Kami duduk berdua,
menikmati seruputan latte panas
dengan kudapan kukis cokelat seadanya. Menu yang sangat biasa. Namun,
kehangatan yang terjalin buah dari percakapan antar hati, membuatnya menjadi
luar biasa. Sesekali kudapati ujung matamu menangkap sisi lain dari wajahku.
Kau mencuri pandang dan aku hanya berpura-pura tak tahu. Aku senang caramu
memperhatikanku. Sangat alami dan sedikit malu-malu. Terlihat jelas betapa
belum berpengalamannya dirimu tentang rasa. Kita hanya dua insan polos yang
berusaha untuk lebih mengenal dunia. Ya, dunia kita berdua.
Ponselku berbunyi.
Tertulis ‘Abah’ di layarnya dengan notifikasi pesan masuk. Segera kubuka dan
kubaca dengan seksama isinya. Benar, pesan itu datang dari ayahku. Sebenarnya
beliau adalah sosok yang menyenangkan. Bahkan, hobi melontarkan leluconnya
sudah sangat dikenal oleh orang terdekat. Hanya saja, mengenai pergaulan
anak-anaknya, beliau sangat ketat. Aku sebagai satu-satunya anak perempuan,
menjadi sorotan utama beliau dalam menjaga dan memperlakukanku. Terkadang aku
senang dengan hal itu, tetapi tak jarang aku merasa tidak nyaman karenanya. Bagi
Abah, jangankan pacaran, untuk pergi dengan teman lelaki saja sudah termasuk
hal yang dilarang. Jika Abah tahu bahwa saat ini aku sedang bersama Lukas
bersantai di pelataran kedai kopi sambil berkelakar, tamatlah riwayatku.
‘Kau di mana? Sudah menjelang magrib ini. Segera
pulang!’
Panik aku dibuatnya.
Tanda seru di akhir seperti menegaskan perintah yang tak terbantahkan. Namun,
aku masih merasa sangat nyaman dengan Lukas. Kebersamaan ini yang telah lama
kunantikan. Sebelumnya, aku hanya bisa memuja dia dalam diam. Bahkan, hingga
saat ini aku masih tidak menyangka bahwa Lukas, sosok yang sangat aku kagumi
sejak di bangku Sekolah Menengah Atas, akhirnya menjadi milikku. Pekan
Orientasi Mahasiswa Baru yang berandil akan terjalinnya hubungan ini. Saat
acara penutupanlah dia menyatakan maksud dan isi hatinya padaku. Yang kuingat,
suasana agak dingin berembun karena hujan dan aku sangat tidak bisa berpikir
jernih untuk sekedar mempertimbangkan hal lainnya, kecuali menerima cintanya.
“Hmm, ini Abah udah nyuruh pulang. Mungkin, lain kali
kita bisa bikin moment lagi?” tanyaku penuh harap dan ragu. Harap untuk mendapatkan
persetujuan Lukas tentang pertemuan selanjutnya dan ragu untuk menyudahi hari
ini. Mimik muka Lukas sangat santai hingga sulit ditebak isi hatinya. “Now? Seriously?! Syifa, ini baru pukul
lima sore, lho!” jawabnya dengan senyum yang tetap merekah. Aku semakin dibuat dilema.
Senyum itu, ah, terlalu renyah untuk kulewati begitu saja. Bilakah aku bisa
menambah satu jam saja kebersamaan ini, artinya senyum itu akan tetap bisa
kunikmati. ”You know him, lah!
Perintahnya adalah titah,” sahutku diikuti tawa yang kurang menyenangkan untuk
didengar, tawa penuh kesinisan. “Baby,
kamu bisa bilang kalau ada tugas makalah kelompok, kan?” Pertanyaan yang lebih
menggambarkan pernyataan. Tanpa diskusi selanjutnya, kebohongan pun akhirnya
terkirim ke ponsel Abah melalui beberapa kata dalam pesan singkat.
‘Syifa masih harus mengerjakan makalah kelompok
untuk besok, Bah. Secepatnya Syifa pulang setelah selesai.’
SENT
Kusimpan ponsel di
dalam tas. Aku hanya ingin bermain dengan senyum renyah itu tanpa distraksi
saat ini.
Tanpa terasa, dua jam
lewat dari terakhir kali Abah mengirim pesan. Aku buka kembali ponselku. Tidak
ada jawaban dari pesan terakhir ataupun panggilan yang tak terjawab. Sejenak
kumerasa lega. Mungkin akhirnya Abah menyadari bahwa anaknya kini sudah dewasa.
Tidak selamanya bisa mengikuti jadwal pulang yang ditetapkan. Pergeseran jam
malam sudah seharunya diberikan padaku, mengingat kewajiban pun kian bertambah
mengenai perkuliahan. Walaupun untuk saat ini, ada kedok kebohongan juga di
dalamnnya. Tugas fiktif untuk waktu memadu kasih yang jelas sangat dilarang
olehnya.
Lukas mengantarku
hingga halte bus dekat rumah. Rasa takut ketahuan sudah tentu alasannya. Di
halte itu aku turun dari Ninja berwarna
biru miliknya. Saat akan kubuka helmku, tanganmu dengan sergap membantu melepaskannya.
Wajahku memerah. Mungkin ini jarak terdekat yang pernah aku alami dengan Lukas.
Tangannya mengenai tanganku yang berusaha membuka tali pengikat helm.
Dilanjutkan wajahnya mendekati kunci tali pengikat helm yang berjarak tak lebih
dari sejengkal dengan wajahku. Kurasakan napasnya. Klik. Kunci tali pun terbuka, dia menarik lepas helm yang kugunakan
dengan perlahan, meninggalkan rona wajahku yang seperti habis terbakar.
“Sampai jumpa besok, Princess! Thanks for the
precious time,” kulihat mata kirinya yang bening mengerjap dengan penuh
godaan. Juga ciuman jarak jauh yang dia hembuskan bersama lambaian tangannya.
Hari ini terlalu sempurna.
“Syifa! Syifa! Anak
gadis kok melamun saja, sih? Cepat itu bantu Ibumu! Sebentar lagi keluarga Haidar
datang, kan? Kau bahkan belum bersiap,” teriakkan Abah membuyarkan episode lain
tentang hidupku yang selama ini hanya sanggup diputar dalam layar imajinasi.
Haidar adalah calon
tunanganku yang masih terpaut ikatan persepupuan jauh. Tentu saja pertunangan
ini akan berujung pada pernikahan dalam waktu dekat, tanpa banyak persetujuan
dariku secara pribadi. Mereka menyebutnya perjodohan, aku menamainya penyunatan
takdir. Bagaimana tidak, aku tidak diberikan ruang untuk menentukan takdirku sendiri
untuk jalinan yang justru akan dijalani olehku. Bahkan hanya untuk sekedar memperjuangkan
cintaku, tak ada kesempatan itu.
Lukas, selalu
kusematkan ia dalam doa. Bersama dengan datangnya keajaiban dari Tuhan, kuharap
kami dapat dipersatukan. Cintaku padanya sangat tulus dan dalam, dan dia tidak
pernah tahu itu. Aku hanya mampu memandangnya dari jauh di sekolah hingga kampus
dan juga memainkan perannya di dalam episode khayalku. Dia nyata, tetapi
terlalu mustahil bagiku yang berlatar keluarga dengan penarik garis keturunan
baku seperti ini.
Hari ini, kuakhiri
hubungan dalam angan-angan antara aku dan Lukas. Dengan dibacakannya Fatihah,
artinya berpindahlah kepemilikan akan diriku kini, dari Abahku untuk Haidar.
Bulan depan pernikahanku akan digelar. Seluruh teman di kampus akan diundang, termasuk
Lukas. Bayang-bayang akan senyum renyah itu kuharap akan segera pudar. Tergantikan
oleh senyum lelaki di hadapanku saat ini, yang sedang berusaha untuk kucintai.
Dear
Lukas,
mantan impian yang hanya mampu terkuburkan, untuk pertama dan terakhir ingin
kuungkapkan I Love You.
Bandung, 16 Agustus 2020
No comments:
Post a Comment