Picture by Sepositif |
“Witing tresno
jalaran soko kulino”
“Cinta itu tumbuh
karena terbiasa”
Well,
menarik!
Pikiran saya bukan
ke soal pasangan laki-laki dan perempuan atau pun hal yang berkenaan dengan
itu. Justru buah akal saya langsung menangkap hal lain, bahwa untuk membangun
sesuatu menjadi kebiasaan, kita butuh cinta.
Sering berseliweran statement yang menyatakan jika kebiasaan
dibangun dari konsisten dan komitmen. Namun, justru kedua hal tersebut yang
sering melemah di tengah proses pembentukan kebiasaan itu. Akhirnya, kebiasaan
pun tak terbentuk. Gugur sebelum berkembang.
Konsisten dan
komitmen adalah hal teoritikal yang seolah mudah dijalankan. Dua padanan kata
yang sederhana, tetapi kenyataannya, saat kita belum memiliki pondasi cukup kuat
tentang suatu aktivitas yang akan kita jadikan kebiasaan tersebut,
kekonsistenan dan komitmen akan menjadi bopong, kurang massa dan cenderung
bersifat topeng saja.
Pepatah Jawa yang
saya singgung di atas seolah memberi insight
lebih mengenai pembentukan kebiasaan itu. Bahwa, konsisten dan komitmen
akan bisa terlaksana jika memiliki dasar kuat dulu, let’s say that is love.
Saat kita mencintai
suatu aktivitas secara mendalam, hal tersebut akan menjadi bahan bakar untuk
lebih tough dalam mempertahankan
kekonsistenan dan komitmen kita dalam melakukannya. Mungkin akan ada masa
jenuh, down, hal manusiawi lain yang
menjadi tantangan dalam usaha kita membentuk aktivitas tersebut menjadi suatu
kebiasaan. Namun, jika benar-benar kita mencintainya, akan selalu ada jalan
untuk kembali pada tujuan awal, meskipun terseok-seok.
Dan dalam hal ini
saya bercerita tentang diri sendiri.
Kegiatan menulis
bagi saya saat ini berada alam fase pembentukan habit. Ya, saya ingin menjadikan menulis ini bukan sekadar lepasan
atau selingan saja, tetapi menjadi bagian dari hidup (habit artinya memaknai suatu kegiatan menjadi bagian dari hidup
kita, bukan?)
Dalam pikiran saya
selalu mensugestikan tentang konsisten dan komitmen. Terus mendoktrin otak saya
dengan, “Ayo, dong, mana konsisten dan komitmen kamu, Nad!”
Yang saya peroleh
adalah kelelahan. Betul. Saya berhasil melewati tahap per tahapnya. Saya
menulis, mengikuti event atau pun challenge. Namun, seiring waktu, saya
semakin kehilangan nikmatnya menulis itu sendiri. Bahkan, sempat ada masa di
mana saya merasa bahwa menulis kini menjadi suatu beban. Lalu, di mana esensi
menulis yang saya plot sebagai media reliever
saya?
Jeda adalah jalan
yang saya ambil. Sempat dua pekan (atau tiga pekan bahkan) saya break dari dunia menulis. Bukan benar-benar
lepas dari kata per kata, tetapi saya hanya menulis semau saya, seenak saya.
Sembari saya selami kembali makna menulis bagi saya personal itu apa, untuk
apa, dan recall tujuan saya menulis
di awal kenapa. Terakhir, saya juga berusaha gali lebih dalam, apakah benar
saya menyukai dan mencintai kegiatan ini? Atau hanya sebatas trend?
Dan benar, hal
pertama kita harus mencintai dulu apa yang kita kerjakan. Perkuat why-nya, bangun bonding-nya. Seperti dalam suatu hubungan, jika cinta sudah
terbina, kekonsistenan dan komitmen pun akan lebih mudah direalisasikan. Selanjutnya, kita akan terbiasa dengan
keberadaannya, yang artinya, kehadirannya sudah menjadi kebiasaan bagi kita. See, habit comes after the love ;)
No comments:
Post a Comment