picture by pinterest |
Sedang berada dalam fasa di mana sangat jenuh dengan keseharian. Sebagian orang mungkin akan berkomentar, “Ah, kurang bersyukur kamu, Nad!” Karena yang terlihat memanglah aku yang berkecukupan dalam segala hal. Memiliki suami, anak, bahkan materi pun sedang stabil dan aman-aman saja, Alhamdulillah.
Aku pun kadang bingung
kenapa begini. Seperti merutuki keadaan. Kondisi yang mengharuskan aku untuk
menjadi ibu rumah tangga seutuhnya dengan satu balita.
Anis. Dia anak yang ceria.
Selalu ekspresif dengan perasaannya, dan memang itu yang sengaja kutanamkan
sedini mungkin. Jika dibandingkan dengan anak seusianya, dia termasuk tidak
banyak tingkah (nakal). Sangat dewasa bahkan kadang-kadang pembawaannya.
Perhatian dan sangat
sangat sangat mencintai ibu dan ayahnya. Sangat kentara, bagi dia, kami lah
dunianya.
Selain itu, Anis termasuk
anak yang aktif dan pintar. Cukup percaya diri dan sangat piawai dalam
berbicara (yang aku pun suka kewalahan dibuatnya).
Tidak ada yang salah
dengan anak itu. Sama sekali tidak ada yang salah. Bahkan, seharusnya aku
banyak-banyak bersyukur memiliki anak luar biasa seperti dia.
Namun, entahlah, kadang
aku merasa payah dan tidak enjoy menjalani
kebersamaan dengannya. Aku yang merasa tidak bahagia saat ia mengajak bermain,
padahal hanya permainan biasa dan dengan sabarnya ia menurut untuk tidak banyak
keluar rumah.
Aku juga sangat mudah
tersulut emosi jika ia sulit tidur. Kuakui, aku cukup lelah. Budaya tidur siang
sudah tidak dijalankan oleh Anis sejak ia usia 2 menuju 3 tahun. Dulu, ia tidur
malam lebih cepat. Namun, sekarang, jam malam tetap bergeser lebih larut dengan
tanpa tidur siang juga.
Aku merasa tidak memiliki space untuk diri aku sendiri. Tidak ada
jeda ku untuk bernapas. Aku sesak.
Mengharapkan berbagi peran
dengan ayahnya, hmmm, setiap membahas ini pasti berujung denga adu argumentasi
saja. Dan aku sudah malas untuk terlalu banyak beradu argumen.
Sibuk yang luar biasa.
Tinggal serumah berasa memiliki pasangan Long
Distance Marriage. Ya, aku paham. Ini demi kerjaan. Dengan pekerjaan ini
kehidupan kami jauh lebih baik dan stabil. Ya, aku (harus) mengerti, bahwa no pain no gain. But, I’m just sinking on my own.
Tidak ada yang salah
dengan Anis. Dia anak yang sangat shaleh dan baik. Alhamdulillaah wa syukr.
Mungkin yang salah adalah
kami sebagai orang tuanya. Belum bisa menjalankan fungsinya dengan baik dan
maksimal.
Terutama pastilah aku.
Sangat jauh dari kata ibu yang sempurna. Ah, bahkan hanya sekadar untuk
predikat ibu yang baik pun aku masih tertinggal jauh.
Maafkan, Ibu, Nak! Tangan
ini sering menyakitimu. Lisan ini sering melukai perasaanmu. Aku tahu, kamu
tidak bisa memilih dari orang tua, dari ibu seperti apa kamu akan dilahirkan.
Ikatan ini, tentang aku menjadi ibumu atau pun kamu menjadi anakku, adalah
ikatan takdir.
Terima kasih selalu dengan
baik dan sabarnya menghadapi kami, ayah dan ibumu.
MAAF.