Thursday, January 28, 2021

Cintai Dulu, Menjadi Habit Kemudian

 

Picture by Sepositif

“Witing tresno jalaran soko kulino”

“Cinta itu tumbuh karena terbiasa”

Well, menarik!

Pikiran saya bukan ke soal pasangan laki-laki dan perempuan atau pun hal yang berkenaan dengan itu. Justru buah akal saya langsung menangkap hal lain, bahwa untuk membangun sesuatu menjadi kebiasaan, kita butuh cinta.

Sering berseliweran statement yang menyatakan jika kebiasaan dibangun dari konsisten dan komitmen. Namun, justru kedua hal tersebut yang sering melemah di tengah proses pembentukan kebiasaan itu. Akhirnya, kebiasaan pun tak terbentuk. Gugur sebelum berkembang.

Konsisten dan komitmen adalah hal teoritikal yang seolah mudah dijalankan. Dua padanan kata yang sederhana, tetapi kenyataannya, saat kita belum memiliki pondasi cukup kuat tentang suatu aktivitas yang akan kita jadikan kebiasaan tersebut, kekonsistenan dan komitmen akan menjadi bopong, kurang massa dan cenderung bersifat topeng saja.

Pepatah Jawa yang saya singgung di atas seolah memberi insight lebih mengenai pembentukan kebiasaan itu. Bahwa, konsisten dan komitmen akan bisa terlaksana jika memiliki dasar kuat dulu, let’s say that is love.

Saat kita mencintai suatu aktivitas secara mendalam, hal tersebut akan menjadi bahan bakar untuk lebih tough dalam mempertahankan kekonsistenan dan komitmen kita dalam melakukannya. Mungkin akan ada masa jenuh, down, hal manusiawi lain yang menjadi tantangan dalam usaha kita membentuk aktivitas tersebut menjadi suatu kebiasaan. Namun, jika benar-benar kita mencintainya, akan selalu ada jalan untuk kembali pada tujuan awal, meskipun terseok-seok.

Dan dalam hal ini saya bercerita tentang diri sendiri.

Kegiatan menulis bagi saya saat ini berada alam fase pembentukan habit. Ya, saya ingin menjadikan menulis ini bukan sekadar lepasan atau selingan saja, tetapi menjadi bagian dari hidup (habit artinya memaknai suatu kegiatan menjadi bagian dari hidup kita, bukan?)

Dalam pikiran saya selalu mensugestikan tentang konsisten dan komitmen. Terus mendoktrin otak saya dengan, “Ayo, dong, mana konsisten dan komitmen kamu, Nad!”

Yang saya peroleh adalah kelelahan. Betul. Saya berhasil melewati tahap per tahapnya. Saya menulis, mengikuti event atau pun challenge. Namun, seiring waktu, saya semakin kehilangan nikmatnya menulis itu sendiri. Bahkan, sempat ada masa di mana saya merasa bahwa menulis kini menjadi suatu beban. Lalu, di mana esensi menulis yang saya plot sebagai media reliever saya?

Jeda adalah jalan yang saya ambil. Sempat dua pekan (atau tiga pekan bahkan) saya break dari dunia menulis. Bukan benar-benar lepas dari kata per kata, tetapi saya hanya menulis semau saya, seenak saya. Sembari saya selami kembali makna menulis bagi saya personal itu apa, untuk apa, dan recall tujuan saya menulis di awal kenapa. Terakhir, saya juga berusaha gali lebih dalam, apakah benar saya menyukai dan mencintai kegiatan ini? Atau hanya sebatas trend?

Dan benar, hal pertama kita harus mencintai dulu apa yang kita kerjakan. Perkuat why-nya, bangun bonding-nya. Seperti dalam suatu hubungan, jika cinta sudah terbina, kekonsistenan dan komitmen pun akan lebih mudah direalisasikan.  Selanjutnya, kita akan terbiasa dengan keberadaannya, yang artinya, kehadirannya sudah menjadi kebiasaan bagi kita. See, habit comes after the love ;)

No comments:

Post a Comment