Thursday, April 2, 2020

Yang Hidup Kembali (Kesempatan Kedua)


Kutemukan dia kering, tak bersisa banyak hijaunya, menyoklat dan tandus. Tak ditemukan tanda kehidupan padanya, mungkin dia dehidrasi, tapi sebentar, ku lihat tanahnya lembab, tanda adanya interaksi alamiah atas air yang bertemu kedahagaan. Namun, hanya tanah serta beberapa cacing yang juga mulai prihatin di dalamnya. Saat itu, 2 minggu yang lalu.

Tak dapat kusimpulkan tentang apa yang terjadi selama kepergianku. Ya, tak lama, hanya 2 minggu. Mengunjungi ibunda di bagian lain dari sisi provinsi ini. Selalu banyak hal yang dipikirkan ketika harus meninggalkan jannah-ku, yup, baitii jannatii, rumahku surgaku, berpuluh-puluh pikiran ketika harus jauh sementara dari rumahku. Pastinya berdasar dan beralasan. Suami tercinta yang selalu sibuk dengan pekerjaan, terkadang menyisipkan sedikit kecerobohan di luar hal lainnya. Lupa menutup rapat jendela, lupa memasukkan handuk-handuk, lupa membuang sampah, lupa mematikan lampu-lampu, bahkan pernah terjadi, lupa mengunci pintu rumah saat harus meninggalkannya. Lalu bagaimana dengan pesan-pesan remah lain seperti : menyiram tanaman? Ahh aku selalu pasrah. Meski telah kuingatkan, terkadang dia merasa "sudah" tetapi nyatanya selalu saja habis tak bersisa para penghuni pot-pot itu setelahnya. Tentu aku tak menyalahkan, mungkin dia terlalu lelah dengan pekerjaan dan tugas-tugas sementara mengenai rumah. Biarlah, kondisi dan keadaan kuserahkan pada waktu. Dan terjadilah, kali ini agak menyedihkan bagiku, dia pohon mint yang selalu kujaga-jaga, karena aku selalu butuh daunnya untuk minuman favorit, kini mati semati-matinya.

Hal pertama ketika melihatnya, menghela nafas panjang dan menghembuskannya dengan berat. "Yaaah, mati deh.", sedikit kesah yang tersirat dalam hati dan pikiran saja. Kupegang sisa daun yang telah berserak di tanahnya, kering, mengkriuk. Ku bereskan satu persatu guguran daun-daunnya di antara liukan batang rambat yang juga tak kalah kering dan mengkerut. Tanah yang sudah memadat, seperti terus terkena tekanan air tanpa lupa digemburkan, kugemburkan dengan sekop kecil andalan. Aku tak harap banyak, tetapi jika masih ada cacing mampu hidup di dalamnya, ku asumsikan bahwa masih ada kehidupan, walau hanya sedikit, di bawah tanah sana. Akar, aku berharap, masih meninggalkan persentase kecil kehidupan bersama alam bawah dan ekosistemnya, untuk mungkin bisa sedikit kuperjuangkan.

Kuberi air basuhan beras untuk menyiramnya, setelah kubabat habis bagian yang nampak di permukaan tanahnya. Pot itu seperti tanpa isi. Hanya tanah yang terlihat, serta secercah harap pemiliknya. Dengan terus disiram, disiram, setiap hari, pun sedikit dilantunkan doa bersama tetesan-tetesan air yang terserap, menelusuri rongga tanah, mencari jalan kemana arah yang menariknya.

Bergulir, beberapa malam yang berganti siang. Tak ada yang berubah, tetap dengan siraman dan harap. Membawa pada ketakjuban. Masih teringat, tepat hari ke-lima. Ada yang mencuat di sana. Tanah tak lagi sebegitu rata. Ohh, kehidupan mulai nyata. Calon batang jalar yang mengintip malu-malu tertangkap indera penglihatku. Berjalan hari ke-enam, tujuh, delapan, seterusnya hingga memanjang dan semakin menjalar, diiringi pucuk-pucuk daun mungil dengan harum khasnya yang mulai menampakkan pesona. Bersama hari, batang jalar semakin kaya dan merambah sudut-sudut pot hitam itu. Sementara daun? Hijau, segar, melebar, bergerombol mulai merekah,  masyaAllah luar biasa. Kehidupan yang sempat terlihat hilang itu ternyata ada. Dia tertanam, seperti menguji pecintanya, untuk terus lajukan doa, harap, dengan semaian usaha penuh ketulusan. Kini dia telah membuktikan akan kesempatan kedua. Dan kupetik dengan senyum bahagia, kutuang dalam gelas teh siang tadi, setelah 2 minggu menanti. 

Hai kamu, terima kasih sudah kembali 💚

No comments:

Post a Comment