Friday, June 12, 2020

Membangun Karakter Moral Ibu Profesional

               Picture's Edited by Canva

Bismillaah.
Konten kali ini akan berkenaan dengan tugas penyelaman selanjutnya di kelas Matrikulasi Institut Ibu Profesional yang saya ikuti. Materi yang dipaparkan mengenai Karakter Moral Ibu Profesional. Hal yang akan, lagi-lagi, menjadi modal kita untuk mengusahakan diri menjadi seorang Ibu Profesional, yang sadar akan fungsi dan perannya, menjalaninya dengan sepenuh hati dan bertanggungjawab, bukan sekedar ibu yang "hanya" berubah status menjadi seorang ibu karena telah melahirkan seorang anak. 

Baiklah, sebelumnya, saya akan melengkapi tugas saya melalui sedikit narasi tentang pengalaman pribadi saya. Mudah-mudahan tidak bosan yaa yang membacanya, atau mungkin malah mengajak untuk toss karena merasa "eh, saya juga begitu lho" 🤭

Saya menikah di tahun 2012. Saat menikah saya memang bekerja di ranah publik. Tanpa mengikuti program KB apapun, ternyata memiliki keturunan bukan hal mudah bagi saya dan pasangan. Sudah banyak dokter yang saya ikuti programnya, tapi, belum juga berhasil. Awal menikah, saya mulai mempelajari tentang ilmi parenting. Karena saya pikir, nanti setelah menikah kan akan memiliki anak, aku harus punya bekal. Ndilalah, alur cerita seperti itu tidak berlaku bagi saya dan pasangan. Akhirnya, saya beradaptasi dengan kondisi yang saya terima saat itu. Saya tetap harus optimis dan melanjutkan hidup, meski terkadang sulit juga saat orang lain, utamanya adalah keluarga, bertanya tentang "Kapan nih mau punya anak? Kan sudah lama menikahnya?"

Setahun, dua tahun menjalani rumah tangga, cukup membuat stres dengan tekanan seperti itu. Apalagi, kebetulan kami berdua, saya dan suami, adalah anak pertama. Di keluarga suami bahkan nantinya anak kami yang akan menjadi cucu pertama. Betapa dinantinya, bukan? Ketegangan pikiran membawa saya ke suatu fase, di mana saya sangat trauma melihat testpack. Saya takut. Tetapi, berkat dukungan suami, juga tekad kuat saya untuk merubah paradigma itu, akhirnya saya pun berdamai dengan kondisi tersebut. "Okey, jalanku mungkin berbeda dengan pasangan lain, tetapi, aku yakin, akan ada hal positif lainnya yang ku dapat. Hanya butuh menjalankan semuanya dengan lebih bahagia dan menerima, selain berusaha tentunya". Never stop running, the mission alive. Di tengah penantian itu pun, Alhamdulillaaah saya mendapatkan pengalaman lebih, yang mungkin, orang lain yang langsung memiliki anak, tidak mendapatkannya. Kala itu, saya bisa mengaktualisasikan diri di pekerjaan saya, yang merupakan mimpi orang tua saya juga melihat anak perempuannya memanfaatkan ilmu yang telah didapatkan di bangku kuliah. Saya termasuk pekerja yang memiliki prestasi kala itu, berkat dukungan suami juga tentunya. Selain itu pun, saya bisa merealisasikan kesukaan saya terhadap traveling. Misi satu belum terlaksana, misi lain Alhamdulillaah terkabulkan. 

Saat mengetahui bahwa sampai menapaki tahun ke-tiga belum juga ada tanda kehamilan, akhirnya, saya pun "menyimpan" dulu buku-buku, juga informasi berkenaan dengan parenting saat itu. Bukan tidak butuh, tetapi, belum butuh. Ada ilmu lain yang lebih menjadi prioritas saya, yaitu ilmu atau informasi mengenai program kehamilan dan segala sesuatu yang relate tentangnya. Selain dari konsultasi dokter, saya pun banyak membaca buku atau kisah orang lain yang sama. Sedikit banyak memberi aura positif bagi saya, selain ilmu tentunya. Don't teach me, I love to learn. Dengan model belajar yang lebih efektif, yaitu mematok skala prioritas dalam belajar. Apa yang dibutuhkan saat ini, ilmu tentang itulah yang baiknya dipelajari terlebih dahulu. 

Pada tahun ke-lima pernikahan, masyaAllah Alhamdulillaah, berita bahagia pun datang. Tanpa saya sadari, ternyata sudah ada janin di dalam rahim saya, bahkan, hampir berusia 3 bulan kata dokter kandungan. Bukan apa-apa, karena saya memang bermasalah dengan menstruasi, juga sudah "lelah" dengan testpack, sehingga saat saya merasa sebah perut dan agak mual di pagi dan sore hari, saya berpikir itu penyakit lambung saja. Tak ada sedikit pun merasa itu kehamilan. 

Sesuai kesepakatan di awal pernikahan dengan suami, ketika saya hamil, saya harus fokus untuk anak saya. Tanpa mendiskreditkan ibu bekerja ranah publik lainnya, tetapi, begitulah saya dan suami memiliki prinsip dan pertimbangan sendiri. Akhirnya, di bulan ke-enan kehamilan, saya memutuskan untuk resign dari pekerjaan saya saat itu. Ini cara kami untuk lebih menghargai dan memaknai waktu. Ketika sepakat untuk menyudahi bekerja ranah publik saat menuju kelahiran, saya berusaha berkomitmen dengan kesepakatan tersebut, tanpa menunda-nunda. Karena, pengalaman beberapa teman, mereka akan lebih susah melepas pekerjaannya saat anak sudah dilahirkan. 

Alhamdulillaah, tekad saya untuk Always on Time, bahkan dengan kesepakatan yang telah dibuat sendiripun, ternyata membawa kebaikan tersendiri. Saya menjadi lebih banyak memiliki waktu untuk mempersiapkan kedatangan si kecil. Tentang kelahiran, kehidupan pasca melahirkan, parenting bayi dsb. Walaupun tak terlihat sesuatu yang wah bagi orang lain, tetapi, bagi saya yang menjalaninya, ada kepuasan tersendiri yang sangat saya syukuri.

Waktu berjalan, bayi telah bertumbuh menjadi toddler. Orang berkata, "tak terasa ya waktu begitu cepat". Tetapi, tidak begitu bagi saya yang menjalankannya. Terbiasa bekerja di ranah publik, kemudian tetiba menjadi pekerja domestik utuh dan merawat seorang anak, sendiri, membawa suasana yang agak berbeda untuk saya. Ada masa di mana kejenuhan sangat menganggu. Juga rasa tak berguna. Rindu bersosialisasi dengan rekan kerja seperti dulu, membahas hal yang "agak berat", bukan sekedar bermain cilukba atau membaca buku bergambar anak. Saya merasa kosong. 

Bi iznillah, dengan izin Allah, saya menemukan informasi tentang Ibu Profesional dari laman media sosial adik kelas saya saat SMA. Saya bertanya-tanya padanya, kemudian, saat pembukaan registrasi, saya pun bergabung. Di komunitas ini, saya seperti menemukan kembali kekosongan itu. Banyak ilmu, banyak berbagi, banyak informasi yang renyah untuk dinikmati, dan juga, banyak teman baru, yang tak jarang memiliki keluhan serupa. 

Tak lama, masih ada kaitan dengan bergabungnya saya dengan Ibu Profesional, saya juga menemukan komunitas lain, yaitu Kelas Literasi Ibu Profesional. Komunitas literasi yang membawa saya menemukan kembali passion saya. Kesukaan menulis saya terasah dan tersalurkan dengan baik di sini. Dengan terselesaikannya kebutuhan psikologis saya, melalui passion yang diikuti juga komunitas-komunitas pembawa manfaat, lambat laun saya lebih bisa menjalankan fungsi utama saya di rumah sebagai istri dan ibu pekerja domestik dengan lebih bahagia. I know, I can be better, and I must

Lebih membahagiakan lagi, karena dengan menemukan passion saya tentang menulis tersebut dan juga bergabungnya saya sengan Ibu Profesional, saya bisa membagikan sedikit banyak hal baik dan bermanfaat yang telah saya dapat dan praktikkan, melalui tulisan-tulisan saya. Akhirnya, saya dapat merasa bahwa hidup saya lebih berharga dan membawa manfaat, Alhamdulillaah. Sharing is caring, and sharing may create more happiness instead

***
Dari pengalaman, semakin yakinlah saya bahwa Karakter Moral Ibu Profesional sudah sangat mewakili segala aspek untuk memecahkan problematika kehidupan sehari-hari. Adapun Karakter Moral Ibu Profesional tersebut :

1. Never stop running, the mission alive
2. Don't teach me, I LOVE TO LEARN
3. I know, I can be better
4. Always on time
5. Sharing is caring

Mudah-mudahan kita semua, saya pribadi khususnya, dapat terus melekatkan karakter moral tersebut di dalam kehidupan kita. insyaAllah. Allahu'alam bi shawab 💙

No comments:

Post a Comment