Picture by Amazone |
Cukup banyak telah
kita bahas mengenai pemahaman seks, seksualitas, gender dan fitrah. Wah,
lumayan berat ya materinya. Terkesan berat karena kita harus melawan arus paradigma masyarakat. Yup, tentang ke-tabu-annya. Walaupun ternyata, setelah diikuti
ilmunya, seks itu bukan tentang hal negatif, ya? Itu hanyalah bagian dari hal mendasar
pada diri seseorang.
Jujur, dalam
penerapannya, membumikan seks dan seksualitas pada Anis itu memang
gampang-gampang susah. Alasan pertama, karena minimnya pengalaman. Maklum, kami
baru memiliki satu anak, sehingga belum ada gambaran tentang hal ini
sebelumnya.
Alasan kedua, menyamakan
persepsi dengan lingkungan. Sama seperti topik hangat di kalangan parenting, semisal : meng-ASI-hi atau
susu formula, lahir per vaginam atau SC, ibu bekerja atau stay at home mom, semua menjadi isu yang tidak berujung.
Masing-masing membawa pendapatnya, dan sebenarnya tidak ada salah dan benar
yang baku juga di antara keduanya.
Dalam hal pengenalan
seks dan seksualitas ini yang paling menantang bagi saya pribadi adalah
lingkungan terdekat, yaitu keluarga. Saya dan suami berasal dari keluarga yang
beragam latar belakangnya. Dan kebanyakan, dari para sesepuh, mereka memiliki
cara berbeda tentang mengenalkan hal ‘tabu’ ini, apalagi dengan peruntukkan
anak-anak.
Sama seperti
masyarakat Indonesia pada umumnya, sebagian sesepuh kami pun meyakini bahwa
pendidikan seperti itu tidak perlu terlalu banyak disinggung pada anak. Karena
secara naluriah dan alamiah, anak pun akan mengetahuinya.
Belum lagi, karena
alasan ‘tabu’ tersebut, mereka lebih mengenalkan istilah-istilah tidak baku
pada anak. Mulai dari penamaan alat genital misalnya. Padahal, hak anak untuk
tahu nama umum dari anggota tubuh mereka, bukan? Sama halnya seperti kita
mengenalkan mulut, hidung, mata, tangan, telinga dan sebagainya. Karena,
menurut saya, semakin dibuat-buat, si anak justru semakin bertanya-tanya, “Kenapa
harus dipake nama-nama aneh, ya?” Yang akhirnya, akan terbentuk pemikiran bahwa
menyebut alat kelamin itu ternyata hal yang tidak baik/tabu.
Sebenarnya,
sesepuh-sesepuh kita itu pun tidak salah. Karena mungkin mereka mengikuti apa
yang mereka dapat dari generasi-generasi sebelumnya. Namun, ketika saat ini
kita telah mengetahui hal yang seharusnya berdasarkan perkembangan ilmu, ada baiknya
kita upayakan untuk memutus mata rantai. Kita ubah cara sebut alat genital kita
dengan nama ilmiahnya dan tak perlu mengolok-olok serta menjadikannya hal tabu.
Ternyata, jika kita
mampu bersikap konsisten terhadap anak untuk tetap mengenalkan nama-nama
tersebut dalam kehidupan sehari-hari, anak pun akan merekam kekonsistenan
tersebut dan membentuk suatu habit.
Sehingga, saat si anak terjun ke dunia yang beragam, dia akan tetap kembali
dengan habit yang telah ditegakkan dalam
kesehariannya. Dan lebih mencengangkan lagi, ternyata tanpa harus kita
menyeramahi para sesepuh tentang maksud kita, perlahan mereka yang akhirnya
mengerti bahwa anak kita memiliki cara berbeda dalam hal ini.
Hal lain yang sangat
menantang bagi saya dan suami dalam upaya membumikan seks dan seksualitas ini
adalah rasa malu. Benar, membuat anak mengerti rasa malu tanpa membuatnya tabu.
Cukup sulit.
Anak akan bertanya
banyak hal jika ada sesuatu yang tidak biasa. Semakin besar, keingintahuannya
akan semakin kuat dan sampai tahap itu akan lebih sulit bagi kita memberikan
penjelasan dengan konteks yang mudah diterima. Seperti contohnya, tidak boleh
berganti pakaian di muka umum, harus ada batasan tubuh yang boleh dilihat
apalagi disentuh oleh orang lain selain ayah ibunya, alasan mengapa harus tidur
terpisah dengan ayah ibu atau pun kakak adiknya. Oleh karena itu, saya dan
suami sepakat untuk membiasakan hal tersebut sedini mungkin yang kami bisa.
Kami di sini adalah saya, suami, dan Anis.
Saya dan suami
membiasakan untuk tidak mandi bersama Anis. Meskipun itu ayahnya sendiri yang
notabene satu jenis kelamin dengannya. Jika pun ada hal urgent yang mengharuskan mandi bersama, bilas setelah berenang
misalnya, suami akan tetap menggunakan pakaian dalam saat mandi bersama Anis.
Begitupun saya. Namun, sejak Anis menginjak usia 1.5 tahun, suami telah
melarang saya sepenuhnya untuk mandi bersama Anis. Alhamdulillah, sejauh ini
semua dapat diterapkan dengan adanya kerja sama dan kesepahaman antara ayah dan
ibunya.
Begitu juga dengan
buang air. Kami tidak membiasakan untuk buang air di hadapan anak. Jika
terpaksa harus sekali, saya akan tetap membiarkan Anis di depan pintu meskipun menangis,
dan saya akan bergegas dalam menyelesaikan kebutuhan jamban saya.
Alhamdulilllaah, sejak usia satu setengah tahunan, Anis sudah bisa mengerti jika
saya ijin untuk ke toilet. Kadang ia hanya berdiri tepat di depan pintu kamar
mandi untuk menunggu saya.
Termasuk kebiasaan
berhanduk setelah mandi. Sejak Anis mandi di kamar mandi, kami biasakan untuk berhanduk
rapi dulu sebelum keluar kamar mandi, meskipun di rumah sendiri. Walau Anis
mungkin belum paham tentang malu saat itu, saya dan suami selalu sounding setiap habis mandi, “Yuk, pake
handuk dulu yaa, dibuntel-buntel gini, biar ga malu.” Kini, usia Anis 3.5
tahun, dia sudah melakukan sendiri berhanduk itu. Jika kebetulan sedang
berkunjung ke rumah saudara dan mendapati anak seusianya keluar kamar mandi
bertelanjang bulat, dia mulai menegurnya.
Masih sangat banyak
PR yang harus kami selesaikan mengenai pendidikan seks dan seksualitas ini.
Seiring bertumbuhnya Anis, maka kasus per kasusnya pun akan meningkat. Nantinya
bukan sekadar perkara penamaan organnya saja, tetapi bagaimana kaitannya dengan
pubertas, hormonal, dll. MasyaAllah. Menjadi orang tua artinya belajar tiada
henti rupanya. Semoga selalu dimudahkan oleh Allah SWT.
Allahu’alam bi
shawab.
No comments:
Post a Comment