Mata sipit namun tajam, seperti berkarakter. Wajah putih yang siap merona setiap paparan sinar mentari mengelus kedua pipinya dengan manja. Dagu lancip sangat sempurna menopang bibir mungil berwarna merah jambu yang selalu terlihat basah. Semuanya terbingkai indah dengan helaian rambut sebahu sangat lurus berwarna hitam. Tetapi, bukan itu yang membuatku sangat menginginkannya. Melainkan, kursi roda yang selalu menemaninya kemanapun dia berpindah.
***
Well, hay, gue Birru. Bukan karena gue suka warna itu, tetapi, ulah nyokap bokap yang terinspirasi oleh salah satu anak selebgram di zamannya. Whatever, gue tetap suka hitam. Sangat mencerminkan pribadi gue yang, yaaa, bisa dibilang "kelam".
Sehari-hari gue dinas di lapangan, alias di luar kantor, mencari para crazy rich untuk gue santap. Eits, please, bro, jangan salah sangka. Gue memang mengincar mereka untuk bersedia menjadi nasabah prioritas di tempat gue bekerja. Yup, gue adalah seorang funding officer di suatu bank kelas atas Indonesia. Meski dulu gue menghabiskan empat tahun perkuliahan berkutat dengan biologi dan tetek bengeknya, tetapi, ke-encer-an otak gue lumayan terpakai juga di dunia perbankan, thanks for logic skill i got from college, anyway.
Ada kebiasaan di kantor gue, dan sepertinya hampir setiap perusahaan perbankan juga begitu, setiap tahunnya diadakan acara outing sebagai salah satu bentuk resfreshing para pekerja yang telah menjadi bagian anggaran tetap dari laba perusahaan. Maklum, kerja kami lumayan hectic. Gaji kami mungkin lebih tinggi dibanding beberapa bidang usaha lain, tetapi, sangat berbanding lurus dengan jam kerja. Kalau kata mas Arga, rekan satu bagian gue, "Kita gaji boleh lah gede, tapi, secara ga langsung waktu kita dibeli sama perusahaan. Kapan pun perusahaan butuh, kita harus siap sedia, walau pun itu tanggal merah atau bahkan lagi lemes demam karena flu berat misalnya." Dan itu bukan pernyataan salah menurut gue. Begitulah keadaannya.
Tahun ini, tempat tujuan outing kami adalah Singapura. Tak berlebihan, toh bahkan, tahun lalu kami semua digratiskan ke Thailand. Sebenarnya, jika dihitung, semua biaya perjalanan kami tak ada apa-apanya dibandingkan dengan laba yang berhasil kami peroleh selama setahun bagi perusahaan. So, enjoy, man!
***
Bandara Changi hari itu sangat ramai. Memang selalu ramai kukira. Kami satu rombongan siap dijemput oleh agensi perjalanan untuk diantar ke penginapan di daerah Bugis. Dua buah bus dengan kondisi sangat prima telah menunggu kami di pelataran Terminal 4. Ada enaknya juga mengikuti agen perjalanan seperti ini, tidak perlu memikirkan moda transportasi, bersusah-susah menuju Terminal 2 hanya untuk mengejar jadwal MRT menuju downtown dan sebagainya. Setelah melewati proses imigrasi yang lumayan ketat, akhirnya kami semua berhasil lolos dan melaju untuk melanjutkan perjalanan.
***
"Birr, malem ini free schedule, kan? Gito ngajak cuci mata ke Geylang. Gabung, yok?!" Ajakan Lexi cukup menggiurkan.
Hal yang biasa dalam pergaulan kami. Bukan memukul rata, tetapi,
hampir semua seperti ini. Karena kami punya uang, kami punya prestis, terkadang kami terlalu bebas dan lupa diri.
Geylang Road adalah red district yang terkenal di negara ini. Terdiri dari beberapa gang/jalan kecil yang digambarkan dengan angka. Jangan membayangkan gang yang sangat sempit dan kumuh seperti di Jakarta. Menurut gue, kondisinya sangat rapi untuk kelas gang. Tapi, sangat tidak disarankan untuk anak di bawah umur berkeliaran di area ini. Sangat TIDAK disarankan.
***
Berempat kami menjelajahi malam "kebebasan" bersama; gue, Gito, Lexi dan Rio. Yang lain pun memiliki agenda masing-masing, tersebar di bagian pusat negara Singapura yang tidak begitu sulit dikuasai. Gue pun, bukan hanya kami berempat yang memilih "bermain" ke Geylang Road itu, karena beberapa kali kami berpapasan dengan sesama rekan saat menuju area tersebut. Tetapi, kami hanya berpura-pura saling tidak mengerti tujuan satu sama lain.
Gito memutuskan untuk naik MRT dari stasiun Bugis, yang kebetulan hanya walking distance dari hotel kami. Tak sulit menuju tempat tujuan kami, hanya perlu melewati beberapa stasiun, dan kami pilih stasiun Aljunaid sebagai persinggahan. Sebenarnya, bisa saja kami turun di stasiun Kallang atau Paya Besar, tetapi, kami memilih Aljunaid karena merupakan stasiun akhir sebelum intersection MRT yang masih melingkupi Geylang Road. Artinya, kami dapat lebih leluasa menjelajah daerah tersebut, walau kaki pegal-pegal akan jadi barterannya.
Gue berjalan di belakang, bersama Lexi. Gito dan Rio, sebagai dedengkot daerah sini, memimpin di depan.
"Git, jangan lupa matiin dulu hape deh sebelum Rosa ngontakin," canda Rio kepada Gito. Yup, benar, Gito bukanlah bujangan. Rosa yang cantik dan anggun adalah istrinya, yang telah melahirkan seorang anak cantik dan lucu luar biasa. Jika ditanya, "Yaelah, bro! Lo udah punya bini cantik, anak lucu, masih aja demen "jajan", apa yang lo cari, sih?" Jawaban klise, "Ini cuma buat kesenangan, man! Selingan diantara tumpukan laporan target harian, mingguan, bulanan, tahunan," yang dilanjutkan tawa puas terbahak-bahak.
Namun, Gito bukan satu-satunya. Rio pun berstatus ayah dari dua jagoan yang sudah mulai beranjak dewasa.
Lagi-lagi gue tekankan, begini lah pergaulan kami, bukan semua, tetapi, hampir semua.
Walau gue dan Lexi masih aman, karena bujang. Gue sadar, kok, bahwa itu bukan jadi alasan cukup untuk membenarkan kelakuan gue. Tapi, jawaban sama seperti Gito dan Rio, "Ini hanya untuk kesenangan!"
***
Foto-foto terpajang, berjejer rapi di jendela atau etalase sederhana bangunan-bangunan dengan temaram lampu berwarna-warni. Gemerlap, namun, remang.
Berbagai macam wanita dari beragam etnis berpose dengan gaya yang dibuat sensual. Berusaha menarik perhatian melalui gambar dua dimensi, para pejalan kaki yang mungkin saja akan menjadi pelanggannya.
Beberapa bahkan berdiri manis di depan pintu bangunan tersebut, sembari menghisap rokoknya, sesekali melemparkan tatapan, dan bahkan, sapaan genit pada lelaki yang melintasinya.
Lelaki hidung belang, gue mungkin salah satunya, banyak berkeliaran. Sebagian dalam kondisi mabuk, terlihat dari cara berjalan dan menatap. Satu atau dua orang wanita cantik bermanja-manja menemaninya. Semua terjadi di tengah jalan, sejauh mata memandang.
Disekitarnya, berjejer hotel dengan tarif murah berdiri. Yang anehnya, terlihat sepi di siang hari, namun, sangat ricuh dan ramai di malamnya. Didapati banyak pasangan keluar masuk dengan bebas dan cuek, sangat kentara untuk tujuan one stand night semata.
Gue selalu takjub setiap melintasi area ini. Antara kesenangan dan keprihatinan yang gue tangkap, menurut kaca mata gue pribadi. Di balik senyum nakal, rayuan gombal dan gestur-gestur manja, ada tatapan kosong yang bisa gue terka. Seperti bentuk kelemahan yang berusaha ditutupi. Atau luapan persoalan hidup yang dijerat. Semuanya sangat apik terbungkus dempulan kosmetik juga pakaian menarik. Tak lupa, sedikit bumbu senyum kepalsuan.
Dan di pojok gedung itu. Gedung tua berlantai tiga, tidak terlalu luas. Dengan lampu berwarna lembayung seperti berusaha menyamarkan keberadaannya. Terduduk seorang wanita dengan tampilan tak jauh beda dengan yang lainnya, hanya saja, dia berkursi roda.
***
"Free?"
"Ya, $50."
"Hm, ok, deal!"
***
Gue gila, iya, gue paham. Hanya untuk wanita berkursi roda, gue deal dengan cepat, dengan tarif yang terlalu tinggi. Jangan ditanya, mata Lexi seperti siap keluar dari tulangnya, melongo melihat kebodohan yang gue buat.
"Gila lo, Birr! Kayak ga ada pilihan lain aja!"
Gue pun bingung dengan yang baru saja gue lakukan. Kenapa semudah itu gue tarik ini cewek? Kenapa? Alasan yang berusaha gue telisik, tetapi, gagal untuk menyimpulkan. Dan berjalanlah gue, mendorong kursi roda yang telah lapuk itu, menuju salah satu hotel kelas menengah terdekat. Meninggalkan Lexi, Gito, Rio yang hanya bisa terkaget-kaget yang tidak bisa disembunyikan.