Tuesday, January 26, 2021

Obrolan Santai tentang Privacy

Picture by Pinterest

Beberapa hari lalu, saya sempat menyimak suatu obrolan santai sebagai konten dari sebuah channel di YouTube. Kebetulan, channel tersebut lumayan sering saya ikuti karena pembahasan yang menarik dan enak dalam penyajiannya mengenai dunia psikologi. Yup, benar, pemilik akun YouTube tersebut pun adalah seorang psikolog yang memang memiliki praktik konsultasi sendiri dan cukup popular di Indonesia.

Unggahan saat itu lebih menarik lagi perhatian saya. Pasalnya, Bu Psikolog tersebut melakukan kolaborasi dengan seorang content creator yang notabene salah satu favorit saya juga. Wow, what a duet!

Belum sempat melihat judul,  baru melirik thumbnail dari video tersebut saja, sudah mengotomatisasi jari ini untuk me-klik-nya dan mulai menyimak sambil bersiap masak. Thanks technology, membuat kegiatan ­emak-emak saya lebih berisi dan bernilai meski sambil melakukan aktivitas harian.

Sapaan psikolog cantik membuka obrolan santai di antara keduanya. Disahuti oleh sang bintang tamu dengan tawa renyah khasnya.

Obrolan berlangsung melalui layar. Terang saja, selain kendala pandemi, jarak pun menjadi ketidakmungkinan mereka berdua untuk bertatap muka secara langsung. Maklum, domisili Sang Psikolog di belahan Indonesia bagian Yogyakarta, sedangkan tamu virtualnya menetap di Hamburg, Jerman. Miles apart, for real.

Chit-chat mulai terdengar dari pengeras suara ponsel yang saya letakkan di phone-stand kesayangan saya. Saling bertanya kabar, suasana masing-masing tempat, kesibukan akhir-akhir ini, menjadi point yang saya tangkap di antara percakapan pembuka mereka. Saya suka. Meski hanya sebatas chit-chat, tetapi terdengar sangat elegan. Itu lah menurut saya kelebihan dari seorang yang cerdas, akan terpancar dari gaya komunikasinya.

Obrolan terus mengalir, yang sedikit banyak terselip isu-isu yang sedang santer akhir-akhir ini. Hingga terlontar satu pertanyaan yang sebenarnya masih sangat bersinggungan dengan bahasan yang mereka sedang bicarakan sebelumnya, “Nah, gimana tuh cara kamu ngadepin orang yang nanya : Kapan nih mau punya anak?" Begitulah kurang lebih konteks pertanyaan yang dilontarkan oleh Sang Psikolog kepada Sang Tamu. Kebetulan juga, bintang tamu ini adalah seorang yang sudah menikah, dengan background pernikahan yang tidak sederhana juga (suaminya berpindah keyakinan yang akhirnya bisa menggiring pasangan tersebut ke jenjang pernikahan). Namun, sampai saat ini belum pernah ada bahasan mengenai anak di setiap unggahan video di YouTube Channel-nya.

Saya masih menikmati konten yang sedang saya dengarkan ini, sambil memotong sayur-mayur dan sesekali melirik ke layar ponsel.

“Hmmm, sebenernya gue sama suami emang udah sepakat untuk ngejalanin kehidupan pernikahan yang CHILD FREE dan sampe keputusan ini dipilih pun pastinya kita berdua sudah memikirkan matang-matang dan juga observasi sana-sini.”

Saya sontak menghentikan kegiatan perpisauan saya, merasa terpanggil untuk menyimak dengan lebih fokus.

Child Free dalam suatu pernikahan bisa diartikan dengan lebih sederhana sebagai ‘tidak berekspektasi untuk memiliki anak/keturunan’. Gaya pernikahan seperti ini sebenarnya sudah cukup lumrah di dunia belahan barat sana. Namun, jika itu terlontar dari ucapan seorang Indonesia, dengan atribut reliji yang menempel padanya, yaitu hijab, membuatnya seolah terdengar ekstrim.

Perempuan berusia sekitar 25 tahunan itu menjelaskan bahwa memiliki anak bukanlah satu-satunya tujuan dari pernikahan. Masih banyak tujuan pernikahan lain yang bisa dikejar dan dilakukan.

“Dua tahun yang lalu gue sampe nanya ke nyokap : Ma, kenapa dulu mutusin buat punya anak? And surprisingly, jawaban mama juga kayak : Nah, itu, mama juga ga tau. Dulu itu kirain yang namanya nikah ya harus punya anak, begitu alurnya.”

Dari percakapan tersebut, Sang Konten Kreator ini seperti mendapatkan penguat tambahan untuk prinsip “ekstrim” yang dia pilih.

Saya terus ikuti alur obrolan antara psikolog dengan perempuan muda tersebut.

Yang membuat saya justru perpikir bahwa “Iya juga ya, sebenarnya menikah dan memiliki anak itu kan bukan suatu paket keharusan yang bersifat mutlak. Buktinya, bagi mereka yang tidak diberikan rezeki anak, tidak mengurangi esensi dari pernikahan itu sendiri, kan? Bukan berarti sakinah mawaddah dan rahmah menjadi suatu kemustahilan bagi rumah tangga mereka, kan?”

Begitu pun dengan kesiapan. Memiliki anak itu menurut saya sangat membutuhkan kesiapan yang matang. Anak yang dilahirkan bukan hanya sebatas harus diberi makan, dibesarkan secara fisik, and that’s all done. Ada kewajiban penyerta kita sebagai orang tua dengan lahirnya seorang anak. Harus dididik, dipenuhi kebutuhan batiniah dan akalnya juga. Dan yang lebih beratnya adalah pertanggungjawaban kita kelak kepada Allah SWT tentang anak yang kita besarkan. Mungkin bagi kebanyakan orang hal itu terdengar sederhana, tetapi bagi saya pribadi pun bahkan sangat berat, apalagi ketika sudah diberi amanah untuk menjalankannya.

Memiliki anak, begitupun dengan menikah, merupakan suatu pilihan yang sejatinya tidak digeneralisasikan sebagai suatu kewajiban. Karena tidak bisa dipukul rata kesiapan setiap personal mengenai keduanya. Jika dia masih melajang, untuk apa kita sibuk ingin tahu mengapa ia melajang saat usainya tak lagi muda? Pun saat melihat sepasang suami istri yang masih berdua saja, belum saya dapatkan fungsi dari pertanyaan, “Kapan punya anak?” bagi kedua belah pihak, baik pihak pasangan tersebut, atau pun pihak penanya. Lalu, untuk apa?

Saya tidak memandang salah sang konten kreator yang memilih jalan hidup seperti itu. Toh, itu adalah pilihan dia dan bahkan pasangannya pun menyetujuinya. Artinya, ada suatu alasan kuat bagi mereka untuk memilih jalan tersebut.

Jika dikatakan ekstrim, menurut saya, paradigma yang menjadikannya ekstrim atau tidak. Kultur budaya di Indonesia yang memang memaketkan plot kehidupan manusia secara pukul rata, membuatnya terkesan ekstrim untuk setiap fase yang tidak sesuai dengan alur tersebut. Apalagi, ketidaksesuaian tersebut memang dibuat secara sengaja.

Namun, berangkat dari kisah sang konten kreator tersebut, di mana ia dan suami yang berdomisili di Jerman, akan lebih mudah untuk menjalankannya. Terutama dalam hal menghadapi pandangan masyarakat sekitar.

Dan saya sendiri semakin miris dengan tingkat ke-kepo-an masyarakat kita. Terlalu ingin banyak ikut campur dalam ranah kehidupan orang lain, dengan berkedok peduli. Padahal, menurut hemat saya, peduli bukan dalam koridor seperti itu. Apalagi untuk hal yang dirasa belum berbenturan dengan aturan agama dan keyakinan, untuk apa sibuk mendikte? Betul?

Ahh, ini hanya suara isi hati saja. Karena terkadang saya pun agak gerah dengan ‘kepedulian’ orang-orang sekitar saya, yang alih-alih perhatian, nyatanya lebih ke arah menghakimi kemudian, duh!

No comments:

Post a Comment