Picture by Pinterest |
Beberapa hari lalu, saya sempat menyimak suatu obrolan santai sebagai konten dari sebuah channel di YouTube. Kebetulan, channel tersebut lumayan sering saya ikuti karena pembahasan yang menarik dan enak dalam penyajiannya mengenai dunia psikologi. Yup, benar, pemilik akun YouTube tersebut pun adalah seorang psikolog yang memang memiliki praktik konsultasi sendiri dan cukup popular di Indonesia.
Unggahan
saat itu lebih menarik lagi perhatian saya. Pasalnya, Bu Psikolog tersebut
melakukan kolaborasi dengan seorang content
creator yang notabene salah satu favorit saya juga. Wow, what a duet!
Belum
sempat melihat judul, baru melirik thumbnail dari video tersebut saja,
sudah mengotomatisasi jari ini untuk me-klik-nya dan mulai menyimak sambil
bersiap masak. Thanks technology,
membuat kegiatan emak-emak saya
lebih berisi dan bernilai meski sambil melakukan aktivitas harian.
Sapaan
psikolog cantik membuka obrolan santai di antara keduanya. Disahuti oleh sang
bintang tamu dengan tawa renyah khasnya.
Obrolan
berlangsung melalui layar. Terang saja, selain kendala pandemi, jarak pun
menjadi ketidakmungkinan mereka berdua untuk bertatap muka secara langsung.
Maklum, domisili Sang Psikolog di belahan Indonesia bagian Yogyakarta,
sedangkan tamu virtualnya menetap di Hamburg, Jerman. Miles apart, for real.
Chit-chat mulai terdengar dari pengeras
suara ponsel yang saya letakkan di phone-stand
kesayangan saya. Saling bertanya kabar, suasana masing-masing tempat,
kesibukan akhir-akhir ini, menjadi point yang
saya tangkap di antara percakapan pembuka mereka. Saya suka. Meski hanya
sebatas chit-chat, tetapi terdengar
sangat elegan. Itu lah menurut saya kelebihan dari seorang yang cerdas, akan
terpancar dari gaya komunikasinya.
Obrolan
terus mengalir, yang sedikit banyak terselip isu-isu yang sedang santer
akhir-akhir ini. Hingga terlontar satu pertanyaan yang sebenarnya masih sangat
bersinggungan dengan bahasan yang mereka sedang bicarakan sebelumnya, “Nah,
gimana tuh cara kamu ngadepin orang yang nanya : Kapan nih mau punya
anak?" Begitulah kurang lebih konteks pertanyaan yang dilontarkan oleh Sang
Psikolog kepada Sang Tamu. Kebetulan juga, bintang tamu ini adalah seorang yang
sudah menikah, dengan background pernikahan
yang tidak sederhana juga (suaminya berpindah keyakinan yang akhirnya bisa
menggiring pasangan tersebut ke jenjang pernikahan). Namun, sampai saat ini
belum pernah ada bahasan mengenai anak di setiap unggahan video di YouTube Channel-nya.
Saya
masih menikmati konten yang sedang saya dengarkan ini, sambil memotong
sayur-mayur dan sesekali melirik ke layar ponsel.
“Hmmm,
sebenernya gue sama suami emang udah sepakat untuk ngejalanin kehidupan
pernikahan yang CHILD FREE dan sampe
keputusan ini dipilih pun pastinya kita berdua sudah memikirkan matang-matang
dan juga observasi sana-sini.”
Saya
sontak menghentikan kegiatan perpisauan saya, merasa terpanggil untuk menyimak
dengan lebih fokus.
Child Free dalam suatu pernikahan bisa diartikan
dengan lebih sederhana sebagai ‘tidak berekspektasi untuk memiliki
anak/keturunan’. Gaya pernikahan seperti ini sebenarnya sudah cukup lumrah di
dunia belahan barat sana. Namun, jika itu terlontar dari ucapan seorang Indonesia,
dengan atribut reliji yang menempel padanya, yaitu hijab, membuatnya seolah
terdengar ekstrim.
Perempuan
berusia sekitar 25 tahunan itu menjelaskan bahwa memiliki anak bukanlah
satu-satunya tujuan dari pernikahan. Masih banyak tujuan pernikahan lain yang
bisa dikejar dan dilakukan.
“Dua
tahun yang lalu gue sampe nanya ke nyokap : Ma, kenapa dulu mutusin buat punya
anak? And surprisingly, jawaban mama
juga kayak : Nah, itu, mama juga ga tau. Dulu itu kirain yang namanya nikah ya
harus punya anak, begitu alurnya.”
Dari percakapan
tersebut, Sang Konten Kreator ini seperti mendapatkan penguat tambahan untuk
prinsip “ekstrim” yang dia pilih.
Saya
terus ikuti alur obrolan antara psikolog dengan perempuan muda tersebut.
Yang
membuat saya justru perpikir bahwa “Iya juga ya, sebenarnya menikah dan
memiliki anak itu kan bukan suatu paket keharusan yang bersifat mutlak.
Buktinya, bagi mereka yang tidak diberikan rezeki anak, tidak mengurangi esensi
dari pernikahan itu sendiri, kan? Bukan berarti sakinah mawaddah dan rahmah
menjadi suatu kemustahilan bagi rumah tangga mereka, kan?”
Begitu
pun dengan kesiapan. Memiliki anak itu menurut saya sangat membutuhkan kesiapan
yang matang. Anak yang dilahirkan bukan hanya sebatas harus diberi makan,
dibesarkan secara fisik, and that’s all
done. Ada kewajiban penyerta kita sebagai orang tua dengan lahirnya seorang
anak. Harus dididik, dipenuhi kebutuhan batiniah dan akalnya juga. Dan yang
lebih beratnya adalah pertanggungjawaban kita kelak kepada Allah SWT tentang
anak yang kita besarkan. Mungkin bagi kebanyakan orang hal itu terdengar
sederhana, tetapi bagi saya pribadi pun bahkan sangat berat, apalagi ketika
sudah diberi amanah untuk menjalankannya.
Memiliki
anak, begitupun dengan menikah, merupakan suatu pilihan yang sejatinya tidak
digeneralisasikan sebagai suatu kewajiban. Karena tidak bisa dipukul rata
kesiapan setiap personal mengenai keduanya. Jika dia masih melajang, untuk apa
kita sibuk ingin tahu mengapa ia melajang saat usainya tak lagi muda? Pun saat
melihat sepasang suami istri yang masih berdua saja, belum saya dapatkan fungsi
dari pertanyaan, “Kapan punya anak?” bagi kedua belah pihak, baik pihak
pasangan tersebut, atau pun pihak penanya. Lalu, untuk apa?
Saya
tidak memandang salah sang konten kreator yang memilih jalan hidup seperti itu.
Toh, itu adalah pilihan dia dan bahkan pasangannya pun menyetujuinya. Artinya,
ada suatu alasan kuat bagi mereka untuk memilih jalan tersebut.
Jika
dikatakan ekstrim, menurut saya, paradigma yang menjadikannya ekstrim atau
tidak. Kultur budaya di Indonesia yang memang memaketkan plot kehidupan manusia
secara pukul rata, membuatnya terkesan ekstrim untuk setiap fase yang tidak
sesuai dengan alur tersebut. Apalagi, ketidaksesuaian tersebut memang dibuat
secara sengaja.
Namun,
berangkat dari kisah sang konten kreator tersebut, di mana ia dan suami yang
berdomisili di Jerman, akan lebih mudah untuk menjalankannya. Terutama dalam
hal menghadapi pandangan masyarakat sekitar.
Dan
saya sendiri semakin miris dengan tingkat ke-kepo-an masyarakat kita. Terlalu
ingin banyak ikut campur dalam ranah kehidupan orang lain, dengan berkedok
peduli. Padahal, menurut hemat saya, peduli bukan dalam koridor seperti itu.
Apalagi untuk hal yang dirasa belum berbenturan dengan aturan agama dan keyakinan,
untuk apa sibuk mendikte? Betul?
Ahh,
ini hanya suara isi hati saja. Karena terkadang saya pun agak gerah dengan ‘kepedulian’
orang-orang sekitar saya, yang alih-alih perhatian, nyatanya lebih ke arah
menghakimi kemudian, duh!
No comments:
Post a Comment