Picture by pinterest
Bismillaah.
Tulisan kali ini merupakan
lanjutan dari bahasan kemarin, yaitu mengenai pemahaman perbedaan gender dan
seks. Setelah membahas definisi secara harfiahnya, hingga dapat ditarik
simpulan mengenai perbedaan antara seks, seksualitas dan gender tersebut, maka
sekarang saya akan menarik garis hubung dengan fitrahnya.
Membicarakan fitrah
gender, yang notabene di masyarakat kita masih banyak mengarah pada sistem patriarki
(kaum lelaki lebih dominan atas kamu perempuan), tak jarang dan bahkan lumrah
dikaitkan dengan agama. Namun, sebenarnya, apakah benar agama mengusung adanya
perbedaan gender itu sendiri? Bagaimana pandangan agama yang sesungguhnya mengenai
laki-laki dan perempuan? Apakah gender yang berada di masyarakat kali ini
memang sudah sesuai dengan fitrahnya?
Sebelumnya, kita akan
menengok bersama terlebih dahulu tentang definisi fitrah itu sendiri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia :
Fitrah
:
sifat asal, kesucian, bakat, pembawaan
Menurut seorang ulama
Iran, Murtadha Muthahhari, fitrah
adalah keadaan yang dengan itu manusia diciptakan. Artinya, Allah telah
menciptakan manusia dengan keadaan tertentu yang di dalamnya terdapat
kekhususan-kekhususan yang ditempatkan Allah dalam dirinya saat ia diciptakan
tersebut, dan keadaan itulah yang menjadi fitrahnya.
Sebagai contoh, di dalam
penciptaan seorang perempuan, diberikan padanya perangkat ovarium yang mampu
menghasilkan ovum, juga rahim yang secara biologis mumpuni dilekatkan oleh
embrio (bakal janin). Dari dua realita tersebut, lahirlah fitrah pada
perempuan, yaitu mengandung/hamil. Jika ada pertanyaan atau pernyataan, “Mengapa
perempuan harus merasakan kesusahan mengandung sedangkan laki-laki tidak?” Ya,
cukup jelas jawabannya, karena memang tubuh perempuan diberikan perangkat untuk
itu sejak dilahirkan. Dan perangkat ini pun dibuat sangat sempurna, sinergis
dengan organ tubuh lainnya, hingga mampu menunjang segala sesuatunya. Jadi,
bukan karena perempuan dideskreditkan, tetapi memang fitrahnya seperti itu.
Namun, masalah kepengasuhan
anak tersebut kelak, apakah masih menjadi fitrah perempuannya (ibu) saja? Jika
merujuk pada konsep fitrah yang telah di bahas sebelumnya, saya dapat asumsikan
bahwa fitrah penuh perempuan berada pada setidaknya fase melahirkan, dan jika
memungkinkan hingga menyusui. Untuk ranah kepengasuhan, bukan lagi menjadi
fitrah perempuan seutuhnya. Artinya, bukan hanya ibu yang berkewajiban dalam
kepengasuhan, tetapi sosok ayah pun, atau mungkin figur lainnya. Sehingga, jika
kita melihat anak yang diasuh oleh nenek kakeknya, anggota keluarga lainnya,
atau pun oleh seorang pengasuh, itu bukan berarti ibu kandung dari anak
tersebut TIDAK BAIK. Karena, fitrah utama si ibu tersebut sudah dijalani, yaitu
mengandungnya dan melahirkannya.
Bila ibu tersebut lebih
memilih untuk mengurus anaknya sendiri, mengambil peran kepengasuhan secara
penuh, itu karena pilihan yang diambil oleh personal tersebut dengan
mempertimbangkan beberapa aspek tentunya. Misalnya, keinginan untuk menjadi
saksi perkembangan si anak secara langsung, keinginan untuk membangun bonding dengan si anak untuk investasi
komunikasi yang lebih baik antar ibu-anak di kemudian hari, atau pun kesadaran
secara penuh untuk menjadikan ranah tersebut sebagai ladang baginya dalam
beribadah dengan lebih baik (bila si ibu merasa ladang ibadah ia lebih baik
dalam bekerja di luar/membantu stabilitas finansial keluarga, maka itu pun
adalah pilihan baik baginya). Tidak ada yang salah dan benar dalam hal ini,
yang ada hanyalah sebab-akibat dan resiko dari setiap jalan yang diambil.
Islam, sebagai agama yang
saya yakini, tidak pernah mendoktrinkan
adanya gender dan pembedaan yang berakibat pada pengkastaan yang didasarkan
oleh seks/jenis kelamin. Tidak ada suatu ayat dalam Al-Quran yang menyatakan
bahwa laki-laki akan masuk surga sedangkan perempuan tidak, atau laki-laki
lebih baik dari pada perempuan. Yang membedakan keduanya hanya segi biologis
dan keimanan serta ketaqwaannya.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Q.S. An-Nahl
: 97
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang
yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya
walau sedikitpun.”
Q.S. An-Nisa : 124
Menurut Muhammad Nur Kholis dalam karya ilmiahnya yang berjudul Konsep Kelapa Keluarga antara Laki-laki dan Perempuan, jika kita masih melihat adanya kehidupan patriarki, atau pun kondisi di mana seks satu lebih mendominasi dari pada seks lainnya, maka itu semua tak lebih dari implementasi yang tidak menyeluruh dari ajaran agama tersebut, yang dipengaruhi oleh faktor sejarah, lingkungan, budaya dan tradisi yang terjadi di dalam masyarakatnya, sehingga menimbulkan sikap dan perilaku individual yang secara turun temurun.
Pada hakikatnya, eksistensi laki-laki dan perempuan merupakan suatu penyempurna bagi satu dan yang lainnya, untuk saling melengkapi dan mengisi ruang kosong masing-masing sehingga misi kehidupan akan terlaksana secara utuh. Tanpa mendasarkan pada baku gender tertentu.
Allahu’alam bi shawab.
No comments:
Post a Comment