Kugores. Semakin lama semakin panjang dan dalam. Hingga terasa hangat yang mulai menetes, turun terjatuh menodai selimut putih gading milikku. Noktah merah. Dan lalu kusadari kembali, ini sudah cukup. Ku letakkan jarum peniti itu di atas buku harian berwarna cokelat menguning, warna dedaunan kering.
***
Kicau burung parkit yang biasa membangunkanku, hari ini tak terdengar. Baiklah, aku terlambat. Ku lirik jam digital melalui ponselku, astaga, 8.15 AM. Seharusnya aku bangun lebih awal pagi ini. Fawaz, suamiku, akan pulang. Ya, kami adalah pejuang Long Distance Marriage, sudah berjalan cukup lama. Tepatnya, sejak ibuku didiagnosis mengidap Schizophrenia. Kakakku yang bertugas jauh di salah satu negara Semenanjung Arab sana kurang memungkinkan untuk memberikan perawatan dan perhatian intensif untuk beliau. Terlebih kendala keluarganya, seorang istri yang sedang hamil tua dengan 2 orang anak yang masih bersekolah, terlalu rumit untuk sebuah kepindahan tiba-tiba. Aku yang merupakan anak ke-dua, bungsu, juga satu-satunya perempuan, pastilah diharapkan kesediaannya. Bersyukur memiliki suami yang sangat mencintai orang tua seperti Fawaz, setidaknya untuk hal ini amat sangat ku syukuri. Fawaz yang bekerja di perusahaan kilang minyak, di daerah Kalimantan Timur sana, dengan ikhlas merelakanku kembali ke Jakarta, dan membiarkan dirinya menjadi "suami single". Dengan penuh kerendahan hati aku sangat berterimakasih padanya, sungguh.
Bergegas ku bersiap untuk rentetan meeting hari ini. Well, sekedar informasi, aku bergelut di bidang konsultasi desain interior, sebagai pekerja freelancer. Ketika hidup bersama Fawaz di Balikpapan saat itu, aku mengabdikan diri sepenuhnya menjadi istri di rumah. Berusaha menjadi "nyawa" terbaik semua; suami dan anak semata wayang kami, Havana. Sejujurnya, tak sepenuhnya inginku. Aku yang terbiasa independent financially dan juga sibuk sejak zaman kuliah dulu, agak "kurang menerima" kenyataan bahwa Fawaz menginginkanku menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Alasan klasik, "Havana membutuhkanmu dan aku masih sangat mampu menopang biaya rumah tangga ini". Memang perkara ini tidak sempat kami diskusikan dengan baik sebelum menikah. Maklum saja, perjodohan antara kami berjalan begitu cepat. Tak lebih dari 3 bulan perkenalan, kami menikah.
"Apa yang membuatmu menerimanya, Ning?" Pertanyaan yang sebenarnya aku sendiri tak tahu jawabannya. Yang kuingat, ibu sangat terpesona pada kesantunannya, juga cara dia mencintai ayah ibunya. Kala itu, suara ibu yang paling mempengaruhiku. Bukankah ridho seorang ibu akan menjadi kebaikan bagi anaknya?
***
"Baru pulang mas? Udah makan?" Kulihat jam di dinding, 11.23, tujuh menit menuju pergantian hari. Kesibukan bukan hal baru untuknya. Dengan office hours 08.00 - 17.00, merupakan hal sangat langka dia bisa meninggalkan kantor pukul 17.00 tepat. Namun, hampir tengah malam pun bukan kebiasaan lumrah baginya. Setidaknya pukul 21.00 dia selalu sudah berada di rumah. Dan hari ini adalah kali ke-tiga dalam seminggu terakhir dia pulang terlalu larut malam.
"Mas, kerjaan lagi banyak ya di kantor? Pulang larut, muka lusuh, ada masalah?" Akhirnya ku buka pertanyaan juga. "Iya, lagi banyak audit, maaf ya, besok-besok kamu enggak usah nungguin aku, kalo jam 9 aku belum pulang, kamu istirahat aja." Kemudian dia menarik selimutnya dan membelakangiku. Tak lama dari itu, dengkuran terdengar.
Sejak malam itu, Fawaz pulang semakin larut dan hampir setiap hari. Tak masalah bagiku jika semuanya beralasan. Namun, banyak kudapati kejanggalan, yang dari waktu ke waktu kian mengusikku. Muka yang semakin lusuh ketika sampai rumah, perilaku yang datar dan dingin padaku ketika malam dan kembali lembut dan normal saat pagi berangkat kerja, juga pernyataan Sena, istri dari Bhakti, rekan kerja Fawaz, yang menyatakan bahwa tidak ada kesibukan audit atau apapun itu, dan katanya juga, baru saja dicairkan bonus tahunan beberapa hari lalu. Bukan, tentu bukan aku mengharapkan uang dari bonus itu, tapi terlalu aneh bagiku, bahwa dia tidak ada sedikitpun bahasan mengenainya. Padahal biasanya segala sesuatu terbuka mengenai keuangan keluarga. Ada apa ini? Mungkinkah dia....
Hujan tak biasanya menyapa pagi di kota ini. Lumayan membawa sedikit kesejukan di tengah panasnya Balikpapan. Havana masih tidur dengan pulas setelah begadang semalam karena demam. Ahh, aku bisa sejenak beristirahat setelah melepas Fawaz ke kantor nanti. Namun, tetiba ku dengar suara dari kamar mandi, seperti seorang yang siap memuntahkan seluruh isi perutnya. Segera ku hampiri. Berlututlah Fawaz dengan wajah menunduk menghadap lubang toilet. Cairan kuning kecokelatan terus keluar dari mulutnya. Aku mendekat, memberi pijatan pada tengkuknya. Setelah isi perut seakan habis, dia terkulai. Segera ku papah dia menuju sofa ruang tengah, ku baringkan dengan posisi ternyamannya. Ku siapkan teh hangat dan minyak kayu putih untuk membuatnya merasa lebih baik. Sedikit ku pijit-pijit punggungnya, tak lama dia tertidur.
Ponsel Fawaz berdering. Terlihat nama Office Geri di layar. Aku mengenalnya. Pernah sekali Fawaz mengajaknya makan malam di rumah kami. Geri adalah rekan satu bagian dengan Fawaz di kantor. Aku pikir, biar ku angkat saja teleponnya, sekaligus ku kabarkan bahwa Fawaz dalam kondisi kurang sehat, dia butuh istirahat.
"Ya ampun, Bro, akhirnya di angkat juga. Kemana aja sih? Udah 2 hari enggak masuk kerja, dihubungin susah. Tuh si Bos udah makin garang aja nanyain progres laporan terakhir. Kan sebagian data mentahnya di elu. Wah, kacau nih!"
"Oh, maaf. Ini Kemuning. Kebetulan Fawaz keliatan kurang sehat, tadi sempet muntah dan sekarang dia tertidur. Saya angkat teleponnya karena sekalian buat menginformasikan juga ke pihak kantor."
"Eh, maaf maaf. Saya pikir tadi Fawaz yang angkat. Ooh, jadi dia sakit? Aduh, kenapa dia enggak ngabarin kita sih. Apalagi ini kan udah hari ke-tiga dia absen. Seharusnya pihak personalia juga tau."
"Hari ke-tiga? Hmmm, kemarin dan kemarinnya lagi dia tetep ngantor kok, baru hari ini dia sakit di rumah."
"Oh. Kok aneh. Fawaz udah enggak masuk kantor sejak 2 hari lalu, handphone-nya pun susah dihubungi. Wah, gini aja ya mbak Kemuning, saya minta tolong, sampaikan ke Fawaz untuk menghubungi saya secepatnya saat dia sudah bangun. Makasih banyak ya mbak."
Sambungan telepon sudah terputus. Tapi ponsel masih tetap menempel di telingaku. Kaget. Bingung. Kemana Fawaz dua hari ini? Bukankah dia tetap izin berangkat kerja seperti biasa kemarin?
"Mama mama, Vana pingin susu!" Havana sudah bangun. Dia membawaku kembali menapak bumi. Ku letakan ponsel Fawaz di rak buku semula dan membuatkan secangkir susu untuk Havana. "Yaa Tuhan, ada apa ini sebenarnya?" Batin dan pikiranku sibuk.
Membersamai anak 3 tahun memang menyita banyak perhatian, ditambah dengan mengurus rumah tanpa asisten rumah tangga. Sehari rasanya kurang untuk hanya 24 jam. Fawaz terbangun, dan kehidupan berjalan normal. Kuajak dia ke rumah sakit untuk pemeriksaan tapi dia menolak. Dia berkata hanya butuh istirahat sejenak. Pikiran yang mengusik pun seakan tenggelam, oh bukan, terpaksa tenggelam, oleh kesibukan menyiapkan makan siang semua, menyuapi Havana, menemaninya bermain, mengeloni tidur siangnya, membersihkan rumah yang terus berantakan oleh balok mainan atau masak-masakan, dan segudang kegiatan harian lainnya. Tanpa terasa matahari pun tak lagi menampakan wujudnya. Siang berganti senja, senja berganti malam.
"Mas, gimana? Sudah enakan?"
"Aku sudah jauh lebih baik. Maaf ya jadi lebih merepotkanmu hari ini."
"Mas kok ngomongnya gitu sih. Syukurlah kalo memang sudah enakan. Hmm, mas, boleh aku tanya sesuatu?"
"Mau nanya aja sampe permisi hehe, ya tanya aja dong, Ning."
"Tadi pagi waktu kamu tertidur lagi, Geri nelpon, aku angkat aja, aku pikir sekalian aku bisa mengabari kantor bahwa kamu sakit. Tapi dia......" Belum sempat ku selesaikan kata-kataku.
"Sejak kapan kamu jadi lancang begitu, Kemuning? HP itu privasi ku, baiknya kamu memegang dengan seizinku! Aku juga enggak suka sentuh-sentuh HP -mu kan? Karena aku menghargai privasimu!" Entah apa yang membuatnya tiba-tiba terduduk kembali saat sudah rebahan menuju tidur, lalu bersikap offensive seolah yang ku lakukan adalah suatu kesalahan besar. Aku terpaku. Tak bisa melanjutkan kalimatku. Fawaz lelaki yang tegas, aku tahu itu, tapi dia bukan orang temperamen seperti ini.
***
"Selamat siang, dengan mbak Kemuning?" Nomor tidak ku kenal meneleponku. Aku pikir, mungkin client atau rekanan. "Betul, saya Kemuning. Maaf ini dengan siapa? Ada yang bisa saya bantu?" Tangan ku masih sibuk menulis deskripsi rancangan desain permintaan seorang client. "Saya Dinda, teman mas Fawaz. Saya mau minta maaf secara personal sama mbak Kemuning." Lalu, tut tut tut. Sambungan terputus. Langsung ku buat sambungan balik ke nomor bersangkutan. "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, silakan coba beberapa saat lagi." Tit.
Nomor telepon asing. Seorang wanita. Teman. Meminta maaf.
Ku putar haluan. Segera ku lakukan speed dial nomor 1, berusaha tersambung ke "my hubby". Nada sibuk. Ku coba kembali. Masih. Hingga usahaku kesekian kali, akhirnya nomor itu tidak aktif. "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif. Co......." Dengan cepat ku putus sambungan tak terjawab yang mulai menaikpitamkan tersebut. "Sialan!!" Tanpa sadar umpatan terlontar dari bibir Surakarta-ku, yang sangat tabu dengan itu.
Ku tinggalkan rancangan desain yang sedang digarap. Hanya ponsel, dompet dan kunci Nissan yang ku bawa bersamaku. Di balik kemudi, aku hanya terdiam. Aku tak tahu harus kemana, tapi adrenalinku terus memburu dan memaksa untuk maju. Cepat nyalakan mesinnya dan melaju, tancap gas sekuat kau bisa, Kemuning. Tanpa alasan, tanpa tahu arah tujuan, decitan roda Nissan mengiringi gerungan mesin, meninggalkan tempat kini ku berada, laju, sangat laju.
Siapa wanita itu? Maaf untuk apa? Fawaz dan dia? Apa sebenarnya di balik ini semua? Mengapa terlalu banyak rahasia?
Mataku seperti tertuju pada hamparan jalan besar nan lengang di siang itu. Cukup lengang hingga mampu memfasilitasi laju mobilku dengan kecepatan 100 km/jam pada speedometer-nya. Namun, pikiranku meliar. Penuh pertanyaan. Semakin bertanya, semakin gas ku tancap, tanpa terasa. Seolah tiap pacuannya menghempaskan sedikit beban di dalam jiwa.
Telepon Fawaz tetap tidak aktif. Entah sudah berapa ribu kali ku coba menghubungi, nihil. Sudah lewat 5 jam sejak wanita itu meneleponku dengan misterius, dan selama itu pula aku tak tahu bagaimana nasib suamiku. Andai bisa, aku ingin menandangi kantornya saat ini juga. Tapi kami memiliki jarak terpisah samudera. Arghh.
Kemuning, tenang. Tunggulah dia. Malam ini dia akan kembali, bukan?
Bandara. Ya, benar. Aku akan menunggunya di bandara. Aku sudah tak bisa menunggu terlalu lama lagi.
"Ning, kemana malam-malam begini? Bukannya Fawaz mau pulang?"
"Iya, bu. Kemuning mau jemput mas Fawaz di bandara ya. Havana sudah tidur, bu. Ibu juga istirahat ya. Assalamu'alaykum."
Aku tak tahu apa yang ibu katakan selepasku. Semua seperti bias. Otak ku sesak. Yang ada hanya aku, tentangku. Juga ngiangan pertanyaan yang tak berhenti menjegalku.
Terminal kedatangan domestik dari maskapai yang selalu menjadi langganannya. Aku disitu. Menunggu. Setelah ku pastikan jam penerbangan Balikpapan - Jakarta malam itu, sesuai yang Fawaz kabarkan tempo hari.
Semua penumpang pesawat dengan penerbangan Balikpapan - Jakarta sudah keluar gate terminal kedatangan. Untuk memastikan, aku tanyakan pada petugas yang sedang berdinas disana. Semua sudah keluar. Baik penumpang dan bagasi, semua. Lalu kemana suamiku? Kemana Fawaz?
Aku hanya duduk di kursi penunggu antrian bus Damri, tepat di seberang terminal kedatangan. Kosong, tak seperti siang hari. Aku diam, duduk. Tatapanku kosong. Cemas, kesal, bingung, tak berdaya. Semua rasa membuatku lemas. Aku hanya ingin diam saat ini. Mungkin akan tetap diam disitu hingga fajar menyingkap, bila saja tak ada telepon dari ibu, menanyakan keberadaanku.
"Lho, mana Fawaz, nduk?"
"Enggak ada, bu. Dia ada tugas mendadak jadi menunda kepulangan." Sudah pasti, aku berbohong. "Muning ke kamar dulu ya, bu." Kutinggalkan saja ibu kebingungan di ruang tengah yang sudah temaram.
***
"Mas, hari ini bisa pulang agak cepat? Aku kurang enak badan. Havana bisa main denganmu dulu sebentar?"
"Aku usahakan ya, tapi aku enggak janji. Beberapa superintendent baru sudah datang, aku harus men-training mereka."
Dan akhirnya aku disini. Sendiri. Oh, tidak. Dengan puteriku, Havana. Aku cek termometer, aku demam. Kepalaku berat sekali. Setiap bangkit dari duduk atau rebahan, bumi seakan berputar. Gawat, vertigo-ku kambuh. Havana yang sangat bertingkah hari ini, benar-benar mengujiku. Sebenarnya bukan salah dia. Yang dia lakukan hanya selayaknya anak usia 3 tahun kebanyakan. Banyak bereksplorasi, mulai membantah, moody yang tak bisa ditebak. Secara teori aku paham tentang itu, buah melahap buku parenting dan kuliah daring yang kadang aku ikuti. Tapi, kehidupan tak semudah teori rupanya. Walau tekadku memaksa tuk menjadi ibu sempurna bagi Havana, nyatanya, kondisi yang "apa-apa serba sendiri" ini merobohkan idealisku. Jika sudah begini, aku hanya bisa melarikan diri ke kamar mandi, dan menenangkan diri.
Menangis. Berteriak dengan membekap mulutku. Bahkan tak jarang, ku benturkan kepala ke dinding. Tak ada rasa sakit sama sekali. Tetapi saat ku bercermin, kemudian kutemukan beberapa lebam di dahi.
Semakin parah sejak Fawaz berperilaku aneh akhir-akhir ini.
***
Alih-alih tertidur, saat tiba di kamar aku segera membuka aplikasi penyedia jasa penerbangan dari ponselku. Booked. Payment, confirmed. Satu seat untuk penerbangan Jakarta - Balikpapan. Lusa, flight terpagi, pukul 04.55 AM. Besok aku akan mendatangi adik bungsu ibuku di daerah Serpong, untuk memintanya menemani ibu dan Havana sementara waktu. Sembari menyiapkan beberapa hal sebelum aku meninggalkan Jakarta keesokan harinya.
***
Setahun sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di bandara ini. Sepinggan. Tak terlalu banyak perubahan, kecuali beberapa ekspansi ruangan yang membuatnya semakin luas, dengan kondisi penumpang tidak sepadat di Soekarno-Hatta pikirku.
Pukul 08.05 WITA. Sebaiknya aku langsung mendatangi kantor Fawaz dan menemuinya disana. Ya, ide baik. Aku pesan lewat aplikasi, mobil yang akan mengantarkanku ke kantor suamiku.
Suasana kantor di pagi hari selalu terlihat "hidup" dan sibuk. Biasanya, mereka akan mengadakan apel pagi sebelum memulai hari. Petugas keamanan yang berjaga di pintu masuk menyapaku. "Ada yang bisa dibantu, bu?" Wajah yang asing. Pasti telah terjadi pergantian karyawan selama aku pergi.
"Ah, iya. Saya mau bertemu suami saya, Pak Fawaz. Bisa?"
"Oh, sebentar saya akan hubungkan ke bagian receptionist. Sudah ada janji temu sebelumnya?"
"Belum, pak. Saya dadakan datang, kebetulan saya dari luar kota."
Belum sempat menuju receptionist, Geri keluar dari pintu lift dan melihatku.
"Kemuning?"
"Ah, hei, Ger. Kebetulan banget kamu ada. Aku mau ketemu Fawaz, dia sudah dateng?"
Geri mengernyitkan dahi.
"Bukankah ini jadwal cuti pulang dia? Aku pikir juga begitu. Karena dia juga enggak datang di apel tadi."
Seperti ada setruman listrik menghujam dada.
Aku bertolak menuju rumah dinas kami. Perutku seperti diaduk. Mual. Tanpa terasa ku gigiti jari jempol tangan kananku, hingga terkelupas, berdarah. Kubiarkan saja. Aku tak peduli dengan jari sialan ini.
Lampu teras rumah dinas masih menyala. Seperti sedang ditinggal pergi jauh pemiliknya. Aku memastikan. Berputar aku menuju pintu belakang. Ku coba membuka pintu, klek, terbuka. Aku selalu tahu kebiasaannya. Saat berada di rumah, pintu belakang jarang sekali dia kunci.
Aku segera menyisiri ruangan di lantai 1, sepi, kosong. Bergegas ku menuju lantai 2. Kamar kami, dulu, kosong. Namun, kamar Havana terbuka sedikit pintunya. Aku mendekati. Ku buka lebih lebar. Ya Tuhan, apa ini?
Kasur berantakan. Gorden yang tertutup meski matahari telah tinggi. Sampah kertas, plastik makanan, botol dan kaleng minuman, berserakan. Dan, di atas meja kutemukan barang yang terlihat asing bagiku. Barang yang selama ini hanya ku lihat di film ataupun berita. Satu set alat hisap juga beberapa bungkus kecil bubuk putih di sebelahnya. Serta beberapa tablet berukuran kecil berwarna putih.
Kepalaku pening. Tak bisa ku bendung isi perutku yang sedari tadi teraduk-aduk. Berlari ke kamar mandi, ku muntahkan semua. Ketika ku dengar langkah di belakangku, "Fawaz...." Aku panggil namanya, tapi yang tampak justru sosok lelaki lain. Aku kenal dia. Teman satu klub tenis Fawaz, Diandra. "Kemuning?" Tak bisa dia sembunyikan kekagetannya. Tak lama kemudian, Fawaz tampak di belakangnya, dengan wajah yang tak kalah kagetnya.
"Tolong jelaskan! Apa ini?!" Mereka terdiam. Hanya duduk di sofa ruang tv dan memandangi karpet yang berdebu tebal.
"Fawaz, aku mohon, jangan kau bunuh aku perlahan dengan tetap diam seperti itu. Ada apa ini??!" Air mata sudah tak terhitung jatuh berderai.
"Kemuning, maafkan aku. Maafkan Fawaz. Ku mohon!" Diandra tetiba berlutut di hadapanku, menangis.
"Tidak, Kemuning. Ini salahku. Maafkan aku. Kau boleh hukum aku, apapun. Tapi tolong jangan tinggalkan aku, dan jangan sakiti Diandra. Please....."
Setelah semua yang terjadi, dia masih memintaku untuk TIDAK MENYAKITI Diandra? Seperti tidak peduli pada sakit yang ada padaku.
"Kemuning, maafkan aku. Ini aib, ini salah, tapi aku sangat MENCINTAI Fawaz, mungkin seperti kau mencintainya."
Ada yang menghantam keras sekali jantungku. Sakit. Kemudian gelap.
***
Memaafkan itu sulit, tapi kulakukan. Namun, terlalu berat bagiku menerima kenyataan. Menerima dirinya, apa adanya, masih berupa kemustahilan, untukku, saat ini.
Wanita yang menghubungiku kala itu, dia lah istri Diandra. Dinda, yang menurutku adalah wanita hebat. Dia telah lama mengetahui ketidaknormalan pada suaminya, tetapi dia tetap mendampingi. Dia selalu berpikir bahwa suatu saat semua kan kembali seperti semula. Cintanya pada Diandra mampu mengenyahkan segala sakithatinya. Dia yang menghadapi kenyataan bahwa suaminya adalah pemakai obat-obat terlarang. Dia yang menghadapi kenyataan bahwa cinta suaminya telah terbagi dua, untuk lelaki lain, Fawaz, suamiku.
Kini, aku berusaha menjadi bentuk lain dari Dinda. Tapi bukan karena cintaku, ya mungkin masih tersisa cintaku diantara ke-jijik-an ku padanya. Namun, aku bertahan untuk Havana. Dia masih butuh sosok ayahnya. Tak lagi banyak pintaku pada suami tercinta,
tolong, setidaknya, berpura-puralah menjadi ayah normal untuk Havana.