Tuesday, February 18, 2020

CERPEN : Arti Cita, Takdir, dan Kesombongan

"Ayah Bunda mungkin masih bisa mengusahakan untuk uang masuknya, tapi untuk biaya semesterannya, saat ini belum terbayang sejujurnya, nak. Bukan Bunda ga mau kamu jadi dokter, tapi dengan kondisi Ayah saat ini, agak sulit, maafin Bunda ya sayang." 

Masih teringat ekspresi Bunda saat mengatakan itu. Ada butir air mata tertahan di sudut matanya. Ya, aku paham. Tak ada orang tua yang tak ingin anaknya meraih impiannya, apalagi impian itu adalah impian sejak kecil, yang boleh dikatakan, bahkan tak mudah untuk mendapatkannya. Dan kini ketika impian itu sudah dalam genggaman, keadaan memaksa tuk sementara menghempaskannya. Berat. Bunda pasti kecewa, mungkin tak kurang kecewa dari aku yang saat itu hanya bisa tertunduk dan diam.

Oya, aku Naya, murid kelas XII di sekolah swasta yang lumayan ternama di kota Bandung. Ohh tapi bukan, aku bukan orang Bandung. Aku memilih untuk merantau ke kota ini saat SMA karena aku punya mimpi yang sangat ku kejar sejak lama, sejak bangku SD. 

"Namaku Naya, cita-citaku ingin menjadi dokter", seperti itu lah perkenalan singkat dan familiar ala anak Sekolah Dasar pada umunya. Seperti tidak ada profesi lain di dunia, dokter atau polisi atau tentara. Jajaran elit profesi di bayangan bocah. Tapi bukan untukku. Keinginan menjadi dokter bukan hanya pamor kebocahan saat itu. Aku menginginkannya karena sosok Kakekku. Beliau yang selalu terlihat gagah dengan jas putihnya, memeriksa dan menolong orang, bahkan tak jarang tanpa bayaran. Ku ingin melanjutkan bakti itu, persis seperti Kakekku. 

Semua orang sibuk dengan penjurusan. Bahasan paling trend bagi kelas XII pastilah seputar universitas dan perkuliahan. Tak sedikit dari teman-temanku bahkan masih bingung untuk mengambil perkuliahan mana nantinya. Tapi tidak denganku. Aku makin mantap dengan cita-citaku. Berbekal hasil akademis hingga semester terakhir kemarin dan segala persiapanku selama ini, keoptimisanku lumayan tinggi. Hanya satu jadi ganjalanku. Ayahku kini pengangguran.

Sekolah kedokteran menurutku bukan hanya diperuntukkan bagi mereka yang pintar saja, tetapi juga mereka yang beruang. Melihat nominal biaya masuk, semesteran, praktikum, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, sempat membuatku sedikit meragu. Sebenarnya keluargaku bukan keluarga kekurangan. Bahkan posisi Ayah di kantor dulu adalah jajaran managerial. Tapi, tak ada sesuatu yang kekal, semua milik-Nya, maka sangat mudah pula Dia mengambil nikmat layaknya Dia memberikannya. Ayah menjadi korban dari skandal perusahaan hingga akhirnya Ayah harus kehilangan pekerjaannya.

"Naya, selamat ya! Akhirnya, one step closer. Tinggal psikotest, tapi tenang aja, insyaAllah kamu lolos kok. Ga akan beda dengan hasil psikotest yang diadakan sekolah kemarin", Bu Sakina, wali kelasku, memberikan selamat untuk kesuksesanku lolos ujian tulis dan wawancara penerimaan Sekolah Kedokteran itu. Dia salah satu motivator terbesarku, ya bisa dibilang begitu. Baginya, menjadi guru bukan hanya mengajarkan ilmu, tapi juga menjadi fasilitator kehidupan, utamanya yang berkenaan dengan cita-cita dan impian. Aku selalu senang mendapat apresiasi darinya, entah mengapa. Mungkin cara dia bicara, pembawaannya, memang sangat mudah membuat orang nyaman dan tenang. "Bu, kayaknya saya ga perlu ikut psikotest itu deh, saya bakal lepas Sekolah Kedokteran ini". Ada ekspresi yang tak kusangka darinya. Ku pikir beliau akan terkejut, menekan, dan lain sebagainya. "Hmm begitu. Pasti bukan hal mudah ya melepas apa yang sudah sangat diimpikan. Kalau saya boleh tau, ada apa? Mungkin bisa sedikit meringankan pikiranmu Naya". Senyum itu, ya benar, senyum itu adalah kuncinya. Mengapa aku selalu merasa nyaman berbicara dengannya. Senyum hangat dan lembut. Senyum itu yang bisa dengan mudah membuka kata dan hati tiap muridnya untuk mampu menyampaikan unek-unek atau bahkan keluh kesah. Mengalir, terus kuutarakan apa yang memberatkanku akhir-akhir ini, bahkan lewat sudah jam istirahat siang. "Naya, kalau boleh Ibu sarankan, tetap lanjutkan testnya. Bereskan hingga akhir. Sampai kamu benar-benar merasakan bahwa impianmu itu telah digenggaman dan kamu bisa mencapainya. Tak mustahil. Kalaupun di akhir harus dilepas, itu akan jadi episode lain. Berarti memang jodohmu dengan impianmu menjadi dokter, sampai disitu. Bukan karena kamu ga mampu, tapi karena ada kuasa lain, yaitu takdir, yang berperan juga dalam setiap episode kehidupan manusia. Tak apa-apa. Artinya ada hal yang jauh lebih besar menantimu di luar sana, dan diterimanya kamu di Sekolah Kedokteran itu kemudian keharusan untuk melepaskannya, akan menjadi modal kesuksesanmu di masa depan, entah dalam bentuk apa. Terus yakini itu Naya. Sekarang, selesaikan episodemu yang ini, biar kamu lega". Cesss, ada aliran oase memenuhi batinku. Yang sempat rapuh dan hampa seperti terisi kembali sedikit demi sedikit. Seiring air mata yang jatuh, beban itu pun ikut berguguran. Bu Sakina benar, "selesaikan episode ini hingga akhir, episode lain tetap jadi misteri masa depan dan yakin tak ada yang sia-sia, bagaimanapun kelak alur narasinya".

Dan sekarang aku di sini, di ruangan besar yang mereka sebut Gedung Serba Guna. Bersama ratusan calon dokter lain, yang bila mungkin berjodoh dengan gelar tersebut, mengikuti serangkaian psikotest yang panjang. Nothing to lose. Ku hanya sedang membuat akhir dari episode ini dengan sebaik-baiknya, hingga kelak ku tak akan menyesalinya. Bahwa aku pernah di sini, menjalani proses ini, sebagai bentuk keseriusanku pada impianku. Dan ketika harus kulepas nanti. Bukan karena aku tak mampu, atau tak mau mengusahakan, tapi aku penuh keyakinan akan takdir yang selalu beriringan dengan setiap langkah manusia, sebagai barrier, untuk tak usah bersikap sombong. Semua dari-Nya, akan kembali pada-Nya. Lalu, mengapa kita terlalu ngotot? Bukankah semua hanya titipan? Termasuk impian.


No comments:

Post a Comment