Picture by YourQuote |
Awalnya, saya agak bingung mau nulis apa malam
ini. Buntu. Hanya bulak-balik buka handphone,
laptop, sambil menyimak dua kuliah
daring dan satu live Facebook. Sampai akhirnya, semua event selesai dan waktunya menulis.
Namun, tetap blank, no idea. Duduk
melototin layar, jari sudah stand by di
keyboard, tapi gagu harus ketik apa. Berkali-kali, ketik-hapus,
karena sebuntu itu kondisinya.
Akhirnya, memilih untuk membuka Youtube dan memainkan salah satu playlist saya di situ. Ta daaa…
Living alone
I think all of the friends I’ve known
When I dial the telephone
NOBODY’S HOME
Alunan suara penyanyi kesukaan saya dari
zaman SMP dulu menjadi pengisi nomor satu pada list malam ini. Lagu berjudul All
by My Self versi Celine Dion pun saya resapi. Hmmm, entah suatu kebetulan
atau apa, tapi rasanya isi liriknya lumayan mengena juga.
Dan hari ini, salah satu teman di genk
masa perkuliahan saya berulang tahun. Seperti biasa, grup whatsapp yang biasanya sepi seperti tak berpenghuni tetiba ramai.
Saling memberi ucapan selamat kepada yang berulang tahun. Tradisinya seperti
itu. Maklum, kebanyakan rekan-rekan saya itu adalah ibu-ibu ranah publik, saya
cukup paham akan kesibukannya yang menyita waktu dan membuat atensi hanya
terfokus untuk keluarga dan pekerjaan.
Celotehan salah satu teman saya, “Wah,
kalau ada yang ultah gini tuh jadi suka inget moment dulu kulineran sana sini saling traktiran setiap ultah.”
Ya, kami yang se-genk ber-sebelas orang
itu memiliki kebiasaan untuk saling traktir ketika berulang-tahun. Karena
anggotanya banyak, yang artinya akan spend
lebih banyak uang juga untuk traktiran, maka biasanya kita ada rapelan.
Yang ulang tahun berdekatan disatukan traktirannya, jadi tidak terlalu
memberatkan.
Dulu, sangat mudah untuk make time dan pergi sana sini, terlepas
dari masalah pandemi yaaa.
Namun, semakin kita tua, saya semakin
sadar bahwa lingkar pertemanan semakin menyempit. Yang pada zamannya dirasa
sangat dekat, solid, best friends forever
deh pokoknya, satu per satu terkikis. Hilang.
Faktor fokus tadi salah satunya.
Prioritas masing-masing sudah bergeser. Keluarga, pekerjaan, dll. Akhirnya
menempatkan perihal pertemanan di jajaran sekian, and I think that’s quiet normal.
Saya pribadi menerima kondisi ini, yaitu
mengerucutnya dunia sosialisasi saat semakin menua. Terlebih untuk kami yang
memilih ranah domestik, sangat terasa. Hanya saja, terkadang saya merasa rindu
dengan kebebasan masa lalu. Ya, benar, saya rindu berkumpul dengan teman-teman,
cerita ngalor-ngidul yang sedikit mengandung unsur gibah (Astagfirullah), bertemu tanpa banyak pertimbangan, ahhh.
Mungkin, tidak semua kondisi ibu ranah domestik
sama. I mean, merasa sulit untuk
bersosialisasi seperti ini. Jika saya lihat dari beberapa teman, masih juga ada
yang berkesempatan untuk saling kumpul bersama. Namun, kebanyakan mungkin lebih
seperti saya. Karena kadang saya melihat curhatan ibu-ibu di komunitas yang
saya ikuti, memiliki keluhan sama.
Hidup ada fasenya.
Jika sesekali kita berlaku seolah ‘mengeluhkan’,
mungkin itu hanya output dari adjusting diri ini yang sedang berusaha
berdamai dengan kondisi. Buat saya, dalam level ini, mengeluh tak selamanya
haram, selama kita tahu porsi keluhannya sejauh mana dan bagaimana.
Sama seperti saat kita bersin, batuk, itu
respon yang timbul karena adanya benda asing yang masuk ke tubuh, bukan? Dan
tubuh berusaha untuk menetralkan kembali, maka jadilah bersin dan batuk
tersebut.
Begitu pun dengan psikis. Saat dihadapkan
pada kondisi yang baru, tak sama seperti dulu, mental kita pun akan membaca screening ini yang kemudian
mem-validasinya. Dan respon kita terhadap hal tersebut kadang kala berupa kesah
sementara, ya, mengeluh.
Namun, kita ini kan masih diberi
perangkat penyeimbang lainnya yaa, yaitu akal. So, ketika kesah timbul, tak apa untuk merilisnya, tetapi jangan
lupa tetap membawa logika kita serta, agar keluh-kesahnya tidak lama-lama dan
menjadi lebay. It’s okay not to be okay ^^