Wednesday, February 23, 2022

CURAHAN HATI #1

picture by pinterest

Sedang berada dalam fasa di mana sangat jenuh dengan keseharian. Sebagian orang mungkin akan berkomentar, “Ah, kurang bersyukur kamu, Nad!” Karena yang terlihat memanglah aku yang berkecukupan dalam segala hal. Memiliki suami, anak, bahkan materi pun sedang stabil dan aman-aman saja, Alhamdulillah.

Aku pun kadang bingung kenapa begini. Seperti merutuki keadaan. Kondisi yang mengharuskan aku untuk menjadi ibu rumah tangga seutuhnya dengan satu balita.

Anis. Dia anak yang ceria. Selalu ekspresif dengan perasaannya, dan memang itu yang sengaja kutanamkan sedini mungkin. Jika dibandingkan dengan anak seusianya, dia termasuk tidak banyak tingkah (nakal). Sangat dewasa bahkan kadang-kadang pembawaannya.

Perhatian dan sangat sangat sangat mencintai ibu dan ayahnya. Sangat kentara, bagi dia, kami lah dunianya.

Selain itu, Anis termasuk anak yang aktif dan pintar. Cukup percaya diri dan sangat piawai dalam berbicara (yang aku pun suka kewalahan dibuatnya).

Tidak ada yang salah dengan anak itu. Sama sekali tidak ada yang salah. Bahkan, seharusnya aku banyak-banyak bersyukur memiliki anak luar biasa seperti dia.

Namun, entahlah, kadang aku merasa payah dan tidak enjoy menjalani kebersamaan dengannya. Aku yang merasa tidak bahagia saat ia mengajak bermain, padahal hanya permainan biasa dan dengan sabarnya ia menurut untuk tidak banyak keluar rumah.

Aku juga sangat mudah tersulut emosi jika ia sulit tidur. Kuakui, aku cukup lelah. Budaya tidur siang sudah tidak dijalankan oleh Anis sejak ia usia 2 menuju 3 tahun. Dulu, ia tidur malam lebih cepat. Namun, sekarang, jam malam tetap bergeser lebih larut dengan tanpa tidur siang juga.

Aku merasa tidak memiliki space untuk diri aku sendiri. Tidak ada jeda ku untuk bernapas. Aku sesak.

Mengharapkan berbagi peran dengan ayahnya, hmmm, setiap membahas ini pasti berujung denga adu argumentasi saja. Dan aku sudah malas untuk terlalu banyak beradu argumen.

Sibuk yang luar biasa. Tinggal serumah berasa memiliki pasangan Long Distance Marriage. Ya, aku paham. Ini demi kerjaan. Dengan pekerjaan ini kehidupan kami jauh lebih baik dan stabil. Ya, aku (harus) mengerti, bahwa no pain no gain. But, I’m just sinking on my own.

Tidak ada yang salah dengan Anis. Dia anak yang sangat shaleh dan baik. Alhamdulillaah wa syukr.

Mungkin yang salah adalah kami sebagai orang tuanya. Belum bisa menjalankan fungsinya dengan baik dan maksimal.

Terutama pastilah aku. Sangat jauh dari kata ibu yang sempurna. Ah, bahkan hanya sekadar untuk predikat ibu yang baik pun aku masih tertinggal jauh.

Maafkan, Ibu, Nak! Tangan ini sering menyakitimu. Lisan ini sering melukai perasaanmu. Aku tahu, kamu tidak bisa memilih dari orang tua, dari ibu seperti apa kamu akan dilahirkan. Ikatan ini, tentang aku menjadi ibumu atau pun kamu menjadi anakku, adalah ikatan takdir.

Terima kasih selalu dengan baik dan sabarnya menghadapi kami, ayah dan ibumu.

MAAF.

Thursday, April 29, 2021

CERPEN : Sosok Wanita yang Sama

 

Picture by Tribun Bali

Meyra. Seperti itu orang-orang memanggilku. Untuk mereka yang lebih akrab, sapaan “Rara” justru lebih familiar dibandingkan dengan “Mey” sebagai suku kata pertama dari namaku itu. Semua bermula dari mama yang sejak aku bayi selalu memanggil “Rara” sebagai panggilan manja. Dan, inilah aku.

Dilahirkan sebagai anak tunggal, membuatku agak diistimewakan oleh mama. Mungkin sebagian akan bertanya tentang papaku. Sayangnya, aku pun tak pernah tahu siapa dan di mana keberadaannya saat ini. Pengakuan mama pun, lelaki itu telah meninggalkan kami sejak aku berada di dalam kandungan, saat itu baru menapaki lima minggu. Dan, boleh kukatakan bahwa aku adalah seorang yatim, dengan versi sedikit berbeda. Mengapa? Karena yatimku lebih ke kondisi di mana aku memang kehilangan informasi sama sekali mengenainya, bukan karena ia pernah ada dan kemudian pergi dari kehidupan. Setidaknya begitu bagiku.

Memanglah kami hanya hidup berdua saat ini, mama dan aku. Nenek telah meninggal saat mama berusia sepuluh tahun, dan kakekku tinggal di negeri seberang, bersama istri dan keluarga barunya sejak kematian nenek. Benar, mama adalah korban ‘anak dibuang’. Yang ternyata senasib denganku. Mungkin itu juga yang membuat kami berdua dapat lebih tegar menghadapi balada kehidupan. Di satu sisi, kami pun saling menguatkan.

Namun, ruang kosong akan tetap menjadi ruang kosong. Sekuat apapun aku, dan mungkin mama, berusaha mengisinya, tetaplah ia akan meninggalkan dimensi berbeda yang tak bisa disempurnakan oleh apapun. Timpang, terkadang aku merasa seperti itu. Bukan karena iri, atau bisa jadi memang pun demikian, ketika melihat teman-teman di sekolah dulu dijemput oleh ayah mereka, atau sekedar cerita awal minggu tentang kegiatan outing bersama sosok yang mereka nisbatkan sebagai kepala keluarga. Ya, pada akhirnya aku merasa bahwa saat sesuatu tak lagi memiliki kepala, dia akan lebih sulit menentukan arah. Begitu adanya keluargaku, dan bentuk kekosongan yang aku maksud.

Kondisi memaksa kami, aku dan mama, untuk tetap maju menghadapi realita. Untunglah, meski ia hanya sosok single parent, tanpa ada backing-an finansial dan emosional dalam membesarkan seorang anak perempuan, yaitu aku. Mama tetap memberikan apa yang kubutuhkan. Apartemen untuk kami berteduh, sekolah swasta ternama di ibu kota, gaya hidup yang bisa dibilang menengah ke atas dan serba nyaman, semua dapat kunikmati. Hanya saja, tetap harus ada harga yang dibayar sebagai pengorbanan, yaitu waktu.

Tak banyak waktu yang dapat kulewati bersama mama. Kami seatap, tetapi seolah memiliki jam hidup berbeda. Aku yang sudah barang tentu aktif dikala matahari mencuatkan cerahnya, justru di saat itulah waktu mama tidur dan beristirahat setelah melewati malam penuh peluh bekerja. Mama bilang, client-nya memang hanya leluasa ditemui saat petang menjelang, selepas mereka bersibuk diri dengan pekerjaan utamanya. Entahlah, aku hanya seorang gadis SMA yang belum dan tidak ingin tahu terlalu banyak tentang itu. Toh, segala kebutuhanku telah tercukupi, bahkan bisa dikatakan berlebih. Jika mama harus beristirahat saat kupulang sekolah, dengan fasilitas kartu debit yang tak pernah dibiarkan kosong, aku biasa menghabiskan waktu bersama sahabat satu geng untuk nongkrong di satu mall ke mall yang lain. Tak menjadi masalah. Asalkan mama tetap sehat, tidak kekurangan waktu istirahat.

Sore itu, angin lembab ala ibu kota yang tak sedikit pun memberi kesejukan untuk menghalau sisa terik tengah hari, berdesir membawa sedikit rintik hujan sesaat. Murid-murid berhambur menuju gerbang yang menjulang tinggi, yang lebih terlihat seperti gerbang sel tahanan daripada sebuah sekolah. Waktu pulang sekolah telah tiba.

Kebetulan, kedua sahabat kumpulku harus absen menemani thawaf mall hari ini. Ada yang sudah memiliki jadwal dengan kekasihnya, ketika yang lain harus menemani ibunya belanja bulanan. Dan aku berjalan sendiri menuju gerbang sambil terus berpikir, ‘Kemana ya enaknya hari ini?’

Ketika tiba-tiba, “Heh, bangke! Dasar anak haram! Bisa-bisanya ya nyokap Lo morotin papi gue, hah?! Oh, jadi gini caranya si anak yatim Meyra Priyanka sampe bisa sekolah di tempat elit macem gini? Bisa hidup bak sultan, tinggal di apart, nongkrong tiap hari di mall? Ternyata semua itu hasil ngelacur nyokap Lo, hah?!”

Tangan itu terlalu kuat menghantam tubuhku. Tak bisa kuhindari, aku kehilangan keseimbangan. Terjungkal di tengah lapang basket dengan lantai bercat biru. Berutunglah tanganku masih cukup sigap menahan bobot tubuh bagian atasku. Jika tidak, kening ini pastilah sudah bercucur darah tergesek kasarnya lantai yang saat itu pun panas luar biasa. Atau mungkin mulutku yang harus kehilangan keperawanannya, karena mencium paduan semen dan pasir menyebalkan ini.

“Berdiri Lo! Biar orang-orang tahu, siapa Meyra Priyanka itu! See, Guys! Beware of this bitch! Atau hidup kalian bakal berantakan karena ulahnya dan nyokapnya!”

Gadis bertubuh ramping semampai dengan rambut tebal lurus sepunggung dengan berapi-api memaksaku bangkit dan terus menunjuk-tunjuk mataku. Ya, bukan hanya muka, tetapi mataku! Sebagai pancaran amarahnya yang begitu membuncah. Terlebih pipi dan sebagian besar mukanya yang semakin memerah. Dia amat sangat marah.

Aku tersulut emosi. Dia terus mencaci-maki mama. Dadaku panas, otakku tak lagi jernih.

“Heh, jangan nuduh macem-macem Lo, ya! Nyokap gue emang single parent, tapi dia punya bisnis, punya kerjaan, duit ga ngalir gitu aja, dan gue tahu itu! Buktinya, waktu bareng gue yang terbatas bareng dia. Karena apa? Karena dia lagi nyari duit! Paham, Lo?!”

Kudorong balik tubuhnya yang tak lebih besar dari tubuhku. Namun, anehnya, dia dapat menguasai keseimbangannya. Mungkin massa tubuhnya meningkat dengan supply amarah yang dia punya? Entahlah.

“Hahahaha. Lucu! Sumpah, Lo tuh lucu banget! Sini, Lo! Sini! Liat ini siapa?!”

Tangan berjari lentik dengan kuku berhiaskan nail art bernuansa nude itu menyodorkan ponsel keluaran terbarunya tepat di wajahku. Aku pun harus sedikit menarik mukaku untuk dapat menangkap apa yang hendak ia tunjukkan dari ponselnya itu.

“Ini bisnisan nyokap Lo? Gelayutan di badan cowok yang entah mereka udah beristri apa belom, hah? Keluar masuk hotel tiap malemnya. Lo pikir bisnis macem apa yang nyokap Lo jalanin? Kerjaan macem apa yang cuman keluyuran malem hari? Satpam ronda? Hey, bahkan satpam aja masih lebih beradab dari nyokap Lo itu.” Gadis itu tak lagi berteriak-teriak. Namun, desisnya kupikir jauh lebih menakutkan, seperti saat ini.

Dan foto itu. Kolase dari beberapa foto yang menangkap sosok wanita sedang melangkah keluar dari hotel-hotel ternama dengan manjanya. Rangkulan mesra yang memberikan indikasi sosok lelaki yang berbeda di setiap bidikannya.  Salah satunya adalah ayah dari gadis cantik di hadapanku. Pria berbadan tambun dengan rambut tersisir kelimis dan ornamen serba branded di tubuhnya.

Dan, wanita yang menjadi sosok sama di setiap fotonya adalah mama. Benar. Dia mamaku.

Kemudian, semua berubah menjadi gelap. Aku tak tahu ke mana hilangnya kesadaranku.

Friday, March 19, 2021

REVIEW BUKU : The CRINGE Stories

Koleksi Pribadi

 Merinding? Berigidig? Hiiiii~

Kira-kira hal apa sih yang biasanya bikin kita sampe kayak gitu? Hantu? Pembunuhan? Darah berceceran? Sadisme? Kelakuan ajaib manusia? Atau sekadar pemikirannya yang kadang di luar dugaan dan bisa-bisa bikin kita sesama manusia pengen resign aja rasanya jadi manusia itu sendiri, saking malu (atau serem)-nya, lalalalaaaa~

Well, tenang aja, semua lengkap kok tersedia di buku kumpulan cerita pendek The Cringe Stories ini. Yup, LENGKAP! Bukan cuma kisah horor yang bawa-bawa mahkluk beda dimensi aja, tetapi juga kisah antar-manusia yang ternyata memang banyak terjadi di kehidupan nyata dan emang bener bisa bikin berigidig, cuy!

Buku bersampul hitam dengan gambar tapak tangan berwarna putih, yang entah tangan siapa itu, dan tulisan judul berwarna merah bloody gimana gitu¸ sempurna menambah kesan cringy dari ‘anak tetasan’ Kak Rijo Tobing ini. Sesaat mungkin para pembaca bakal ngira ini buku horor, tapi waktu dilahap lembar per lembarnya, saya lebih mengklasifikasikan buku ini ke dalam jenis thriller. Bukan mistis, tapi lebih ke misteri. Karena bener-bener bikin penasaran dan ngeri dalam satu waktu. Efek sampingnya, ya bikin kita susah berenti baca, haha. Apalagi buat saya yang ga suka dibuat penasaran , juga ga suka digantung #apasihhhhh >o<

Jadi, di buku ini terdapat sembilan cerita pendek dengan latar dan alur yang jauh berbeda satu sama lain. Dengan pengkarakteran yang pas, dipadu detailing latar yang khas dan so deep ala Kak Rijo, mampu membuat saya hanyut ke dalam cerita. Terutama bagian pembunuhan-pembunuhan, ugh! Feels like I was witnessing the tragedy itself. Ditambah sentuhan plot twist yang twisting banget tapi masih make sense, bikin pembaca tuh ngerasa kaget dan gemes sendiri dibuatnya. Utamanya buat saya yang seneng banget sama hal-hal sadis dan sedikit (asli deh sedikiiiiiit aja) psycho ini.

Bukunya ga terlalu tebel, cuma 165 halaman, which is cocok dinikmati berbagai kalangan, baik penggiat literasi atau pun yang sekadar lagi nyari bahan bacaan aja. Asli, acceptable banget! Bahasanya enak, bikin yang baca ga kagok gitu. Mudah dicerna dan easy-reading, meskipun genre yang diangkat cukup berat.

Eitsss, tapi yaa, jangan main-main sama plot twist­-nya , Bund! Disclaimer aja, sih! Hihihi.

Selain itu, setiap cerita juga sebenernya membawa moral, lho! Sangat dekat dengan kehidupan kita, beberapa case bahkan berangkat dari isu yang lagi trending saat ini.

Dari sembilan cerita, saya cukup menikmati semua. Namun, ada tiga cerita yang sudah saya nobatkan menjadi ter-favorit, haha. Kenapa sih musti tiga? Maklumlah, anaknya susah menetapkan pilihan wakakaka.

Yang pertama adalah cerpen dengan judul Mobil di Pengkolan. Cerita ini tuh jadi bahan refleksi buat saya pribadi, jadi keinget sama orang tua huhu. DEG gitu pas baca ending-nya. Langsung tersadarkan buat bisa ngasih spare waktu dan perhatian lebih untuk papa mama dan abah umi mertua yang, ya emang bener, mereka kian menua. Mereka butuh anak-anaknya.

Cerita kedua yang berjudul Rekening. Lagi-lagi berkaitan dengan atensi. Semakin yakin bahwa setiap manusia itu butuh diperhatikan, butuh pengakuan. Saya jadi lebih aware untuk orang-orang terdekat saya, apakah sudah cukup perhatian tercurah untuk mereka? Jangan sampe bejana perhatian dan pengakuan mereka kurang dan akhirnya malah melakukan hal-hal aneh untuk mengisinya. Termasuk juga saya jadi lebih memperhatikan bejana kebutuhan akan perhatian dan pengakuan untuk diri saya sendiri. Yosh, do good for good. Isi bejana itu dengan melakukan hal baik untuk mendapatkan output / atensi yang baik.

Nah, yang terakhir, cerita dengan judul Gendut dan Ombak. Lha, jadi empat cerita favorit, dong? Wakakaka. Ga apa, ya?! Toh saya suka keduanya karena berkenaan dengan pembunuhan yang smooth wahaha. Penasaran ga Lo, hah? Pembunuhan yang smooth itu macem mana? Hayo, hayoooo, mending baca sendiri, deh! Personally, I do recommend for having this book on your lap! Grab it!

Monday, March 15, 2021

Ngobrol tentang Cita-cita


Bismillaah.

“Anis, mau jadi fire fighter, ga?”

“Ga, ah! Anis mau jadi OM SPBU aja.”

Dan percakapan berakhir dengan Anis anteng berlama-lama menikmati menjadi petugas SPBU, tepat ketika anak lain memilih untuk berseragam merah dan memadamkan miniatur hotel yang (ceritanya) kebakaran.

Lain scene,

“Ayok, terus Ayah, kiri kiri, terus, stop dulu Ayah, ya, terus lagi lurus lurus!”

“Sip, Om, terus terus, lurus aja oke. Kanan, Om, lurus lagi. Eh, stop stop ada batu!”

Secara sepintas sudah cukup jelas ya peran apa yang sedang Anis lakoni. Yup, betul, Bund!

“Anis suka jadi om parkir, hebat soalnya.”

Dan siapa pun yang dia temui hendak memarkirkan mobil, Anis sigap memberi aba-aba dengan penuh percaya diri dan rasa bangga. Untung aja ga sampe julurin tangan nagih uang parkir ke pengemudinya.

Namun, saat saya dan Anis sedang duduk-duduk santai sambil ngobrol, dan kemudian saya tanya, “Anis cita-citanya mau jadi apa, sih?”

“Anis mau jadi dokter, Ibu, biar Anis bisa bantu orang sakit.”

Well, so far, tiga profesi itu yang ‘setia’ jadi cita-cita Anis hingga saat ini. Kadang, waktu saya ceritakan profesi lain atau ada yang dia lihat tentang pekerjaan lain, Anis suka tetiba pengen jadi profesi tersebut, tapi hanya sesaat, dan kembali lagi jadi om SPBU, om Parkir, dan dokter.

Bicara tentang cita-cita Anis, “Anis sudah besar mau jadi apa, Nad?”

Hmm, untuk pertanyaan macam ini, saya rasa kurang etis jawabannya keluar dari mulit saya ataupun ayahnya (apalagi di luar itu wakakaka). WHY?!

Ehm, cita-cita adalah hak anak untuk menentukannya, dan kita orang tua hanya sebagai pengontrol dan konsultan aja. Itu menurut saya, lho, ya.

Kita boleh mengarahkan, memberi gambaran tentang kebermanfaatan setiap pekerjaan, status kehalalannya, prospeknya, dan itu harus. Biarkan Anis memperoleh informasi sebanyak mungkin tentang hal itu, dan juga kesesuaian dengan realita. Ga perlu kita menghebat-hebatkan satu profesi di depan anak hanya karena kita ingin dia menjadi sosok itu. Ini merupakan bentuk otoriter terselubung menurut saya hihi.

Namun, sebelum lebih jauh mengenalkan tentang profesi-profesi itu sendiri, ada hal mendasar yang saya lebih kenalkan kepada Anis, yaitu tentang tujuan akhir kita hidup itu apa? Apakah tentang berlimpah materi? Atau tentang mendapat sanjungan dan pengakuan saja? Apakah sebatas dunia saja?

Berat? Iya, jika kita menyampaikan kepada anak dengan bahasa teori, hehehe. Namun, jika kita sampaikan dengan pemaparan dan aksi sederhana, insyaAllah anak pun akan lebih mudah menangkapnya.

“Itu polisi, Nis. Dia bantu kita nangkep penjahat. masyaAllah hebat ya, bisa bantu banyak orang. Bikin orang ngerasa aman, ya?”

“Itu abah sampah, Nak. Tuh, sampah-sampah dari setiap rumah dia ambilin, beresin. Jadi ga bau ya rumah kita? Abah sampah udah ngebantu kita tuh, Nis. masyaAllah ya, makasih abah sampah.”

“Guru itu ngajarin banyak orang jadi pinter. Ibu, Ayah, semua pernah diajarin sama guru. Bu guru bantu ibu yang ga ngerti ngitung jadi bisa. Bantuin Ayah yang ga bisa nulis jadi bisa nulis sekarang.”

“Itu emang kerjaan bapaknya jualan sayur, Nis. Saya kayak Ayah kerja bikin buku, bapak itu kerja juga. Bantu Ibu, mami-nya Kakak Arkhan, biar ga usah susah-susah kalo mau beli sayur. Baik, kan?”

Semuanya bermanfaat. Semuanya membawa kebaikan, berbuat hal baik juga. Semuanya sama, hebat, karena mereka semua MEMBANTU banyak orang. Apa yang mereka lakukan membawa manfaat bagi sekitar, dan kita harus berterimakasih kepada masing-masing mereka.

Konsep bermanfaat dan melakukan kebaikan sudah tersampaikan tanpa harus membawa dalil dan literatur panjang, yang rasanya, kurang ngena jika digunakan untuk anak usia bayi dan balita.

“Ayah kerja karena ayah pengen Allah happy. Biar Ayah bisa beliin beras buat kita makan, bisa ngajak Ibu jalan-jalan, bisa beliin Anis buku atau mainan. Jadi, Ibu happy, Anis happy, Ayah happy, Allah juga happy karena Ayah udah pinter bikin kita semua happy.”

Penangkapan Anis berbeda saat dulu sempat saya katakana bahwa ayahnya bekerja untuk mencari uang. Ada moment di mana dia ga pengen ayahnya pergi kerja dan akhirnya dia ambil celengan dia, “Ayah, ini Anis punya uang, Ayah ga usah kerja.”

Sejak kejadian itu, konteks penyampaiannya saya ubah. Alhamdulillaah, kini dia paham bahwa kerja bukan hanya sekadar untuk uang. Apalagi sekarang Anis sudah berusia 3.5 tahun, sedikit banyak telah lebih dikenalkan mengenai peran gender. Sehingga, kadang ayahnya mulai sounding, “Ayah kerja karena ayah laki-laki, harus kerja, kan? Ibu juga boleh kerja, tapi kan harus nemenin Anis, ya? Nah, nanti, kalo Anis sudah besar, Anis juga kerja kayak Ayah, okey?” Dan Anis selalu berbinar-binar jika ada ajakan “kayak ayah”.

Kami, saya dan Ayah Anis, terus belajar. Layaknya trial and error dalam memberi penjelasan tentang banyak hal kepada Anis. Utamanya agar kami tidak salah dalam mengarahkan, dalam membentuk pola pikirnya, yang akan sulit dibengkokkan atau diperbaiki jika kelak ia sudah semakin dewasa.

Jadi, apapun profesi Anis nanti, ibu dan ayah hanya ingin Anis MELAKUKAN HAL BAIK, MEMBAWA MENFAAT, dan MEMBUAT RABB-mu RIDHA, Nak. Itu lebih dari cukup, insyaAllah.

Allahu’alam bi Shawab.


Friday, March 12, 2021

RESUME DAY-5 ZONA 7 : Pentingnya Akil dan Baligh secara Bersamaan

 

Picture by pinterest

Bismillaah.

Parade Live Zona 7 Institut Ibu Profesional mengenai Pendidikan Seksualitas hari kelima berhasil digelar. Topik yang diangkat adalah ‘Pentingnya Akil dan Baligh secara Bersamaan’ dengan penyaji materi dari Kelompok 20 (IP Lampung dan IP Lamongan). Lima orang presentator lintas regional yang bertugas kali ini adalah  Mbak Eka Yunita, Mbak Zuhroh Zerlina, Mbak Fitria Purnomowati, Mbak Nahdia Tannaqi dan Mbak Euis Karlina, menyampaikan materi secara bergiliran selama kurang lebih 40 menit.

Dalam topik lima ini saya dapat merangkum beberapa hal:

1.        Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, akil adalah berakal, cerdik, pandai. Merupakan kata serapan dari bahasa Arab, aqil. Kemudian, akil ini dapat diartikan dengan berakal, memahami, mengetahui.

2.      Baligh adalah seseorang yang sudah mencapai usia tertentu yang sudah dewasa, sudah memahami perubahan biologis yang menjadi tanda-tanda kedewasaan (Rasjid, 2010:83). Dalam tahap ini, seseorang tersebut diharapkan sudah bisa memahami hukum syariat dan dibebankan kepadanya segala hukum tersebut.

3.      Akil dan baligh diharapkan dapat terjalin secara simultan, atau setidaknya akil telah terbentuk lebih dulu sebelum adanya baligh.

4.      Sebelum seseorang mendapatkan baligh-nya, ia diharapkan telah memahami dengan baik dirinya, identitasnya, dan mampu berpikir dan menggunakan akal pikirannya tersebut dengan baik.

5.      Dampak hadirnya akil dan baligh yang tidak seimbang:

a.      Galau, karena terjangkit krisis identitas yang bisa sangat berpengaruh pada pergaulannya.

b.      Problem oriented. Setiap mendapatkan suatu masalah, yang bersangkutan belum bisa fokus pada solusi yang seharusnya dilakukan, tetapi terlalu memikirkan masalah itu sendiri.

c.      Resiko pornografi dan pergaulan bebas dalam konteks seksualitas. Hal ini dikarenakan telah berkembang dan matangnya organ dan perangkat seksual tanpa pondasi kedewasaan berpikir (akil) yang mampu menjadi barrier.

6.      Hal yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak agar dapat mencapai akil baligh secara seimbang:

a.      Menekankan kesadaran sebagai orang tua bahwa rumah adalah institusi pendidikan yang pertama dan utama bagi anak.

b.      Membiasakan anak pada realita dan melatihnya agar bisa survive dengan kehidupan sebenarnya, alih-alih terlalu menjaga yang justru melemahkan mental dan daya juang anak.

c.      Membentuk mental dan fisik anak agar menjadi kuat dan berdaya juang tinggi, dengan bersikap berani, tega, tegas, dan konsisten.

d.      Membentuk anak saat 7 tahun menjadi orang yang mulai bertanggung jawab pada dirinya sendiri.

e.      Menumbuhkan daya talar, logika, dan daya pikir anak untuk memecahkan masalah-masalahnya, serta gambaran sebab akibatnya.

f.        Mendukung anak untuk aktif berorganisasi.

g.      Mengajak anak untuk melatih diri dalam memperoleh kemandirian finansial sejak memasuki fase remaja/dewasa awal.

h.      Kembalikan peran ayah dalam pendidikan anak-anaknya.

7.      Skema pembagian peran orang tua berdasarkan rentang usia:

a.      Usia 0-2 tahun : anak dekat dengan ibu

b.      Usia 3-6 tahun : anak dekat dengan ayah ibunya secara seimbang

c.      Usia 7-10 tahun : anak dekat dengan orang tua yang sesuai gendernya, misalkan anak laki-laki dekat dengan ayahnya, anak perempuan dengan ibunya.

d.      Usia 10-14 tahun : anak dekat dengan orang tua yang lintas gender, misalkan anak laki-laki dekat dengan ibunya, anak perempuan dengan ayahnya.

e.      Usia 15 tahun : tuntas mencapai kesiapan fitrah seksualitasnya. Pada usia ini, anak sudah menjadi mitra orang tua.

8.      Hal yang dapat dilakukan orang tua terhadap anaknya yang berada pada masa akil baligh:

a.      Mengenalkan tentang perubahan-perubahan yang terjadi karena pubertas, dan meyakinkan anak bahwa itu semua adalah hal normal.

b.      Terus menanamkan rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan pada anak.

c.      Segera pisahkan kamar anak dengan orang tua, dan anak laki-laki dengan anak perempuan.

d.      Menjadi sahabat bagi anak, yang dapat dijadikan tempat terpercaya untuk berbagi, diskusi, bertanya akan hal-hal yang akan banyak berubah pada diri anak seiring pubertas tersebut.

e.      Mulai menjelaskan lebih lanjut mengenai fungsi organ reproduksi laki-laki dan perempuan secara lebih mendalam.

f.        Lebih menekankan anak akan tanggung jawab secara agama. Perihal beribadah secara disiplin dll.

g.      Terus membimbing dan mendampingi anak untuk banyak mencari tahu tentang akil baligh dan segala hal yang berkenaan dengannya, baik melalui media buku, internet, dll.

Allahu’alam bi shawab.

Thursday, March 11, 2021

RESUME DAY-4 ZONA 7 : Peran Ayah dalam Pengasuhan untuk Pendidikan Seksualitas

Picture by pinterest

Bismillaah.

Parade Live Zona 7 Institut Ibu Profesional mengenai Pendidikan Seksualitas hari keempat telah dilaksanakan. Topik yang diangkat adalah ‘Peran Ayah dalam Pengasuhan untuk Pendidikan Seksualitas’ dengan penyaji materi dari Kelompok 16 (IP Jakarta 2). Lima orang presentator yang bertugas kali ini adalah  Mbak Ratih Nurlita, Mbak Nurindah Fitria, Mbak Talitha Rahma, Mbak Hera dan Mbak Zeneth Thobarony menyampaikan materi secara bergiliran selama kurang lebih 35 menit.

Dalam topik 4 ini saya dapat merangkum beberapa hal:

1.        Banyak kasus tentang penyimpangan seksualitas disebabkan oleh hilang atau kurangnya figur ayah dalam kehidupan mereka.

2.      Peran ayah sebagai project leader memiliki kedudukan penting dalam pembangunan proyek keluarganya, sehingga keberadannya harus dipastikan terpenuhi.

3.      Peran ayah tak melulu sosok ayah kandung. Dalam beberapa kasus dan keadaan, seperti perceraian, meninggal dunia, maka peran ayah tetap harus diadakan dengan menghadirkan sosok role model segi maskulinitas lain, bisa kakeknya, pamannya.

4.      Fatherless coutry  merupakan kondisi suatu negara yang menunjukkan gejala tidak adanya peran, keterlibatan secara signifikan, dan juga kehangatan sosok ayah di dalam masyarakatnya.

5.      Indonesia menduduki peringkat ke-tiga dunia setelah Amerika, dalam klasifikasi Fatherless Country. Dari predikat ini kita mendapatkan sedikit gambaran mengenai isu penyimpangan dan atau kekerasan seksualitas yang marak terjadi di negara kita ini memiliki asal muasal dari mana. Dan tentunya hal ini perlu menjadi perhatian khusus semua pihak terkait, di mulai dari level terkecil komunitas yaitu keluarga.

6.      Menurut pakar parenting Ustadz Bendri Jaisyurrahman, rusaknya perilaku anak muda saat ini adalah buah dari kegagalan keluarga memproduksi anak-anak yang tangguh, dan salah satu penyebabnya spesifiknya adalah kondisi father hunger, yaitu haus akan sosok ayah.

7.      Tantangan ketidakhadiran sosok ayah:

a.      Ayah terlalu sibuk mencari nafkah

b.      Pelaku LDM (Long Distance Marriage)

c.      Ayah sudah tiada

8.      Keikutsertaan seorang ayah dalam pola pengasuhan dan pendidikan, termasuk dalam hal ini adalah pendidikan seksualitas, akan membawa dampak berupa rasa nyaman, aman, dan terpenuhinya bejana kebutuhan kasih sayang ayah bagi anak. Sehingga, anak tidak perlu lagi kebingungan tentang identitasnya, karena akan lebih mudah ter-plot. Dan anak pun tak perlu mencari-cari hal yang mampu memenuhi bejana kebutuhannya yang belum terisi, dari lingkungan luar yang sangat beresiko membawa problematika penyimpangan dll.

9.      Peran ayah dalam menumbuhkan fitrah seksualitas:

a.      Sang ego dan individualis

b.      Pembangun sistem berpikir

c.      Raja tega

d.      Penanggung jawab pendidikan

e.      Pembangun visi dan misi

f.        Supplier maskulinitas

g.      Konsultan pendidikan

10.   Langkah seorang ayah dalam menyikapi tantangan ketidakhadirannya dan tetap menjalankan perannya sebagai pembentuk fitrah seksualitas:

a.      Seorang ayah harus paham akan peran dan kewajibannya di dalam keluarga. Upgrade ilmu parenting itu bukan hanya harus dilakukan oleh seorang ibu. Nyatanya, ayah pun butuh dan harus terus belajar untuk mendapatkan perkembangan ilmu kepengasuhan dan rumah tangga, yang akan membuatnya tak hanya sekadar tahu, tetapi juga paham. Dengan paham, kesadaran akan lebih mudah terbentuk.

b.      Ayah wajib meluangkan waktu untuk keluarga, dalam hal ini utamanya adalah anak-anak. Memberikan waktu dengan mindfulness untuk mereka merupakan bentuk investasi yang hasilnya akan dirasakan di masa yang akan datang. Jika menyia-nyiakan bentuk investasi ini, bersiaplah untuk menyesal dengan hasil yang kurang memuaskan di kemudian hari. Ingat, ayah adalah seorang penanggung jawab utama dunia akhirat bagi keluarganya.

Allahu’alam bi shawab.

 

Wednesday, March 10, 2021

RESUME DAY-3 ZONA 7 : Peran Orang Tua dalam Membangkitkan Fitrah Seksualitas

Picture by pinterest

Bismillaah.

Parade Live Zona 7 Institut Ibu Profesional mengenai Pendidikan Seksualitas hari ketiga telah dilaksanakan. Topik yang diangkat adalah ‘Peran Orang Tua dalam Membangkitkan Fitrah Seksualitas’ dengan penyaji materi dari Kelompok 12 (IP Depok). Empat orang presentator yang bertugas kali ini adalah  Mbak Alvinda, Mbak Dwi Risnawati, Mbak Nurullah, dan Mbak Azhari menyampaikan materi secara bergiliran selama kurang lebih 35 menit.

Dalam topik 3 ini saya dapat merangkum beberapa hal:

1.        Fitrah adalah apa yang menjadi kejadian atau bawaan manusia sejak lahir.

2.      Harry Santosa di dalam bukunya, Fitrah Based Education, mengemukakan bahwa fitrah manusia terdiri dari delapan aspek, yaitu Fitrah Keimanan, Fitrah Perkembangan, Fitrah Bahasa dan Estetika, Fitrah Jasmani, Fitrah Seksualitas, Fitrah Individualitas dan Sosialitas, Fitrah Belajar, Fitrah Bakat.

3.      Fitrah Seksualitas adalah bagaimana seseorang berpikir, merasa dan bersikap sesuai dengan fitrahnya sebagai laki-laki atau perempuan.

4.      Pendidikan Fitrah Seksualitas dimulai sejak lahir.

5.      Tujuan pendidikan Fitrah Seksualitas:

a.      Anak mengetahui identitas seksualnya

b.      Anak mampu berperan sesuai dengan identitas seksualnya

c.      Anak mampu melindungi diri sendiri dari segala bentuk kejahatan seksual

6.      Dampak dari kurangnya peran orang tua sejak usia dini:

a.      Perasaan terasing

b.      Perasaan kehilangan attachment

c.      Depresi

d.      Penyimpangan sosial dan seksual saat beranjak dewasa

7.      Ayah dan ibu dapat saling mengisi peran yang didasarkan pada fitrah masing-masing untuk kemudian menjadi role model utama dan pertama anak dalam memahami fitrah seksualitasnya.

8.      Pada usia 0-2 tahun, pendidikan fitrah seksualitas sudah mulai dapat dilakukan, dengan memberikan ASI eksklusif jika memungkinkan, sebagai bentuk pemenuhan fitrah seksualitas ibu terhadap anaknya.

9.      Pada rentang usia 0-2 tahun, baiknya mulai dibiasakan untuk tidak mengumbar aurat di muka umum, seperti menyusui di tempat umum tanpa penutup, mengganti pakaian anak di tempat public dll.

10.   Secara sederhana mulai di-sounding tentang jenis kelamin anak di rentang usia 0-2 tahun ini.

11.     Fase usia 3-6 tahun, anak sudah mampu menyebutkan identitasnya secara seksual, ‘saya laki-laki’ atau ‘saya perempuan’.

12.    Di usia 3-6 tahun ini, kedekatan anak kepada ayah dan ibunya dibentuk secara imbang. Diharapkan anak dekat dengan kedua orang tuanya untuk pengenalan peran gender secara general.

13.   Wajib hukumnya menjawab pertanyaan anak berkenaan dengan seksualitas (atau tentang hal lain pun) dengan baik, benar, apa adanya. Yang disesuaikan adalah cara penyampaiannya.

14.   Pada rentang usia 7-10 tahun anak telah memasuki fase mempersiapkan aqil baligh, sehingga tahap ini diharapkan setiap anak telah matang mengetahui identitas seksualnya dan mampu menumbuhkannya menjadi potensi.

15.   Di usia 7-10 tahun ini, anak disarankan untuk lebih dekat dengan orang tua dengan jenis kelamin sama, misalnya anak laki-laki didekatkan dengan ayahnya, anak perempuan dengan ibunya. Hal ini dilakukan untuk memenuhi tangki gender utama pada setiap anak (anak laki-laki dengan maskulinitas 75% femininitas 25%, anak perempuan dengan femininitas 25% maskulinitas 25%).

16.    Pada usia 7-10 tahun, anak mulai diberikan tanggung jawab sederhana dan biarkan mereka mengembannya dengan mandiri, salah satunya dalam hal merawat kebersihan diri dan organ intim.

17.    Fase 7-10 tahun ini, masing-masing anak sudah mulai diwajibkan untuk menutup auratnya secara utuh.

18.   Fase anak 10-14 tahun disebut dengan fase mukalaf. Di fase ini biasanya anak mulai matang sistem reproduksinya sebagai penanda mulainya tahap aqil baligh.

19.    Kebalikan dari fase 7-10 tahun, pada fase mukalaf ini pendekatan orang tua agak berbeda. Anak diharapkan mampu mengisi tangki 25%-nya, yaitu tangki femininitas pada anak laki-laki dan tangki maskulinitas pada anak perempuan. Sehingga, pada usai ini, anak laki-laki mulai lebih didekatkan dengan ibunya, dan anak perempuan dengan ayahnya.

20.  Rentang usia di atas 14 tahun seorang anak sudah bisa dikatakan seutuhnya aqil baligh, sehingga pada fase ini anak sudah dapat dijadikan mitra oleh orang tuanya, bukan sebatas anak-anak.

21.    Bentuk penyimpangan seksualitas, isu-isu kekerasan dalam seksual maupun rumah tangga, sangat dapat terjadi karena adanya fitrah yang tercederai di masa kecilnya.

Allahu’alam bi shawab.