Thursday, July 9, 2020

Karena Sayang Perlu Diungkapkan

Rasa sayang itu sepaket, untuk diungkapkan dengan perbuatan pun perkataan, begitu menurut saya.

Suami atau istri bukanlah cenayang yang mampu membaca setiap pikiran dan perasaan pasangan. Butuh diutarakan. Bukan hanya perihal emosi negatif, seperti kemarahan, kekesalan. Emosi positif pun, seperti rasa sayang, kekaguman, rasa berterimakasih, perlu dilisankan/divisualisasikan padanya. 

Untuk surat, sejujurnya ini bukan kali pertama saya tulis untuk suami. Pernah saya sisipkan di salah satu kado ulang tahunnya beberapa tahun silam, pernah juga mengirim surel saat kami sempat menjadi pejuang Long Distance Marriage. Media tulisan ini menjadi metode awal saya dalam mengungkapkan rasa padanya, sebelum akhirnya berusaha untuk melatih diri ini mengungkapkan secara lisan dan langsung, dengan intensitas lebih sering pula. 

Dulu, sempat saya berpikir, ungkapan sayang akan menjadi "hal biasa" dan "kekurangan makna" jika terus menerus diucapkan atau disampaikan pada pasangan. Tetapi, setiap saya mendapatkan ucapan dan ungkapan itu dari suami, walau hanya sebatas "aku kangen kamu" saat dia bekerja, saya selalu merasa bahagia. SELALU. Ada hal yang saya dapati dari hal itu, bahwa intensitas dalam mengungkapkan rasa sama sekali tidak merubah makna dari rasa tersebut. Semakin sering, justru seperti menjadi checkpoint dalam hubungan. Seolah ungkapan sayang, cinta, terima kasih, maaf ini menjadi penambal dari setiap permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam rumah tangga, setidaknya bagi saya begitu.

Suami istri adalah tim, bukan "satu lebih dari yang lain" atau "hanya sepihak saja". Begitu juga dalam menyayangi, tidak ada istilah suami lebih menyayangi istri, atau suami harus lebih ekspresif dari istri, juga sebaliknya. Saat akad dilaksanakan, maka itu adalah bentuk ikrar bahwa seorang suami dan seorang istri akan saling menyayangi dan bertanggungjawab atas satu sama lain dengan hubungannya. Keduanya memiliki andil dan peran dalam menjaga kehangatan hubungan rumah tangga, tak harus siapa duluan yang memulai, alangkah lebih baiknya bila "saya yang akan memulai".

Seperti kali ini, saya kirimkan barisan kata cukup panjang melalui whatsapp. Berisi ungkapan terima kasih atas segala yang telah diperjuangkan demi kami, maaf untuk ketidaksempurnaan saya dalam mendampingi, juga ungkapan betapa sayang dan pentingnya sosok suami bagi saya. Walau kalimat "aku sayang kamu", "maafin aku, ya", "makasih, ayah/ibu" sudah menjadi hal biasa bagi saya dan suami, tetapi, tetap saja aliran emosi bermain peran sangat kuat saat jemari ini mengetik kata per kata mengungkap rasa. Haru, sedih, bahagia, bersyukur, bergemuruh menjadi satu, menghadirkan buah-buah air mata πŸ’™ Perasaan lega dan plong luar biasa saat tombol "send" saya tekan. 

Dia, suami saya, tipikal yang sangat sibuk bekerja. Akan memakan waktu cukup lama untuk mendapatkan respon dari pesan yang saya kirim. Oleh karenanya, telepon menjadi pilihan utama untuk hal urgent dalam berkomunikasi. Tetapi, tidak dalam merespon pesan whatsapp "aliran rasa" yang saya kirim. Tidak menunggu lama, datanglah balasan yang biasanya harus menanti dalam hitungan jam.

"Makasih, cuma itu yang bisa aku bilang, dan aku nangis bacanya. Maaf buat semua kekuranganku."

Saya sangat kenal betul, betapa jauh dari romantisnya dia. Tetapi, jika berkenaan dengan air mata, maka itu sudah menjadi tingkat emosi tertinggi yang dia punya. Saya terharu, lagi-lagi sangat bahagia πŸ’™

***
Menulis surat untuk pasangan kali ini adalah misi terakhir dari kelas Matrikulasi #batch8 Institut Ibu Profesioal. Namun, bagi saya, lebih dari sekedar itu. Ini tentang aliran rasa. Dibuat dengan ketulusan dan perasaan murni, mendalam. Setiap kata yang terbentuk adalah buah ungakapan hati, jujur dan apa adanya. Semakin yakin bahwa rasa itu perlu diungkapkan dalam lisan dan visual. Biarkan mereka yang kita sayang tahu, bahwa kita memang menyayanginya. Katakan. Tegaskan. Kelak akan menjadi pondasi awal membangun tim keluarga yang kokoh dan solid, insyaAllah πŸ’™

4 comments:

  1. Terharu sekali, Teh... Responnya sampai menitikan air mata begitu... Semoga makin samara ya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aammiinn, makasih teh, doa yang sama untuk teteh dan suami yaa πŸ’™

      Delete
  2. Saya mulai suka lagi membaca, mulai suka lagi menulis, salah satunya karena semangat dari teman baik teh widi (widya) tersentuh sekali dg tulisan teteh ini. Karena sebagian yg aku publish adalah curhatologi emak, pejuang long distance meriage :'). Salam kenal teteh ♥️♥️♥️♥️

    ReplyDelete
    Replies
    1. masyaAllah, selamat kembali ke dunia mambaca dan menulis teh πŸ’™πŸ€­ emang kok, teman baik itu ngebawa kebaikan buat kita, lho πŸ˜‰ Smangattt para pejuang LDM!! I had been there teh 😘 salam kenal teh Hindun πŸ’™☕

      Delete