Picture by ampersandintergrative |
Bismillaah.
Setelah dua tulisan
sebelumnya saya membahas tentang definisi seks, seksualitas, gender, dan kaitannya
dengan fitrah, yang lebih cenderung kontekstual. Maka, tulisan kali ini saya
akan lebih banyak mengedepankan opini dan realita yang didasari oleh pengamatan
saya pribadi.
Jika kita sudah
memahami maknanya, mendapatkan gambaran tentang keberkaitannya dengan fitrah,
pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara untuk memberikan pengenalan topik
ini pada level usia dini.
Di masyarakat kita,
membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan seks, seksualitas, akan dianggap
tabu dan seperti tidak layak untuk didiskusikan. Alasan klise orang tua era
lama dan cukup membuat miris , “Yang kayak gitu sih ga usah di bahas, nanti
juga pada ngerti sendiri.” Pertanyaannya, pemahaman apa yang akan didapatkan
oleh anak-anak dengan cara self-observing
seperti itu? Akankah sesuai dengan kaidahnya?
Pemahaman akan pribadi
secara utuh, menurut saya, diawali dengan pengenalan tentang apa yang ada pada
diri kita dulu. Tentang tubuh dan perangkatnya, tentang akal, juga tentang
emosi. Berangkat dari hal dasar tersebut, seorang individu akan lebih mudah dalam
memahami diri sendiri dan juga menemukan jati dirinya. Kebanyakan dari remaja
kita memang cenderung telat dalam menemukan jati diri tersebut. Akibatnya, timbul
berbagai isu yang berkenaan dengan ‘kenakalan remaja’ atau ‘penyimpangan
karakter’ yang tak jarang malah terbawa hingga dewasa.
Termasuk di dalamnya
adalah mengenai seks sebagai identitas dasar. Kamu adalah laki-laki karena kamu
memiliki organ ini itu. Sedangkan kamu adalah perempuan karena yang kamu miliki
adalah ini itu. Nah, setelah mengenal jenisnya, selanjutnya kita berikan
pemahaman secara berkala mengenai fungsi-fungsi berikut penanganannya.
Misalnya, kita kenalkan tentang penis/vagina, selanjutnya kita beritahu bahwa
organ tersebut fungsinya untuk buang air kecil (pengenalan sederhana pada
tingkat usia dini). Setelah mereka mengetahui nama dan fungsinya, kita selipkan
ketentuan-ketentuan khusus, seperti, “Nak, penis/vagina harus selalu ditutup
yaa. Malu keliatan. Kecuali pas pipis/pupup/mandi” atau juga “Nak, yang boleh
megang penis/vagina adek cuma ayah, ibu atau dokter yaa. Yang lain ga boleh
megang itu. Malu.”
Tahap selanjutnya,
mulai memasukkan unsur fitrah ke dalam penjelasannya. Juga, penerapan budaya
dasar, seperti penggunaan rok untuk perempuan, sarung saat shalat untuk laki-laki,
mukena untuk perempuan, pita rambut untuk perempuan dll. Pengelompokkan perlu
bukan untuk mem-plotting, tetapi
lebih ke mengarahkan dan mempertegas identitas diri. Oleh karenanya, usahakan
untuk menggunakan budaya yang sangat mendasar dan general. Mengaitkan
sosioemosional dengan seks saya kurang menyarankan, seperti anak lelaki tidak
boleh menangis, anak perempuan harus lembut, anak lelaki harus kuat, perempuan
harus lebih sabar. Karena, pada kenyatannya, setiap manusia, baik laki-laki
maupun perempuan, pasti membutuhkan porsi emosi dengan ragam yang sama. Lelaki
boleh sedih, menangis. Perempuan pun boleh melawan, kuat.
Selanjutnya, budaya
yang tidak kalah penting adalah budaya malu. Dengan pengenalan rasa malu
(terhadap organ pribadi), maka secara alamiah bordering akan mudah terbentuk. Hal ini akan membantu si anak dalam
memberi batasan terhadap orang lain untuk ‘menyentuhnya’. Erat kaitannya dengan
upaya perlindungan diri, apalagi di masa yang semakin liar ini. Pemangsa hawa
nafsu berkeliaran dengan kedok yang beragam.
Selain malu, budaya
mencintai organ milik sendiri pun perlu. Anak diajak untuk memiliki sense of belonging terhadap tubuh dan
segala yang ada padanya. Dengan rasa memiliki ini, maka akan timbul rasa
menjaga dan merawat. Artinya, anak akan bertanggung jawab terhadap apa yang dia
punya.
Salah satu cara
mengenalkan budaya malu dan mencintai tubuh sendiri adalah dengan mencontohkan,
selain sounding secara terus menerus
tentunya. Sebagai orang tua, kita beri batasan untuk memperlihatkan tubuh kita
meskipun di hadapan anak sendiri. Bisa dengan cara tidak buang air atau mandi
bersama anak, juga meminimalisir penggunaan pakaian terlalu terbuka saat
bersama anak. Katakan pada mereka, “Ibu malu, Nak!” saat kita harus menutup
pintu kamar mandi ketika akan buang air, sedangkan anak ingin membuntuti
misalnya.
Begitu juga saat anak
semakin besar, mulai beri hak dia untuk memiliki kamar tidur sendiri. Ini
sangat penting untuk mengajarkan mereka tentang privacy. Apalagi jika memiliki anak yang terpaut perbedaan usia
berdekatan, dengan jenis kelamin berbeda. Menyatukan mereka dalam satu kamar
sangatlah tidak disarankan.
Secara teknis, masih
banyak cara dan metode untuk memberikan pengenalan sederhana mengenai seks dan
seksualitas pada anak. Biasanya akan disesuaikan dengan kondisi masing-masing
keluarga, dan juga kebiasaanya. Namun, hal yang harus digarisbawahi, jangan
memberikan kesan tabu untuk seks dan seksualitas. Karena pada dasarnya, makna
malu dan tabu itu berbeda dan akan membawa pada arah yang berbeda pula.
Allahu’alam bi shawab.
No comments:
Post a Comment