Friday, February 26, 2021

ADAB BERSAMPAH

 

Picture by pinterest

Bismillaah.

Usianya kuterka di atas paruh baya. Mungkin sekitar 60 menuju 70-an. Bukan usia muda kukira. Namun, dua hari sekali, sekitar pukul 6 pagi, bahkan kadang lebih dini, selalu kudapati beliau dengan penuh semangat berkeliling mengakomodasi sampah-sampah rumah tangga di komplek perumahan kami. Memanglah menggunakan triseda (motor beroda tiga). Namun, kurasa, tetaplah bukan pekerjaan mudah. Apalagi mengingat usianya yang kupikir sangat rentan dengan penyakit yang mungkin saja dihasilkan oleh objek pekerjaannya.

Lain cerita, di tempat tinggalku sebelumnya. Seorang bapak yang jelas tak juga muda. Setidaknya sekitar setengah abad memang usianya. Beliau berjalan agak pincang. Salah satu kakinya mengecil, mungkin polio, atau penyakit lainnya? Entahlah. Juga, beliau adalah seorang yang agak keterbelakangan mental. Sangat mudah menebak dari caranya berbicara dan menatap. Namun, tiga hari sekali beliau berkeliling di area tempat tinggal kami. Dengan kaki yang kurang sempurna, ia menarik gerobak berwarna kuning, yang selalu penuh dengan gundukan-gundukan dengan bau menyengat. Satu yang selalu kuingat, senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya setiap kali kami berpapasan. Bahkan, Anis tak jarang ia sapa, hingga akhirnya lama-lama Anis pun selalu menyapa dan mengingat bapak itu jika kami sedang melewati tempat tinggal kami yang lama.

Keduanya sama. Pahlawan sampah. Tanpa mereka, aku tak yakin sanitasi dan kenyamanan tempat tinggalku akan semudah ini tercipta. Mungkin, kami harus rela pergi ke tempat pembuangan sampah akhir terdekat demi terbebasnya bau busuk di lingkungan juga kehidupan yang lebih sehat. Sangat tidak praktis.

Betapa kita semua, terutama aku pribadi, sangat membutuhkan eksistensinya.

Aku pikir, rasa “saling” pun harus diciptakan. Bagaimana aku membutuhkan jasanya, dan sebagai timbal balik, aku pun memikirkan bagaimana cara meminimalisir resiko kerja mereka. Sesederhana itu.

Tak banyak yang bisa dilakukan. Belum mampu untukku mendaftarkan polis asuransi kesehatan bagi mereka, para pahlawan sampah ini. Membantu mereka mengkoordinir sampah-sampah sekitar (setidaknya satu komplek, misalnya), agar mereka tak perlu berkeliling ke setiap rumah di dalamnya, aku pun belum sanggup.

Sehingga, aku hanya bisa membiasakan diri, di lingkungan keluarga kecilku, untuk menerapkan “ADAB BERSAMPAH”.

Terdengar berat, tetapi kenyataannya, yang kulakukan hanyalah hal sederhana yang setidaknya bisa sedikit mengurangi resiko kerja mereka :

1.      Memilah antara sampah kardus, kemasan plastik, minyak jelantah, dengan sampah umum. Meskipun belum bisa menerapkan sistem klasifikasi sampah yang teoritis, tetapi cara ini cukup membuat sampah terlihat lebih rapi dan mudah dalam penangannya. Sering aku perhatikan, para pahlawan sampah itu memisahkan plastik dan kardus dari sampah lainnya. Mungkin untuk dijual atau dilakukan penatalaksanaan khusus, aku pun tak tahu pasti. But, this simple action seemed a lot for him, actually.

2.     Selalu menyetorkan sampah dalam keadaan rapi. Mungkin didasarkan pada ke-perfeksionis-an aku pribadi yang tidak suka melihat sesuatu yang berantakan, apalagi menjijikkan. Maka, aku selalu membungkus sampah dengan kantong yang proper. Tidak selalu membeli plastik khusus sampah, tetapi setidaknya kantong yang digunakan tidak bocor dan compang-camping, yang membuat isinya mudah buyar, dan selalu terikat kuat. Jika satu kantong terlalu penuh hingga sulit untuk diikat, aku memilih untuk membaginya ke kantong lain sebelum dimasukkan ke tempat sampah depan rumah. Hal sepele, tetapi ternyata memudahkan penggiat sampah dalam pengumpulannya. Mereka tak perlu repot-repot mengangkat tong sampah yang besar dan berat untuk ditumpahkan ke gerobaknya, cukup mengambil kantong-kantong yang sudah rapi di dalamnya saja.

3.     Memberi label sampah buangan khusus. Misalnya, sampah berisi pecahan kaca akan dibungkus terpisah dengan penanganan agak berbeda, juga dilabeli. Aku biasa memasukkan pecahan kaca ke kain bekas (baju bekas atau lap yang sudah tak layak pakai), dibuntel hingga memiliki resiko lebih kecil untuk tembus, lalu dimasukkan plastik tebal, dan diberi tulisan besar “AWAS PECAHAN KACA”. Kebiasaan ini mulai dilakukan sejak beberapa tahun lalu, saat aku merapikan tempat sampah di rumah orang tua, yang ternyata ada bekas pecahan gelas, dan akhirnya melukai tangan. Dari situ aku berpikir, “Wah, sampah ini di tempat pembuangan juga bisa melukai orang, dong? Harus diapakan ya?”. Melabeli adalah langkah mudah dan sederhana yang terpikirkan olehku saat itu dan masih diterapkan hingga kini.

4.     Membiasakan untuk selalu membuang sampah pada tempatnya!!

5.     Menghormati mereka, para pahlawan sampah, sebagai orang yang memiliki andil dan fungsi besar bagi lingkungan. Tak perlu membuat plakat terima kasih atau sanjungan berlebihan. Cukup memberi sedikit makanan yang kita punya sesekali, mengucapkan terima kasih saat mereka sedang mengangkut sampah kita dan kita sedang berada di situ juga, atau setidaknya memberi senyuman dan sapaan saat berpapasan. Aksi yang bisa membuat mereka merasa dianggap ada dan setara, bukan justru mencemooh bau pekerjaannya di hadapan mereka. “Ih, bau banget sih ini!” tepat saat mereka melintas. Hehe, hayoo siapa yang masih suka ‘keceplosan’ begitu? Hihihi.




2 comments:

  1. Rajin, dan rapi banget sampahnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihi sebenarnya untuk memudahkan saya juga Bunda, pas buang dan beresinnya ;D makasih sudah mampir :)

      Delete