Dear my only one bear, Muhammad
Anis,
Apa kabarmu, Nak?
Saat kamu membaca surat ini, mungkin Ibu sudah semakin menua. Namun, mudah-mudahan
masih diberikan kesempatan untuk membersamaimu, ya? Aammiin.
Nak, dulu sekali, Ibu menanti
kehadiranmu dengan penuh harap, selama kurang lebih lima tahun. Meskipun Ibu
tak pernah mengikuti progam menunda kehamilan apapun, tetapi ternyata Allah
memang memberikan sesuatu sesuai takarannya. Mungkin kala itu, Ibu dirasa belum
cukup mampu untuk mendampingi anak luar biasa sepertimu, sehingga penantian pun
dirasa layak dan setimpal.
Tertanggal 26 Januari 2017, si
garis dua merah yang selalu dirindukan pun akhirnya menampakkan hilalnya.
Betul, Nak. Itu hari di mana Ibu diberitahu akan keberadaanmu di dalam rahim
ini oleh Allah. Rasanya? Tak cukup kata menggambarkan. Terlalu bahagia, terlalu
antusias, terlalu haru. Terlebih saat Ibu tahu bahwa kandungan ini telah
memasuki usia delapan minggu. Allahu Akbar, MasyaAllah. Bagaimana bisa selama
itu Ibu tidak menyadari keberadaanmu?
Waktu bergulir. Minggu per minggu
dilewati tanpa ada keluhan yang berarti. Kamu menemani Ibu yang kala itu masih
bertugas di ranah public. Namun, kamu masyaAllah kuat, hebat. Kita melewati itu
semua hingga akhirnya Ibu memilih untuk fokus hanya padamu, di waktu usiamu
dalam rahim Ibu sekitar enam bulan.
Dan tanggal 9 September 2017,
tangisan pertamamu membuahkan titik air mata haru Ibu di ruang operasi itu. Kita
berhasil, Nak. Kamu bisa melihat dunia, Alhamdulillaah ‘ala kulli haal.
Seiring waktu kamu pun bertumbuh,
menjadi anak yang, aktif, ceria dan ramah. Melalui fase-fase perkembangan
dengan luar biasa cepat. Ibu masih ingat tanggal di mana kamu pertama mencoba
untuk berguling, duduk, merangkak, makan, berjalan, tumbuh gigi, semua masih
terekam dengan jelas di memori, Nak. Hingga kini, saat Ibu menulis surat ini,
kau pun telah berusia tiga tahun satu bulan, masyaAllah.
Harapan Ibu tentu banyak padamu.
Namun, utamanya, Ibu ingin kau menjadi anak yang mampu memegang akhirat di atas
dunia, juga menjadi sosok yang mampu berdaya, dengan atau tanpa Ibu, dan
siapapun.
Karena saat manusia dilahirkan itu
sendiri, Nak, dan kelak akan kembali ke pangkuan Maha Pemilik Hidup dalam
kesendirian pula.
Maka, jika Ibu membiarkanmu untuk
memenuhi kebutuhanmu sendiri sejak dini; makan, berpakaian, mengambil sesuatu,
dan lainnya, itu bukan karena Ibu tega dan tidak ingin memanjakanmu. Namun,
justru bentuk sayang Ibu. Karena tak selamanya Ibu akan selalu bersamamu, dan
jika saat itu datang, Ibu ingin kau tetap kuat dan merasa siap.
Untukku, sukses membersamaimu bukan
ketika membuatmu sangat bergantung padaku. Jutsru, saat Ibu bisa melepasmu
dengan kesiapan untuk menghadapi dunia dan akhirat di atas kakimu sendiri, itu
tolak ukur sukses bagi Ibu.
Percayalah. Masa di mana kau akan
mengamini apa yang Ibu maksud saat ini akan tiba, insyaAllah.
Namun, satu hal yang perlu kau
ingat selalu, Nak. Ibu sangat sayang padamu. Sayang yang tak berukur dan tak
pernah bisa terukur.
Semoga niat Ibu untuk
memandirikanmu dapat membawa dampak kebaikan besar untuk kehidupanmu kelak.
Pahit saat ini, manis di waktu
nanti, insyaAllah.
Peluk cium untuk jagoan Ibu. Allah
selalu bersamamu.
Bandung, 22 Oktober 2020
With love, Ibu
No comments:
Post a Comment