kerja, kan? Ibu juga boleh kerja, tapi kan harus nemenin Anis, ya? Nah, nanti, kalo Anis sudah besar, Anis juga kerja kayak Ayah, okey?” Dan Anis selalu berbinar-binar jika ada ajakan “kayak ayah”.

Kami, saya dan Ayah Anis, terus belajar. Layaknya trial and error dalam memberi penjelasan tentang banyak hal kepada Anis. Utamanya agar kami tidak salah dalam mengarahkan, dalam membentuk pola pikirnya, yang akan sulit dibengkokkan atau diperbaiki jika kelak ia sudah semakin dewasa.

Jadi, apapun profesi Anis nanti, ibu dan ayah hanya ingin Anis MELAKUKAN HAL BAIK, MEMBAWA MENFAAT, dan MEMBUAT RABB-mu RIDHA, Nak. Itu lebih dari cukup, insyaAllah.

Allahu’alam bi Shawab.


No comments:

Post a Comment