Sunday, August 2, 2020

Di Balik Amarahmu

وَ إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ

Jika salah seorang di antara kalian marah, diamlah.” (HR. Ahmad, 1: 239. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan lighairihi).

Hadits nabi tersebut sangat cocok dengan pengalaman saya hari ini.

Singkat cerita, saya memiliki keperluan mendesak sehingga harus bermalam di hotel, meskipun masih di kawasan Bandung. Serba mendadak. Jam check-in hotel pukul 14.00, sedangkan pukul 11.30 saya baru saja tiba di rumah. Kebetulan sejak hari Jumat saya, suami dan Anis melewati hari raya Idul Adha di mertua. 

Paginya, sekitar pukul 9.00-an, saya diberi kabar tentang bermalam di hotel tersebut. Jadi, sesaat sampai rumah, saya langsung re-packing tas, kemudian berangkat ke sebuah hotel bintang empat di daerah Dago. Karena masih agak lama ke waktu check-in dan juga kami sudah lumayan lapar, akhirnya kami pun makan siang dulu sebelum menuju hotel. 

Sekitar pukul 14.29 kami tiba di hotel dan langsung saja check-in. Antrian cukup panjang di meja receptionist saat itu, entah untuk tamu yang baru saja datang atau yang hendak check-out. Tiba giliran suami saya mengurus proses pemesanan dua kamar yang telah di-book sebelumnya lewat aplikasi dan juga sudah konfirmasi lewat telepon.  Saya pikir kamar sudah siap karena kedatangan kami pun lumayan telat. Ternyata, petugas mengatakan bahwa kamar belum siap, banyak tamu dan banyak yang telat check-out katanya. Kami pun akhirnya menunggu di sofa yang tersedia.

Lima belas menit. Setengah jam. Kamar yang kami pesan belum tersedia juga. Ketika kami tanyakan, pihak hotel lagi-lagi bilang sedang dibereskan. Okay, kami masih menunggu. Tetapi, saya yang saat itu hendak bermalam dengan orang tua, mereka mulai mengeluh tentang lamanya proses check-in, padahal mereka sudah sangat lelah setelah perjalanan antar kota. 

Akhirnya, saya pun bertanya kepada pihak hotel kembali. Kali ini mereka menjawab, sedang dilakukan prosedural pencegahan Covid-19 di kamar tersebut. Hmm, setelah hampir satu jam menunggu? Dan satu setengah jam meleset dari waktu check-in yang dijanjikan? Baik, saya tetap beri waktu. 

Tepat satu jam kami menunggu di lobi. Bahkan, kami melihat ada beberapa orang yang memesan kamar dan langsung dapat. Ditambah kondisi orang tua dan anak saya yang mulai tidak nyaman. Saya pun kembali mendatangi pihak penerima tamu dan menanyakan tentang apa kendala sebenarnya. Mereka tetap bilang sedang dilakukan prosedural pencegahan Covid-19 karena sekarang kondisinya agak berbeda. Saya pun menanyakan, apa karena kami memesan kamar yang terfasilitasi connecting door? Mereka menjawab, iya. Kamar dengan connecting door agak telat dikosongkan, dan ditambah ritual pencegahan Covid-19 saat penyiapan, maka waktu yang dibutuhkan pun lebih banyak. Saya lalu tanya lagi mengenai kamar tanpa connecting door, apa bisa tersedia sekarang. Petugas tetap membelit-belit yang intinya kami harus tetap menunggu.

Akhirnya, dengan nada agak sedikit tegas, saya pun bilang pada petugas tersebut, "Okey, mas. Anggaplah waktu check-out tamu jam 12.00, kemudian telat hingga jam 13.00, dari jam tersebut sampe sekarang sudah 1.5 jam lebih, lho, mas! Saya bukan di sini saja menginap saat pandemi, tapi hotel-hotel sebelumnya tetap bisa profesional, kok. Kalau saya cuman sendiri, ga masalah mas. Saya ini bawa orang tua dan anak kecil, kasian mereka. Jadi, kira-kira berapa lama lagi saya bisa nunggu?" 

Mereka meminta maaf dan menjawab sekitar 10 menitan lagi. Saya kembali menegaskan, bahwa saya akan menunggu maksimal 10 menit dan tidak lebih. Setelah sekitar lima menitan menunggu dari saat itu, akhirnya kami pun mendapat kamar. Saya tetap berterimakasih kepada petugas yang memberi saya kunci, petugas wanita, bukan petugas lelaki sebelumnya yang kebetulan sedang melayani tamu lain. Kemudian, saya dan keluarga menuju kamar kami masing-masing.

Sesampainya di kamar saya merasa tidak tenang. Saya merasa bersalah telah berkata tegas kepada petugas pria di lobi tadi. Walaupun saya sudah berterimakasih pada petugas wanita dan juga meminta maaf padanya, tetap saja saya masih ada sangkutan rasa bersalah pada petugas pria, karena padanya saya agak beradu-argumen. Memang, telat check-in yang terlalu lama pun tidak bisa dibenarkan. Namun, luapan kekesalan tetap saja meninggalkan penyesalan di bagian kecil hati kita, bukan? 

Akhirnya, saya turun kembali ke lobi untuk menemui petugas tersebut. 

"Mas, permisi. Personally saya mau minta maaf ya tadi kalau sampai menyinggung. Maaf ya mas, terima kasih." 

Saat petugas itu tersenyum dan berkata "Iya, tidak apa-apa, mbak. Saya pun minta maaf ya." Ada kelegaan yang dirasakan, menghapus ketidaktenangan yang hadir sebagai buah dari emosi kekesalan. Benar sekali apa kata hadits di awal, diam lebih baik saat sedang diliputi amarah. Karena, amarah akan meninggalkan penyesalan dan kegelisahan di jiwa. Sungguh pelajaran bagi saya.

No comments:

Post a Comment