Wednesday, June 3, 2020

CERPEN : Ruang Hampa

Aluna berlari, tetapi seakan tak bergeming. Ujung yang menjadi tujuan tak pernah terlihat. Yang ada hanya lelah dan peluh. Dan seketika dia menghantam tanah yang basah oleh lembabnya udara di senja hari. Menyerah dan membiarkan nasib menapaki jalannya.

***
Aluna tidak pernah ingin pindah ke rumah ini, pun ke kota ini. Kehidupan metropolitan sudah sedikit banyak melekat padanya, agak sulit untuk beradaptasi di kota, atau desa, sepi dikelilingi hutan dan kabut setiap harinya. 

"Selalu seperti ini. Seolah aku tak punya ruang untuk menyampaikan inginku," batinnya. Terlebih saat kedatangan lelaki itu di antara kami. Papa Septian, pada dasarnya dia bukan pria yang buruk. Sangat perhatian dan saking perhatiannya, aku merasa bahwa kebebasanku bahkan sedikit terenggut, kebebasan yang telah mamaku sendiri percayakan padaku. Jam malam? Okey, mama juga menerapkannya. Tapi, pukul 20.00?? Oh, come on, bukankah terlalu "siang" untuk menjadi jam malam seorang mahasiswi tingkat akhir? Itu salah satu contoh revisi aturan di rumah sejak kedatangan lelaki itu. Lainnya? Tentu masih sangat banyak. Termasuk kepindahan kami ke sini, desa Citenang. Hanya karena papa "baru" ku itu tetiba harus pindah tugas ke daerah terpencil ini, dan pastinya dia tidak ingin hidup terpisah dengan mama dan aku, entah aku hanya berupa pelengkap atau ahh entahlah, yang pasti di sini lah aku sekarang. Sebab, diantara keanehan-keanehan aturan baru, mama yang sangat tegas dan selalu berprinsip pun luluh, tak ada satu pun revisiannya ditolak. Mungkin karena mama tak siap untuk ditinggalkan lagi untuk ke-dua kalinya. 

Bagaimana nasib kuliahku? Sudah ku selesaikan, tepat sebelum keputusan pindah yang terburu-buru ini, aku sudah menjalani sidang skripsi. Hanya ku lewatkan acara besarku, wisuda. Hal ini pun yang membuatku semakin muak dengan rencana gila ini. Walau pun ada kelegaan sedikit tentang absennya aku dari acara wisuda, setidaknya aku tidak harus melihat Revan, well ya dia masih berstatus pacarku hingga aku lihat dia makan malam bersama Ayu, yang saat bersamaan dia juga berkata harus mengantar ibunya ke rumah sakit padaku. Tak seutuhnya berbohong ku rasa, karena di meja itu pun ku lihat ibu dan kakak perempuannya turut serta menyantap nikmatnya menu Thailand dengan gurauan-gurauan hangat. Salah ku juga, sudah sangat tahu bahwa ibu Revan tidak pernah menyetujui hubungan kami, tapi, berbekal cerita drama Korea, aku tetap saja bersikeras dan beginilah akhirnya. Keesokannya, kami putus. Aku yang meminta putus tentunya. Tapi, jawaban Revan membuatku sangat bersyukur telah memilih untuk mengakhiri hubungan kami segera, "Syukur akhirnya kamu memutuskan untuk kita berpisah. Sebenarnya, aku sudah lama ingin meminta kita putus, tapi, aku tak mau mengganggu Tugas Akhir mu, juga sifat keras dan nekadmu, membuatku urung. Oya, aku dan Ayu akan bertunangan bulan depan, sebelum acara wisuda kita." Dengan tidak hadirnya aku ke acara wisuda itu, artinya aku tak perlu melihat lelaki plin-plan tak berhati itu datang dengan balutan toga dan menggandeng wanita berparas anggun tapi menusuk, Ayu. Karena Ayu adalah temanku dan Revan saat kami SMA dulu. 

***
"Segar yaa udaranya. Senyum dong Luuun, tuh lihat pemandangannya juga indah kan. Hal langka lho yang kayak gini di Jakarta. Bisa me-refresh pikiran juga. Bagus buat memulai lembaran baru, ya kan?" Buyar lamunanku saat mama tiba-tiba hadir dan kembali memberikan petuahnya di pagi ini. Aku hanya bisa tersenyum dengan terpaksa, kemudian melanjutkan lamunan tertundaku. Sebenarnya, aku juga tidak tahu apa yang sedang ku lamunkan. Hanya saja, mungkin efek dari udara yang segar dan asri ini, sangat nikmat menenggelamkan pikiran sendiri dan menyelaminya. 

"Luna, nanti anter mama ke rumah Kepala Desa ya. Ada beberapa dokumen kepindahan yang kurang kemarin. Sekalian mama juga mau ngenalin kamu sama bapak dan ibu Kadesnya. Denger-denger sih dia punya anak seumuran kamu, sudah lulus juga katanya. Siapa tahu kalian bisa akrab." 

Aduh, ayolah, aku bukan anak SD yang harus dibantu untuk memulai pergaulan. Kenapa sih mama ini? 

"Nah, beres dari rumah Kades kita makan mie ayam deket situ, enak banget, kemarin mama dan papa nyoba."

Sogokan mie ayam, baiklah. Mana bisa ku tolak. Aku yang penggila segala panganan berbahan dasar mie ini bisa apa diberi tawaran seperti itu. Terutama mie ayam. 

***
"Oya, ini anak saya bu, Aluna. Kebetulan dia baru saja menyelesaikan kuliahnya, eeh langsung diboyong kemari." Kulempar senyum tertulus, yang aku bisa. Tidak cukup pandai aku dalam berbasa-basi, dan jurus andalanku selalu tersenyum, mungkin juga menjadi jurus jitu orang-orang di luar sana yang senasib denganku.

"Eh. Oh. Iya, selamat datang di desa kami neng Aluna. Mudah-mudahan betah ya." Ku tangkap ekspresi kekagetan di raut wajah yang tenang itu, jelas tak lihai menutupi. "Oh, sebentar sebentar, Restu, sini sebentar, nak." Upaya menutupi kekagetan dengan mengalihkan bahan pembicaraan. Restu, aku rasa dia memanggil anaknya, yang kata mama, seusia aku. Tak lama, seorang gadis manis, sepantar denganku, keluar dari balik tirai pintu dengan menggunakan daster sederhana berwarna hijau lumut dan terpasang juga apron memasak dengan motif bunga cantik, meski sudah agak memudar warnanya. 

"Arini?!" Kata pertama yang terucap, disertai sedikit hentakan, tepat setelah mata bulatnya menangkap tatapan mataku. Aku yang tersenyum pun terkaget, menarik kembali senyumku dengan bingung. Sekitar dua menit, sebelum akhirnya dia kembali membumi, dan menyodorkan tangannya, "Aduh, maaf ya. Eh, saya Restu. Boleh panggil Etu. Teteh siapa namanya?" Canggung. Kental sekali terasa. "Saya Aluna, panggil Luna. Hm, sepertinya kita seumuran ya, enggak usah panggil "teteh" deh, cukup panggil nama aja ya." Ku sambut uluran tangannya, kecanggungan sedikit mereda.

"Ma, tadi sadar enggak Etu nyebut nama Arini? Siapa ya dia? Kepo enggak sih, ma?" Jiwa keingintahuanku tak terbendung, teringat mimik wajah Etu yang sangat terkejut saat menyebut nama asing itu. "Mungkin temannya, mirip kamu, bisa jadi kan? Sudah biarkan saja!" Dan kami lanjut menikmati hangatnya mie ayam di kedai dekat rumah pak Kades, tak lama setelah mangkuk kami bersih meninggalkan sedikit noda kuah yang sudah sulit diseruput, kami kembali ke rumah.

***
"Aku mohon, jangan..... Biarkan aku...." Hanya lirihan yang mampu terlontar di antara gemeletuk gigi dan bibir yang bergetar. "Lepaskan aku.. tolong.. biarkan aku bebas..." Kemudian hanya cekitan benda tajam menyentuh kulitku, diikuti suara hentakan tubuhku mengenai bidang keras lain yang terdengar, dan hening. Saat itu hujan rintik-rintik, tanpa matahari yang berusaha menyembul di balik awan. Senja mengantarkan kesenyapan kian dalam. Hingga jangrik pun enggan memadukan suara, kala itu.

***
Aku tak bisa terus seperti ini. Kenyataan bahwa di sinilah aku berada, tak bisa ku elak. Benar apa yang mama bilang, aku bisa memulai lembaran baru di sini. Mungkin terlalu dini untuk menilai, tetapi suasana yang sangat desa bukan menjadi ukuran suatu kenyamanan dalam menata hidup baru. 

Aku bersiap, ku kenakan celana panjang training juga sweater olahraga berwarna senada, biru dongker, untuk menemaniku berkeliling desa pagi ini. Seraya lari pagi, aku akan mencoba menemukan nyamanku di sini, setidaknya aku akan memulai. 

Ada tatapan aneh di setiap penghuni yang berpapasan denganku. Kaget, bingung, terkejut, takut? Seperti itulah kira-kira yang ku tangkap. Tapi, kenapa? Ku pikir aku sudah menyunggingkan wajah ramah yang ku bisa, dengan senyum yang, walau sedikit ku paksakan, tapi masih ada ketulusan di dalamnya. Ingat, aku benar-benar ingin memulai hubungan baik dengan lingkungan baru. Dan aku sangat mengazamkan niat itu dengan sungguh-sungguh.

"Jogging? Sendiri?" Lamunanku terbuyar saat dayuan suara terdengar seperti tepat di telingaku. Agak kaget, bisa ku pastikan. "Ohh, eh, iya. Sorry, aku melamun kayaknya." Menengok ku berusaha melihat si empunya suara mendayu tersebut. Terkaget untuk masa ke-dua, siapa lelaki asing ini? Wajahnya seperti familliar, tapi aku tidak cukup yakin, cenderung sulit mengingat. "Kita pernah ketemu sebelumnya?" Memastikan. "Hmm, ini kali pertama aku ketemu kamu, aku rasa. Mengingatkan pada seseorang?" Tanyanya dengan ekspresi ramah namun datar, ah entah deskripsi macam apa yang tepat untuk itu. "Hmm, aku juga enggak yakin sih. Ah sudahlah, maaf ya." Dia tersenyum dan menyodorkan tangan kanannya, "Aku Galuh." "Aluna." Sodoran tangan bersambut. 

***
"Kamu cantik, tetapi bukan itu daya tarikmu. Kamu kuat dan menarik, tepatnya seperti itu. Alasan pasti ku ingin menikahimu." Di tepi danau yang tenang kau berusaha mengikat cinta. Teringat baik dalam benak. "Menikah?" Ada rasa haru dan bahagia, juga pilu. "Tapi....." "Aku tak peduli, kita akan menikah, kita akan bersatu, tanpa tapi, akan ku usahakan demi desiran darahku. Tolong diingat, ini janji seorang pria, aku akan menepatinya."

***
Dua pekan beranjak sejak terakhir kali ku bertemu lelaki itu, Galuh. Hampir setiap hari aku berkeliling untuk olah raga pagi atau sore sambil sesekali mencarinya, eh, entah mengapa, aku hanya penasaran dengan sosok itu. Bahasa muka yang sulit ku artikan, senyum yang terlalu tiba-tiba tersungging dan lenyap, suara yang terlalu mendayu, seperti tiupan angin yang melewati daun telingaku, ya, seperti itu. Juga, wajah, bukan tipikal wajah penduduk asli sekitar, aku pikir. Sangat berbeda. Namun, rasa pemasaran hanya mampu ku tepis, tak pernah sekali pun ku temuinya. "Ahh, bener kan, dia pasti cuman pendatang yang berkunjung ke desa ini, benar feeling-ku."

Sore ini ku coba susuri arah barat dari tempat tinggalku. Di antara arah memungkinkan untuk ku telusuri, arah barat ini yang memang ku jadikan pilihan terakhir. Kenapa? Karena akan berujung pada danau berawa yang sepi. Bukan alasan sepi yang membuatku urung, tetapi danau? Ahh, sungguh bukan tempat favoritku. Ku bayangkan nyamuk dan serangga-serangga lainnya dengan bebas membangun koloni di sana, dan semua tahu, aku sangat tidak bersahabat dengan makhluk-makhluk berkaki enam itu.

Seperti perkataan warga sekitar, arah danau ini sangat sepi. Hanya sesekali orang berpapasan denganku, itu pun, lagi-lagi, menatapku dengan aneh. Aku tak bisa menafsirkan bentuk keanehan apalagi yang aku perbuat; wajahku atau arah tujuanku? Atau kah keduanya? Aku hanya bisa berasumsi, yang kemudian ku "masa bodo"-kan. 

Jalan menuju danau berupa jalan tanah sedikit berbatu yang kian lama kian mengerucut. Semakin sempit hingga meninggalkan setapak dengan ilalang di kanan-kirinya. Beberapa kali ku ambil gambar dengan kamera peninggalan Revan, satu-satunya pemberian dia yang masih ku pertahankan. Terus menikmati suasana dan pemandangan, tak terasa telah membawaku pada bibir setapak, dan terhamparlah di hadapanku, hijaunya danau yang tanpa riak meski angin sesekali berhembus. 

Waaaaah, ini luar biasa, pemandangan ini sangat sepadan dengan, mungkin, hadirnya beberapa makhluk penghisap darah kecil yang siap menyerbuku. Aku terpana sesaat, danau ini menghipnotisku. Namun, seketika keterpanaan berubah keterperanjatan. Tepat di sisi ujung danau, terdapat pohon yang sangat rindang menyerupai pohon ketapang. Besar sekali dan tinggi. Di bawah pohon tersebut berdiri sesosok lelaki. Menatap air danau dengan pancaran mata yang kosong, tanpa kedip. "Galuh?!" Hanya terlontar dalam hati teriakan itu. Tetapi, serta merta wajahnya berbalik menatapku, seolah dia mampu mendengar teriakan dalam batinku. "Ahh, aku tahu kamu pasti datang ke sini." Senyum itu lagi, senyum tiga detik yang kemudian bias kembali dengan mimik misteriusnya.

Galuh melambaikan tangan, memberi isyarat untuk mendekat. Aku bukan perempuan yang mudah percaya pada orang asing, tapi, seperti danau ini, Galuh pun menghipnotisku, yang bukan benar-benar hipnotis pastinya. Ku dekati pohon besar itu, di sanalah dia tetap berdiri di tempat yang sama, dan di sinilah aku, ya benar, aku, menghampirinya. Seperti bukan diriku. "Akhirnya sampai ya ke sini." Aku bingung. Bukan tanpa alasan, dia seperti sedang menungguku di sini, selama ini. "Aku tahu kamu pasti datang, pasti. Terima kasih." Senyum ter-renyah dari bibir tipisnya. "Aku? Kamu nunggu aku? Tapi, gimana kamu bisa tahu kalau aku pasti ke sini?" Senyum itu kini lenyap seketika, beberapa detik matanya memicing, senyum itupun kembali. "Karena aku memegang janjiku." 

***
"Tatap gundukan tanah itu, ku mohon. Kita terlalu berbeda. Dimensi yang tak mungkin terbaurkan hanya dengan kekuatan makhluk saja." Tangisan itu penuh isak. Tak tertahankan. Membuat siapapun yang mendengarnya turut merasakan betapa pilunya rasa yang membuncah. "Galuh, aku hidup, tetapi hanya dalam bayangmu. Dan kau tahu akan hal itu. Sangat tahu." Lelaki berparas tampan dengan tubuh tinggi kekarpun hanya bisa bersimpuh dengan kedua tangan menutup matanya, meredam lengkingan penuh luka. Menyayat, tak mampu disembunyikan. "Aku pernah hidup, Galuh. Dulu, jauh di masa bahkan kau pun belum terlahir di dunia. Tapi kini, aku tak lebih hanya fatamorgana, yang hanya terlihat sementara saat ilusimu menguasai pikiranmu." 

***
"Emm, aku agak bingung sejujurnya. Kamu seolah tahu banyak tentang aku. Kamu datang, hadir, dengan tiba-tiba, penuh kejutan, juga kata-kata membingungkan. Bisa kamu jelaskan apa maksud dari semua ini?"

"Arini, aku jelas akan tahu banyak tentangmu. Bertahun-tahun, di bawah pohon ini, aku selalu menunggumu. Seperti janji pria sejati, aku akan melakukan apapun untuk bisa memegang teguh janjiku."

"Tunggu, Galuh, sebentar. Siapa tadi yang kamu panggil? Arini? Hehe, kamu pasti salah orang, seperti para warga aneh di desa itu. Aku ALUNA, bukan Arini. Dan berhenti membuat aku seperti tidak mengenali diriku sendiri!" Ada amarah, ada gusar, ada pitam, ada bingung. Apakah aku yang salah dengan persepsi atas diriku sendiri? Apa mungkin?

"Kau tetap Ariniku, dengan berbalut nama apapun, kau adalah Arini yang telah ku ikat janji seumurhidupku denganmu. Setelah penantian panjang, aku tahu akan ada saatnya kau kembali. Ini waktu kita. Tak akan terpisahkan lagi. Bukan begitu, sayang?" 

Galuh mendekat, tetapi aku merasa dilema. Sisi diriku ingin menyambutnya, tanpa tahu dorongan apa itu. Namun, sisi lainnya memperingatkanku untuk menjauh. "Berlarilah! Menjauh dari lelaki itu! Sekarang!" Perintah hati kecilku. Kaki ku melangkah mundur, berlawanan dengan langkah dia yang kian mendekat. Aku ingin memeluknya, ohh tapi kenapa? Tidak, aku harus pergi. Lelaki ini sakit, dia bisa saja membahayakanku. Aku berbalik, memaksa tubuhku untuk menolak daya magnetik yang dia hadirkan. Bagus, Aluna, sekarang saatnya! Setapak itu telah terlihat, lari!

Kabut mulai turun menemani suasana senja yang kian kental. Lembab. Aku terus berlari, aku rasa aku menelusuri jalan yang tepat, tapi mengapa tak juga membawaku pada tujuan? Seolah hanya berlari di tempat, lelah, ilalang menjadi pemandangam terdekatku. Aku percepat langkahku, seperti tak bergerak, padahal nafasku kian memburu. Terjerembabku, menghantam tanah yang lembab oleh kabut senja. Kapan aku kan sampai pada titik tujuku?

***
"Ma, tolong aku. Lelaki gila itu mengejarku, ma. Bebaskan aku ma, aku enggak mau di sini! Lepaskan aku! Lelaki itu sakit, dia akan mencelakaiku!" 

Ada air mata di sana. Tangis berisi keputusasaan yang mendalam. Berkali-kali sosok wanita menuju paruh baya itu membuka dan mengatupkan bibirnya, hendak berkata, namun, kembali tenggelam dalam isakannya.

"Sayang, mama mohon sudah ya, nak. Kasihani mamamu ini. Sudah hampir dua bulan melihatmu seperti ini, hati mama hancur, sayang. Tolong, sudahi yaa. Mama sayang Aluna, mama di sini menunggu Aluna untuk sembuh dan bisa kembali bersama. Lupakan lelaki itu, sayang! Revan bukan lelaki baik untukmu." Tangis nyata pun pecah, klimaks rasa pun akhirnya meruah. Hati seorang ibu yang tersayat oleh pisau kasat mata, melihat anaknya dibaringkan di atas dipan penuh ikatan di kedua tangan dan kakinya. 

"RUANG ISOLASI"
"Area Terbatas"

Tubuh mungil itu berada di sana, dengan seragam putih bertalinya. Penjara, berpasung, semakin meronta maka semakin pasung itu terpasang kuat. Teriakannya yang mengisi seisi ruangan, lambat laun mengilang, seiring suntikan penenang yang diberikan oleh petugas. Tubuhnya menghentak dipan yang sangat jauh kondisinya dari peraduannya di rumah, lalu tertidur, dengan sisa tetesan air mata jatuh membasahi bantal bersarung putih. 

Wanita menuju paruh baya hanya bisa melepaskan segala yang menjerat perasaanya pada pundak lelaki di sebelahnya, om Septian, kekasih barunya. "Aku juga menjadi salah satu penyebab semua ini." Lirihnya. Om Septian hanya termenung. 

Sejak Revan, lelaki yang berniat melamarnya selepas kelulusan, memilih untuk mempersunting wanita lain secara diam-diam, yang tak lain adalah sahabat masa kecilnya, membawa tekanan tersendiri bagi Aluna, yang saat itu, sedang berjuang pula dengan segala Tugas Akhir dan Skripsinya. "Apakah aku tak cukup baik untuk dia dan ibunya?" Itu yang selalu ditulis dalam buku hariannya. Aluna sangat kecewa. Terlebih, di tengah kegundahan hatinya, mamanya, sebagai satu-satunya orang tua yang merangkap sebagai papanya selama ini, mulai menjalin hubungan dengan seorang lelaki bernama om Septian. Waktu mamanya telah sangat tersita oleh pekerjaan, Aluna mencoba memaklumi, itu semua demi menghidupinya bukan? Dengan kehadiran om Septian, seakan tak ada sama sekali waktu untuk Aluna yang sedang "terpuruk". Aluna merasa benar-benar sendiri di saat membutuhkan banyak dukungan. 

Di situlah semua bermula, segala bentuk halusinasi mulai teraba. Aluna seperti hidup di dua alam yang sulit diselami bahkan oleh orang terdekat. Puncaknya saat dia mulai sering bercakap seolah dirinya adalah Arini. Entah dari mana nama itu berasal. Di dapur, di ruang tamu, ruang makan, kamar, kampusnya sangat saru dengan perannya sebagai Aluna. Saat ini mungkin dia sebagai Aluna, berbincang dengan normalnya bersama mama atau temannya, pada saat lain tetiba dia menyeolahkan dirinya adalah Arini yang terjerat oleh cinta seseorang bernama Galuh, yang juga entah siapa.

Sekarang, Rumah Sakit Jiwa Bogor ini lah rumah utama baginya, selama kurang lebih dua bulan berjalan. Wanita menuju paruh baya merasa sangat menyesal dan tak bisa berbuat apa-apa. Sempat menyalahkan diri dan menyudahi hubungannya dengan lelaki bernama Septian itu, tetapi, di tengah tekanan psikis saat ini, ia pun sangat membutuhkannya. Sudah terlalu lama ia menjadi wanita "berusaha kuat" dengan peran gandanya, sebagai ibu juga ayah bagi Aluna. Tiga belas tahun, ya, sejak lelaki yang disebut sebagai suaminya saat itu, pergi meninggalkannya dan juga Aluna kecil, demi wanita lain. 

Undangan berwarna kuning muda dengan pita emas berada di genggaman wanita menuju paruh baya. Tertulis cantik di muka, "Resmayu Aliandra & Revan Geovani". Ada yang membara dalam relung terdalam. Sebagai ibu korban dari kisah percintaan tragis ini, tak terelakkan amarah yang sulit dibendung. Tapi bisa apa? Aluna sudah berada di sana. Dengan kondisinya, yang kadang sadar kadang tidak, akan keberadaan mamanya. Melangkah mendekati keranjang sampah, dihempaskannya undangan cantik kuning muda berpita emas ke dalamnya, seperti hempasan emosi jiwa yang sulit terkatakan.

Hanya waktu yang kan menjawab akhir dari semua cerita benang kusut ini. Semoga semuanya baik, menjadi baik, membawa kebaikan, terutama bagi Aluna dan sisi ruang hatinya yang kosong menghilang.

4 comments: