Bismillaah.
“Anis, mau jadi fire fighter, ga?”
“Ga, ah! Anis mau jadi
OM SPBU aja.”
Dan percakapan
berakhir dengan Anis anteng berlama-lama menikmati menjadi petugas SPBU, tepat
ketika anak lain memilih untuk berseragam merah dan memadamkan miniatur hotel
yang (ceritanya) kebakaran.
Lain scene,
“Ayok, terus Ayah,
kiri kiri, terus, stop dulu Ayah, ya,
terus lagi lurus lurus!”
“Sip, Om, terus terus,
lurus aja oke. Kanan, Om, lurus lagi.
Eh, stop stop ada batu!”
Secara sepintas sudah
cukup jelas ya peran apa yang sedang Anis lakoni. Yup, betul, Bund!
“Anis suka jadi om
parkir, hebat soalnya.”
Dan siapa pun yang dia
temui hendak memarkirkan mobil, Anis sigap memberi aba-aba dengan penuh percaya
diri dan rasa bangga. Untung aja ga sampe julurin tangan nagih uang parkir ke
pengemudinya.
Namun, saat saya dan
Anis sedang duduk-duduk santai sambil ngobrol, dan kemudian saya tanya, “Anis
cita-citanya mau jadi apa, sih?”
“Anis mau jadi dokter,
Ibu, biar Anis bisa bantu orang sakit.”
Well,
so far, tiga profesi itu yang ‘setia’
jadi cita-cita Anis hingga saat ini. Kadang, waktu saya ceritakan profesi lain
atau ada yang dia lihat tentang pekerjaan lain, Anis suka tetiba pengen jadi
profesi tersebut, tapi hanya sesaat, dan kembali lagi jadi om SPBU, om Parkir,
dan dokter.
Bicara tentang
cita-cita Anis, “Anis sudah besar mau jadi apa, Nad?”
Hmm, untuk pertanyaan
macam ini, saya rasa kurang etis jawabannya keluar dari mulit saya ataupun
ayahnya (apalagi di luar itu wakakaka). WHY?!
Ehm, cita-cita adalah
hak anak untuk menentukannya, dan kita orang tua hanya sebagai pengontrol dan
konsultan aja. Itu menurut saya, lho, ya.
Kita boleh
mengarahkan, memberi gambaran tentang kebermanfaatan setiap pekerjaan, status
kehalalannya, prospeknya, dan itu harus. Biarkan Anis memperoleh informasi
sebanyak mungkin tentang hal itu, dan juga kesesuaian dengan realita. Ga perlu
kita menghebat-hebatkan satu profesi di depan anak hanya karena kita ingin dia
menjadi sosok itu. Ini merupakan bentuk otoriter terselubung menurut saya hihi.
Namun, sebelum lebih
jauh mengenalkan tentang profesi-profesi itu sendiri, ada hal mendasar yang saya
lebih kenalkan kepada Anis, yaitu tentang tujuan akhir kita hidup itu apa?
Apakah tentang berlimpah materi? Atau tentang mendapat sanjungan dan pengakuan
saja? Apakah sebatas dunia saja?
Berat? Iya, jika kita
menyampaikan kepada anak dengan bahasa teori, hehehe. Namun, jika kita
sampaikan dengan pemaparan dan aksi sederhana, insyaAllah anak pun akan lebih
mudah menangkapnya.
“Itu polisi, Nis. Dia
bantu kita nangkep penjahat. masyaAllah hebat ya, bisa bantu banyak orang.
Bikin orang ngerasa aman, ya?”
“Itu abah sampah, Nak.
Tuh, sampah-sampah dari setiap rumah dia ambilin, beresin. Jadi ga bau ya rumah
kita? Abah sampah udah ngebantu kita tuh, Nis. masyaAllah ya, makasih abah
sampah.”
“Guru itu ngajarin
banyak orang jadi pinter. Ibu, Ayah, semua pernah diajarin sama guru. Bu guru
bantu ibu yang ga ngerti ngitung jadi bisa. Bantuin Ayah yang ga bisa nulis
jadi bisa nulis sekarang.”
“Itu emang kerjaan
bapaknya jualan sayur, Nis. Saya kayak Ayah kerja bikin buku, bapak itu kerja
juga. Bantu Ibu, mami-nya Kakak Arkhan, biar ga usah susah-susah kalo mau beli
sayur. Baik, kan?”
Semuanya bermanfaat.
Semuanya membawa kebaikan, berbuat hal baik juga. Semuanya sama, hebat, karena
mereka semua MEMBANTU banyak orang. Apa yang mereka lakukan membawa manfaat
bagi sekitar, dan kita harus berterimakasih kepada masing-masing mereka.
Konsep bermanfaat dan
melakukan kebaikan sudah tersampaikan tanpa harus membawa dalil dan literatur
panjang, yang rasanya, kurang ngena
jika digunakan untuk anak usia bayi dan balita.
“Ayah kerja karena
ayah pengen Allah happy. Biar Ayah
bisa beliin beras buat kita makan, bisa ngajak Ibu jalan-jalan, bisa beliin
Anis buku atau mainan. Jadi, Ibu happy,
Anis happy, Ayah happy, Allah juga happy karena
Ayah udah pinter bikin kita semua happy.”
Penangkapan Anis
berbeda saat dulu sempat saya katakana bahwa ayahnya bekerja untuk mencari
uang. Ada moment di mana dia ga
pengen ayahnya pergi kerja dan akhirnya dia ambil celengan dia, “Ayah, ini Anis
punya uang, Ayah ga usah kerja.”
Sejak kejadian itu,
konteks penyampaiannya saya ubah. Alhamdulillaah, kini dia paham bahwa kerja
bukan hanya sekadar untuk uang. Apalagi sekarang Anis sudah berusia 3.5 tahun,
sedikit banyak telah lebih dikenalkan mengenai peran gender. Sehingga, kadang
ayahnya mulai sounding, “Ayah kerja
karena ayah laki-laki, harus kerja, kan? Ibu juga boleh kerja, tapi kan harus
nemenin Anis, ya? Nah, nanti, kalo Anis sudah besar, Anis juga kerja kayak
Ayah, okey?” Dan Anis selalu
berbinar-binar jika ada ajakan “kayak ayah”.
Kami, saya dan Ayah
Anis, terus belajar. Layaknya trial and
error dalam memberi penjelasan tentang banyak hal kepada Anis. Utamanya
agar kami tidak salah dalam mengarahkan, dalam membentuk pola pikirnya, yang
akan sulit dibengkokkan atau diperbaiki jika kelak ia sudah semakin dewasa.
Jadi, apapun profesi
Anis nanti, ibu dan ayah hanya ingin Anis MELAKUKAN HAL BAIK, MEMBAWA MENFAAT,
dan MEMBUAT RABB-mu RIDHA, Nak. Itu lebih dari cukup, insyaAllah.
Allahu’alam
bi Shawab.
No comments:
Post a Comment