Hai, namaku Akira. Bukan, tak ada darah Jepang di diriku. Nama itu hanya simbol pemberian orang tua, sebatas itu.
Aku menyukai bunga mawar. Tak harus ia berwarna merah atau putih, mawar layu pun aku suka. Tak ada alasan spesial untuk itu. Nyatanya, kecantikan mawar memang cukup mampu untuk menarik afeksiku. Semua orang tahu, mawar dan aku, seperti jodoh yang tak bisa bersatu. Tentu saja, bagaimana bisa kupersunting setangkai bunga?
Namun, lelaki itu terlalu jenius, jika dapat kubahasakan. Memanfaatkan celah kesukaanku, ia merayu. Ketika pintu diketuk, tak pernah kunyana akan hadirnya di balik sana, menggenggam sebuket mawar yang sangat indah. Kutebak, mungkin dua puluh tangkai terikat oleh satu untaian pita berwarna emas.
Dia tersenyum, buket mawar pun berpindah dalam pelukanku. Masih jelas teringat degupan jantung yang sulit kuatur saat itu. Ritme yang menantang dan memabukkan.
Tak ada kata cinta atau gombalan manis merayu mendayu. Dari tegapnya ia membawa diri, kentara sekali romatisme kata bukanlah keahliannya. Tak apa. Karena ia telah menyuguhkan bentuk romatisme lain padaku, yang justru dengan sukses meluluh-lantakkan benteng keangkuhan yang selama ini kubangun.
Aku heran, mengapa tak ada rasa jemu sama sekali baginya. Setiap tiga hari sekali muncul dengan buket mawar berbeda, baik warna, jumlah, atau ukuran. Kali ini, hanya satu. Namun, mahkotanya selayak Ratu Elizabeth yang berhak atasnya. Warnanya merah kehitaman, batang lebih kokoh dan keras, dengan duri lebih besar dan banyak.
Sempat ragu aku untuk menerima uluran tangan berisikan mawar kali ini. Namun, senyumnya meyakinkanku bahwa tak ada yang perlu diragukan. Mawar ini berduri, tetapi lelaki itu seolah siap untuk mengobati luka jikalau memang itu terjadi. Kuterima tangkai itu, dan aww, darah menetes dari telunjuk yang tak menyadari akan tajamnya duri di mawar yang ia sentuh.
Namun, mengapa lelaki itu pergi menjauh? Membiarkan tetesan darah mengalir di antara mawar dan kulitku. Aku terhenyak, tak kuasa memanggilnya. Ia pergi dengan senyum yang tergores sama indahnya pada saat ia memberikan buket-buket bunga. Mengapa bisa ia begitu jahat padaku? Setelah membelaiku dengan keindahan sesaat, menggiringku pada luka, dan kini ia angkat kaki masih tanpa kata.
Dari mawar aku belajar akan kewaspadaan. Bahwa di balik keindahan,
jangan terlena hingga membutakan akal dan logika. Saat rasa bermain peran,
pastikan selalu akal tetap ikut bersamanya, beriringan. Agar tak ada lagi kisah
mawar yang mungkin akan menjadi episode baru dengan cerita yang sama.
No comments:
Post a Comment