Picture by Pinterest |
Kotak musik itu
menjadi saksi akan satu fase kehidupan yang hampir terlupakan. Ya, teralihkan
oleh fokus dunia untuk masa kini yang mengiming-imingi masa depan. Sedikit
banyak membuat kita kurang menyadari bahwa ada bagian dari masa lalu pun yang
mungkin layak untuk diingat. Dan di situlah dia berada. Di antara serakkan
cerita lampau yang dibalut dengan bingkai kenangan.
***
“Ini buat kamu.” Kedua tangannya
menggenggam kotak berukuran sedang dengan tatapan agak malu. Kentara sekali
berusaha untuk menyembunyikan air muka yang mungkin memerah, tetapi juga tak
ingin melewatkan mimik gadis di hadapannya, aku.
“Apa ini?” Bukan pura-pura tidak
tahu. Kernyitan yang hampir menyatukan dua ujung alis ini menjadi bukti. Antara
ragu untuk menerima kotak berbungkus kertas kado berwarna merah muda itu, atau
lebih baik membiarkannya saja hingga pertanyaan terjawab satu per satu.
“Ya, buka aja! Mudah-mudahan kamu suka.” Matanya menangkap pandangku. Saling
beradu sesaat. Kemudian ia palingkan wajahnya ke arah luar jendela. Salah
tingkah.
Kelas itu kosong. Wajar saja,
jam istirahat membawa hampir seluruh penghuninya menuju kantin atau sekadar
mengembalikan buku perpustakaan. Kutahu dengan sengaja ia tetap tak beranjak
mengikuti kawan-kawannya saat bel berbunyi tadi. Lebih memilih untuk menolak
ajakan mereka dengan dalih melengkapi catatan pelajaran sebelumnya.
Aku? Masih asyik dengan novel
terbaru yang secara rutin kubeli setiap tanggal satu. Hasil menyisihkan uang
jajan bulanan yang diberikan oleh papa. Dan di tanggal-tanggal itu, aku lebih memilih
untuk membenamkan diri dengan bacaan hasil jerih payah, ketimbang
berdesak-desakkan di kantin atau kegiatan lain ala jam istirahat.
“Kado? Tapi ulang tahunku udah lewat, lho!” Tetap kedua tanganku
tak berkutik. Kotak di hadapan masih tak tersentuh. Bukan karena tidak mau.
Namun, jika dikatakan malu, ya aku pun begitu.
Remaja di hadapanku hanya
menarik seulas senyum yang terlihat kaku. Melirik ke sana dan ke sini, berusaha
mengontrol diri. Dengan gugup diletakkannya kotak tersebut di mejaku. “Ngasih kado ga harus pas ulang tahun aja, kan?” Kemudian ia melengos pergi.
Aku yang bingung dan penasaran,
akhirnya meletakkan novel dan mulai mencari tahu tentang kotak di hadapanku.
Kuangkat, sedikit kugoyangkan. Bunyi benda keras tumpul beradu dengan kertas
karton terdengar. Diiringi sedikit dentingan yang sulit kutebak.
“Apa sih ini?” Aku bergumam pada
diriku sendiri sambil terus meneliti kotak manis yang kini telah berada di
genggaman. Ragu-ragu kucoba mencari simpul lipatan. Rasanya sayang untuk
merobeknya. Mungkin bisa sedikit kuintip melalui perekat yang kubuka perlahan.
Saat mulai kutemukan simpul tersebut, bel tanda masuk kelas pun berbunyi. Kelas
mendadak riuh kembali. Kuhempaskan sesaat kotak merah jambu ke dalam ransel
jinggaku, terlupakan hingga waktu pulang sekolah tiba.
***
Bel
pulang sekolah memang dibuat lebih panjang dibandingkan bel istirahat. Menggema
ke seluruh penjuru gedung bercat krem, yang disertai riuhnya para murid. Tak
ada yang tak menantikan jam pulang sekolah, termasuk aku. Dengan sigap
kurapikan buku pelajaran terakhir beserta alat tulisnya. Saat hendak kumasukkan
ke dalam tas, tersembul kertas kado merah jambu yang membawa ingatanku kembali
pada kotak pemberian tadi.
‘Oh,
iya. Kado darinya belum kubuka.’ Masih monolog.
“Yuk,
Di!” Ajakan sahabat untuk pulang bersama mengagetkanku. Kutepis lagi pikiran tentang
kotak itu, segera membereskan seluruh perkakas belajar dan menyusul Isti yang
telah menunggu di depan kelas sambil berbincang dengan kawan lainnya.
Kami
berpapasan di gerbang sekolah. Kini aku yang tak mampu menangkap tatapnya.
Menghindari lebih baik, sebelum ia bertanya tentang nasib kotak pemberiannya.
Benar, yang masih belum kubuka sama sekali.
Namun,
dia hanya tersenyum, seperti tahu tentang gelagatku. Dilajukannya motor tua
pemberian ayahnya, tanpa meninggalkan sepatah kata. Oh, dia menyapa. Namun,
bukan padaku, tetapi berpamitan kepada sahabat yang berjalan beriringan
denganku, Isti. “Ti, duluan ya!” Dan melesatlah si roda dua.
‘Kenapa
sih dia. Ngasih kado ke aku, tapi
malah aku yang dicuekkin.’ Sedikit
mendengus. Meski hanya di dalam hati.
Dan
kami, aku dan Isti, meninggalkan area sekolah, menuju rumah masing-masing.
Jarak yang tak terlalu jauh hanya membutuhkan kedua kaki untuk mengantarkan
kami setiap hari.
Setibanya
di rumah, langsung kumenuju kamar. Menyalakan pendingin ruangan, berganti
pakaian, rebahan sejenak sebelum membantu mama menyiapkan makan malam yang
kesorean. Seperti itu rutinitasnya.
Kotak
itu kembali mampir dalam ingatan. Bangkit kembali dari rebahku, menuju meja
belajar di mana ransel sekolahku bertengger di sana. Agak sedikit tak sabar
kubuka tasnya, langsung kucari kotak merah jambu dengan tak mengindahkan
buku-buku yang agak terlipat-lipat dibuatnya. Kotak itu berukuran sedang,
seperti yang telah kuceritakan. Lumayan mengambil banyak ruang di tas yang tak
begitu milikku.
Kembali
meragu untuk membukanya, meski kini kotak merah jambu telah berada di pangkuan.
‘Hmm,
buka aja, deh! Biar nanti pas dia tanya nasib kotak ini, aku bisa
jawab.’ Benar-benar sesederhana itu pikiranku. Pikiran remaja kecil di bangku
kelas tujuh.
Seperti
niat di awal, kubuka lipatan per lipatan secara perlahan, hati-hati. Tak ingin
merusaknya. Lumayan, mungkin bisa dipergunakan kembali bungkusnya nanti.
Sebuah
kotak bertuliskan MUSIC BOX terpampang di sana. Aku tercengang sesaat. Yang
kemudian kulanjutkan membuka kotak kardus yang kini sudah semakin memberikan
pencerahan tentang isinya.
Kotak
itu berwarna merah jambu, senada dengan kertas pembungkusnya. Saat dibuka,
terdapat cermin kecil di alas tutupnya. Diikuti penari balet yang
berputar-putar seperti mengikuti irama yang dihasilkan oleh seperangkat mesin
yang tertanam di dalamnya. Mesin tanpa baterai, tetapi mampu mengalunkan nada
klasik yang indah.
Dan
itu adalah kotak musik pertamaku, yang sedari bangku sekolah dasar dulu sangat
kuidamkan. Berdasarkan cerita komik yang membawa khayalku untuk memiliki benda
serupa. Namun, belum berani untuk meminta mama atau papa, karena mereka pasti
menanyakan fungsi dari setiap apa yang akan dibelinya.
Segera
kuambil ponsel sederhana dengan gantungan kucing putih dari sisi lain meja.
Kubuka halaman mengirim pesan, kuketik nama penerima [Dave Schoolmate],
dilanjutkan dengan isi pesan :
[Hei, makasih banyak kadonya. Aku suka
banget. Thanks.]
Kotak
musik itu kini telah hilang ditelan pergantian generasi. Namun, karena ia
adalah kotak musik pertamaku, kenangannya akan tetap tertinggal, meski sempat
terkubur jauh di bawah gundukan kesibukan akan hidup di masa kini.
Karena
yang pertama akan lebih berkesan, hukumnya tetap seperti itu.
No comments:
Post a Comment