Saturday, January 2, 2021

CERPEN : Cerita tentang Kotak Musik

 

Picture by Pinterest

             Kotak musik itu menjadi saksi akan satu fase kehidupan yang hampir terlupakan. Ya, teralihkan oleh fokus dunia untuk masa kini yang mengiming-imingi masa depan. Sedikit banyak membuat kita kurang menyadari bahwa ada bagian dari masa lalu pun yang mungkin layak untuk diingat. Dan di situlah dia berada. Di antara serakkan cerita lampau yang dibalut dengan bingkai kenangan.

***

                “Ini buat kamu.” Kedua tangannya menggenggam kotak berukuran sedang dengan tatapan agak malu. Kentara sekali berusaha untuk menyembunyikan air muka yang mungkin memerah, tetapi juga tak ingin melewatkan mimik gadis di hadapannya, aku.

                “Apa ini?” Bukan pura-pura tidak tahu. Kernyitan yang hampir menyatukan dua ujung alis ini menjadi bukti. Antara ragu untuk menerima kotak berbungkus kertas kado berwarna merah muda itu, atau lebih baik membiarkannya saja hingga pertanyaan terjawab satu per satu.

                “Ya, buka aja! Mudah-mudahan kamu suka.” Matanya menangkap pandangku. Saling beradu sesaat. Kemudian ia palingkan wajahnya ke arah luar jendela. Salah tingkah.

                Kelas itu kosong. Wajar saja, jam istirahat membawa hampir seluruh penghuninya menuju kantin atau sekadar mengembalikan buku perpustakaan. Kutahu dengan sengaja ia tetap tak beranjak mengikuti kawan-kawannya saat bel berbunyi tadi. Lebih memilih untuk menolak ajakan mereka dengan dalih melengkapi catatan pelajaran sebelumnya.

                Aku? Masih asyik dengan novel terbaru yang secara rutin kubeli setiap tanggal satu. Hasil menyisihkan uang jajan bulanan yang diberikan oleh papa. Dan di tanggal-tanggal itu, aku lebih memilih untuk membenamkan diri dengan bacaan hasil jerih payah, ketimbang berdesak-desakkan di kantin atau kegiatan lain ala jam istirahat.

                “Kado? Tapi ulang tahunku udah lewat, lho!” Tetap kedua tanganku tak berkutik. Kotak di hadapan masih tak tersentuh. Bukan karena tidak mau. Namun, jika dikatakan malu, ya aku pun begitu.

                Remaja di hadapanku hanya menarik seulas senyum yang terlihat kaku. Melirik ke sana dan ke sini, berusaha mengontrol diri. Dengan gugup diletakkannya kotak tersebut di mejaku. “Ngasih kado ga harus pas ulang tahun aja, kan?” Kemudian ia melengos pergi.

                Aku yang bingung dan penasaran, akhirnya meletakkan novel dan mulai mencari tahu tentang kotak di hadapanku. Kuangkat, sedikit kugoyangkan. Bunyi benda keras tumpul beradu dengan kertas karton terdengar. Diiringi sedikit dentingan yang sulit kutebak.

                “Apa sih ini?” Aku bergumam pada diriku sendiri sambil terus meneliti kotak manis yang kini telah berada di genggaman. Ragu-ragu kucoba mencari simpul lipatan. Rasanya sayang untuk merobeknya. Mungkin bisa sedikit kuintip melalui perekat yang kubuka perlahan. Saat mulai kutemukan simpul tersebut, bel tanda masuk kelas pun berbunyi. Kelas mendadak riuh kembali. Kuhempaskan sesaat kotak merah jambu ke dalam ransel jinggaku, terlupakan hingga waktu pulang sekolah tiba.

***

Bel pulang sekolah memang dibuat lebih panjang dibandingkan bel istirahat. Menggema ke seluruh penjuru gedung bercat krem, yang disertai riuhnya para murid. Tak ada yang tak menantikan jam pulang sekolah, termasuk aku. Dengan sigap kurapikan buku pelajaran terakhir beserta alat tulisnya. Saat hendak kumasukkan ke dalam tas, tersembul kertas kado merah jambu yang membawa ingatanku kembali pada kotak pemberian tadi.

‘Oh, iya. Kado darinya belum kubuka.’ Masih monolog.

“Yuk, Di!” Ajakan sahabat untuk pulang bersama mengagetkanku. Kutepis lagi pikiran tentang kotak itu, segera membereskan seluruh perkakas belajar dan menyusul Isti yang telah menunggu di depan kelas sambil berbincang dengan kawan lainnya.

Kami berpapasan di gerbang sekolah. Kini aku yang tak mampu menangkap tatapnya. Menghindari lebih baik, sebelum ia bertanya tentang nasib kotak pemberiannya. Benar, yang masih belum kubuka sama sekali.

Namun, dia hanya tersenyum, seperti tahu tentang gelagatku. Dilajukannya motor tua pemberian ayahnya, tanpa meninggalkan sepatah kata. Oh, dia menyapa. Namun, bukan padaku, tetapi berpamitan kepada sahabat yang berjalan beriringan denganku, Isti. “Ti, duluan ya!” Dan melesatlah si roda dua.

‘Kenapa sih dia. Ngasih kado ke aku, tapi malah aku yang dicuekkin.’ Sedikit mendengus. Meski hanya di dalam hati.

Dan kami, aku dan Isti, meninggalkan area sekolah, menuju rumah masing-masing. Jarak yang tak terlalu jauh hanya membutuhkan kedua kaki untuk mengantarkan kami setiap hari.

Setibanya di rumah, langsung kumenuju kamar. Menyalakan pendingin ruangan, berganti pakaian, rebahan sejenak sebelum membantu mama menyiapkan makan malam yang kesorean. Seperti itu rutinitasnya.

Kotak itu kembali mampir dalam ingatan. Bangkit kembali dari rebahku, menuju meja belajar di mana ransel sekolahku bertengger di sana. Agak sedikit tak sabar kubuka tasnya, langsung kucari kotak merah jambu dengan tak mengindahkan buku-buku yang agak terlipat-lipat dibuatnya. Kotak itu berukuran sedang, seperti yang telah kuceritakan. Lumayan mengambil banyak ruang di tas yang tak begitu milikku.

Kembali meragu untuk membukanya, meski kini kotak merah jambu telah berada di pangkuan.

‘Hmm, buka aja, deh! Biar nanti pas dia tanya nasib kotak ini, aku bisa jawab.’ Benar-benar sesederhana itu pikiranku. Pikiran remaja kecil di bangku kelas tujuh.

Seperti niat di awal, kubuka lipatan per lipatan secara perlahan, hati-hati. Tak ingin merusaknya. Lumayan, mungkin bisa dipergunakan kembali bungkusnya nanti.

Sebuah kotak bertuliskan MUSIC BOX terpampang di sana. Aku tercengang sesaat. Yang kemudian kulanjutkan membuka kotak kardus yang kini sudah semakin memberikan pencerahan tentang isinya.

Kotak itu berwarna merah jambu, senada dengan kertas pembungkusnya. Saat dibuka, terdapat cermin kecil di alas tutupnya. Diikuti penari balet yang berputar-putar seperti mengikuti irama yang dihasilkan oleh seperangkat mesin yang tertanam di dalamnya. Mesin tanpa baterai, tetapi mampu mengalunkan nada klasik yang indah.

Dan itu adalah kotak musik pertamaku, yang sedari bangku sekolah dasar dulu sangat kuidamkan. Berdasarkan cerita komik yang membawa khayalku untuk memiliki benda serupa. Namun, belum berani untuk meminta mama atau papa, karena mereka pasti menanyakan fungsi dari setiap apa yang akan dibelinya.

Segera kuambil ponsel sederhana dengan gantungan kucing putih dari sisi lain meja. Kubuka halaman mengirim pesan, kuketik nama penerima [Dave Schoolmate], dilanjutkan dengan isi pesan :

[Hei, makasih banyak kadonya. Aku suka banget. Thanks.]

Kotak musik itu kini telah hilang ditelan pergantian generasi. Namun, karena ia adalah kotak musik pertamaku, kenangannya akan tetap tertinggal, meski sempat terkubur jauh di bawah gundukan kesibukan akan hidup di masa kini.

Karena yang pertama akan lebih berkesan, hukumnya tetap seperti itu.

No comments:

Post a Comment