Tentang seorang ibu rumah tangga beranak satu yang senang menikmati kopi dan kata. Hanya bercerita dan tak lupa seruput manis pahitnya. Menyajikan dan membagikan kenikmatannya untuk dirasakan bersama. Bentuk portofolio hidup untuk kemudian dibuka dan dikenang pada masa selanjutnya💙
Saturday, August 29, 2020
Liburan ala Pandemi
Sunday, August 16, 2020
CERPEN : Hanya dalam Angan
Kami duduk berdua,
menikmati seruputan latte panas
dengan kudapan kukis cokelat seadanya. Menu yang sangat biasa. Namun,
kehangatan yang terjalin buah dari percakapan antar hati, membuatnya menjadi
luar biasa. Sesekali kudapati ujung matamu menangkap sisi lain dari wajahku.
Kau mencuri pandang dan aku hanya berpura-pura tak tahu. Aku senang caramu
memperhatikanku. Sangat alami dan sedikit malu-malu. Terlihat jelas betapa
belum berpengalamannya dirimu tentang rasa. Kita hanya dua insan polos yang
berusaha untuk lebih mengenal dunia. Ya, dunia kita berdua.
Ponselku berbunyi.
Tertulis ‘Abah’ di layarnya dengan notifikasi pesan masuk. Segera kubuka dan
kubaca dengan seksama isinya. Benar, pesan itu datang dari ayahku. Sebenarnya
beliau adalah sosok yang menyenangkan. Bahkan, hobi melontarkan leluconnya
sudah sangat dikenal oleh orang terdekat. Hanya saja, mengenai pergaulan
anak-anaknya, beliau sangat ketat. Aku sebagai satu-satunya anak perempuan,
menjadi sorotan utama beliau dalam menjaga dan memperlakukanku. Terkadang aku
senang dengan hal itu, tetapi tak jarang aku merasa tidak nyaman karenanya. Bagi
Abah, jangankan pacaran, untuk pergi dengan teman lelaki saja sudah termasuk
hal yang dilarang. Jika Abah tahu bahwa saat ini aku sedang bersama Lukas
bersantai di pelataran kedai kopi sambil berkelakar, tamatlah riwayatku.
‘Kau di mana? Sudah menjelang magrib ini. Segera
pulang!’
Panik aku dibuatnya.
Tanda seru di akhir seperti menegaskan perintah yang tak terbantahkan. Namun,
aku masih merasa sangat nyaman dengan Lukas. Kebersamaan ini yang telah lama
kunantikan. Sebelumnya, aku hanya bisa memuja dia dalam diam. Bahkan, hingga
saat ini aku masih tidak menyangka bahwa Lukas, sosok yang sangat aku kagumi
sejak di bangku Sekolah Menengah Atas, akhirnya menjadi milikku. Pekan
Orientasi Mahasiswa Baru yang berandil akan terjalinnya hubungan ini. Saat
acara penutupanlah dia menyatakan maksud dan isi hatinya padaku. Yang kuingat,
suasana agak dingin berembun karena hujan dan aku sangat tidak bisa berpikir
jernih untuk sekedar mempertimbangkan hal lainnya, kecuali menerima cintanya.
“Hmm, ini Abah udah nyuruh pulang. Mungkin, lain kali
kita bisa bikin moment lagi?” tanyaku penuh harap dan ragu. Harap untuk mendapatkan
persetujuan Lukas tentang pertemuan selanjutnya dan ragu untuk menyudahi hari
ini. Mimik muka Lukas sangat santai hingga sulit ditebak isi hatinya. “Now? Seriously?! Syifa, ini baru pukul
lima sore, lho!” jawabnya dengan senyum yang tetap merekah. Aku semakin dibuat dilema.
Senyum itu, ah, terlalu renyah untuk kulewati begitu saja. Bilakah aku bisa
menambah satu jam saja kebersamaan ini, artinya senyum itu akan tetap bisa
kunikmati. ”You know him, lah!
Perintahnya adalah titah,” sahutku diikuti tawa yang kurang menyenangkan untuk
didengar, tawa penuh kesinisan. “Baby,
kamu bisa bilang kalau ada tugas makalah kelompok, kan?” Pertanyaan yang lebih
menggambarkan pernyataan. Tanpa diskusi selanjutnya, kebohongan pun akhirnya
terkirim ke ponsel Abah melalui beberapa kata dalam pesan singkat.
‘Syifa masih harus mengerjakan makalah kelompok
untuk besok, Bah. Secepatnya Syifa pulang setelah selesai.’
SENT
Kusimpan ponsel di
dalam tas. Aku hanya ingin bermain dengan senyum renyah itu tanpa distraksi
saat ini.
Tanpa terasa, dua jam
lewat dari terakhir kali Abah mengirim pesan. Aku buka kembali ponselku. Tidak
ada jawaban dari pesan terakhir ataupun panggilan yang tak terjawab. Sejenak
kumerasa lega. Mungkin akhirnya Abah menyadari bahwa anaknya kini sudah dewasa.
Tidak selamanya bisa mengikuti jadwal pulang yang ditetapkan. Pergeseran jam
malam sudah seharunya diberikan padaku, mengingat kewajiban pun kian bertambah
mengenai perkuliahan. Walaupun untuk saat ini, ada kedok kebohongan juga di
dalamnnya. Tugas fiktif untuk waktu memadu kasih yang jelas sangat dilarang
olehnya.
Lukas mengantarku
hingga halte bus dekat rumah. Rasa takut ketahuan sudah tentu alasannya. Di
halte itu aku turun dari Ninja berwarna
biru miliknya. Saat akan kubuka helmku, tanganmu dengan sergap membantu melepaskannya.
Wajahku memerah. Mungkin ini jarak terdekat yang pernah aku alami dengan Lukas.
Tangannya mengenai tanganku yang berusaha membuka tali pengikat helm.
Dilanjutkan wajahnya mendekati kunci tali pengikat helm yang berjarak tak lebih
dari sejengkal dengan wajahku. Kurasakan napasnya. Klik. Kunci tali pun terbuka, dia menarik lepas helm yang kugunakan
dengan perlahan, meninggalkan rona wajahku yang seperti habis terbakar.
“Sampai jumpa besok, Princess! Thanks for the
precious time,” kulihat mata kirinya yang bening mengerjap dengan penuh
godaan. Juga ciuman jarak jauh yang dia hembuskan bersama lambaian tangannya.
Hari ini terlalu sempurna.
“Syifa! Syifa! Anak
gadis kok melamun saja, sih? Cepat itu bantu Ibumu! Sebentar lagi keluarga Haidar
datang, kan? Kau bahkan belum bersiap,” teriakkan Abah membuyarkan episode lain
tentang hidupku yang selama ini hanya sanggup diputar dalam layar imajinasi.
Haidar adalah calon
tunanganku yang masih terpaut ikatan persepupuan jauh. Tentu saja pertunangan
ini akan berujung pada pernikahan dalam waktu dekat, tanpa banyak persetujuan
dariku secara pribadi. Mereka menyebutnya perjodohan, aku menamainya penyunatan
takdir. Bagaimana tidak, aku tidak diberikan ruang untuk menentukan takdirku sendiri
untuk jalinan yang justru akan dijalani olehku. Bahkan hanya untuk sekedar memperjuangkan
cintaku, tak ada kesempatan itu.
Lukas, selalu
kusematkan ia dalam doa. Bersama dengan datangnya keajaiban dari Tuhan, kuharap
kami dapat dipersatukan. Cintaku padanya sangat tulus dan dalam, dan dia tidak
pernah tahu itu. Aku hanya mampu memandangnya dari jauh di sekolah hingga kampus
dan juga memainkan perannya di dalam episode khayalku. Dia nyata, tetapi
terlalu mustahil bagiku yang berlatar keluarga dengan penarik garis keturunan
baku seperti ini.
Hari ini, kuakhiri
hubungan dalam angan-angan antara aku dan Lukas. Dengan dibacakannya Fatihah,
artinya berpindahlah kepemilikan akan diriku kini, dari Abahku untuk Haidar.
Bulan depan pernikahanku akan digelar. Seluruh teman di kampus akan diundang, termasuk
Lukas. Bayang-bayang akan senyum renyah itu kuharap akan segera pudar. Tergantikan
oleh senyum lelaki di hadapanku saat ini, yang sedang berusaha untuk kucintai.
Dear
Lukas,
mantan impian yang hanya mampu terkuburkan, untuk pertama dan terakhir ingin
kuungkapkan I Love You.
Bandung, 16 Agustus 2020
Sunday, August 9, 2020
My Real Favorite OPPA
Wow, been so long ya ga bahas tentang kokoriyaan. Rindu juga rupanya. Jangan ditanya sudah berapa tema saya skip alias ketinggalan. But, life must go on kan. Mari kita tenggelamkan kembali jiwa, raga, pikiran dan imajinasi pada ke-halu-an yang hakiki lagi, haha.
This topic will be improving yet increasing our sense of "halu". Gimana ga, yang bakal dibahas adalah para makhluk Tuhan paling ga masuk akal, wkwkwk. Kalo zaman dulu tuh trend banget barbie dan ken (barbie versi cowok), kalo sekarang kayaknya tergeser tuh sama para oppa, eonni, dongsaeng, atau bahkan ahjussi. But before, enaknya kita obrolin dulu nih ya sebenernya definisi kesemua istilah tersebut tuh apa, biar afdhol gitu yekan. So, here we go, girls!!!
Oppa : sebutan dari cewek untuk cowok yang lebih tua tapi dengan gap usia ga terlalu jauh. Di Indonesia sebutan ini bisa dianggap seperti "abang", "mas", "akang". Biasa juga digunakan seorang cewek untuk manggil pacarnya.
Noona : sebutan dari cowok untuk kakak perempuannya, atau cewek yang dianggap lebih tua dari dia.
Eonni : sebutan dari cewek untuk kakak perempuannya, atau cewek yang di-kakak-kan.
Hyeong : sebutan dari cowok untuk kakak laki-lakinya, atau cowok yang dianggap kakak.
Dongsaeng : sebutan bagi cowok ataupun cewek yang lebih muda. Kenal istilah "berondong", kan? It might be referred to this.
Ahjussi : sebutan bagi laki-laki yang jauh lebih tua, dengan pautan usia lumayan jauh, mungkin kayak kita manggil "om" gitu? Ada juga yang menyebutkan usia 30-an sudah bisa dibilang Ahjussi, tapi saya kurang sreg. Karena apa? Karena itu artinya saya pun sudah bisa dibilang Ahjumma dengan definisi itu, wkwkwk.
Ahjumma : sebutan bagi perempuan yang jauh lebih tua, dengan pautan usia lumayan jauh. Sejenis "tante" lah ya. Dan aku bukan tante-tante, makanya kurang sreg sama patokan usia 30 untuk panggilan ini wahaha.
Nah, lumayan ada gambaran kan sama istilah-istilah tadi. Now, let's turn to the points, gaes!
Jadi, tema spesifiknya kali ini tentang favorit oppa/eonni/hyeong/ahjussi/ahjumma/dongsaeng. Tapi, karena saya ini cewek dan kurang suka berondong (maap yak bagi pecinta berondong, tak maksud diskriminasi haha), yang saya usung hanya oppa, eonni dan ahjussi saja, okey!
Btw, kalo saya suka sama mereka ini belum tentu saya udah nonton semua filmnya ya. Karena sungguh, dasar utama saya suka sama mereka masih dengan alasan fisik, wahaha. As I told previously, makhluk Tuhan paling ga masuk akal.
---
Moon Geun-young
Pertama kali ketemu #halah waktu dia berperan sebagai Eunso kecil di drama Autumn in My Heart. Dari situ saya udah mulai tertarik sama muka dia yang kental banget Korea-nya. Ditambah cara dia ngomong, aaah sweeeeetttooo! Lucu gitu. Sejak saat itu saya ikutin perkembangan perfilman dia. Years by years, ternyata tuh muka ga berubah-ubah secara mencolok. Ga kayak kebanyakan aktris Korea Selatan lain yang kadang jomplang gitu, apalagi dibandingin dengan foto mereka kecil/mudanya. Geun-young ini termasuk yang mirip ketiplek sama foto-foto dia kecil dulu. Boleh lah saya claim dia masih natural original. Walaupun mungkin aja dia tetep jelanin beberapa proses aestetik, but I personally can say that she didn't wanna try to be "another person". For me myself, that is more than enough haha. Selain itu, saya juga suka skill dia dalam beradu akting. Peran imut, jutek, sombong, baik hati cangkang keong, masuk dengan sukses.
Nama lengkapnya Moon Geun-young, kelahiran 6 Mei 1987. Dari usia sih kami bisa dibilang sepantaran, dulu sempet main bareng bola bekel sih wahaha. Cuma beda tiga tahun lha yaa. So, let me proudly crown her as "MY FAVE EONNI"!!! Chukkae!!
Song Hye-kyo
Pertama kenalan sama mbak satu ini pun di drama yang sama, Autumn in My Heart. First impression, CANTIK bikin mampus. Pernah halu di masanya, punya muka seanggun dia, wahaha, namanya juga bocah lah yaa. Ga se-intens Geun-young, yang film dan dramanya saya ikutin banget, mbak Hye-kyo ini ketemu lagi dengan saya ke-dua kalinya di drama Full House. Lha, filmnya aja sudah bagus, pemainnya beliau ini disandingkan dengan om Rain, ya makin kesengsem deh saya. Terlepas dari rumor, isu, dan segala gosip tentang beliau ini, saya memang tidak mengikuti. Bukan cuma Hye-kyo aja sih, aktris dan aktor lain pun saya tidak begitu concern dengan kehidupan pribadinya.Lha wong hidup kitaorang aja udah susah, ngapain bikin tambah susah dengan nambah-nambah tau kehidupan orang lain, betul? haha.
Well, mbak Hye-kyo ini kelahiran 22 November 1981 tapi muka kelahiran 1991 hahaha. Kalo secara usia, mungkin cocok masuk ke Ahjumma mungkin ya. Tapi, secara penampilan,she's still my pretty Eonni as well. Uhhhh, gemashh deh saya sama yang awet-awet muda begini. Takaran Sodium benzoat-nya berapa siiih ah!
Lee Min-ho
Komen buat foto : Bang, gatel ya lehernya? Sini tak garukin, awwww!!
Alasan suka, GANTENG!! Senyumnya adem kayak kipasan AC. Ngomongnya cimit-cimit antara cool dan lembut macem es krim. Gimana ga kelepek-kelepek liatnya. Lalala~haha.
Saya dengan dia itu ibarat Love at The First Sight. Temu pertama kali di City Hunter, karena saya nonton Boys over Flowers-nya telat, pemirsa! Lha kok imut, lha kok ganteng, lha kok lucu, lha kapan kau melamarku, bang! Wahaha.
Setelahnya, ketemu lagi di The Heirs. Masih seganteng itu, okey, fix, saya pengagum-mu dalam diam. Biarkan doa yang memediasi kita. Hahaha. Sip, BUCIN mode is detected!!
Ayang Min-ho ini kelahiran 22 Juni 1987. Deketan usianya kita, bang! Ya sudah, mau ya jadi Oppa saya? Ya, ya ya?! Kemudian lanjut meng-halu.
Song Seung-heon
Komen foto : Gomawo, bae, sudah kirim aku selfie begini pas lagi rindu-rindunya. Iya, tenang aja, aku setia padamu, kok!
Bahh!! Nih ya, saya deklarasikan pada dunia. SAYA INI PECINTA LELAKI MATANG yang sudah ranum tinggal petik dan makan wkwkwk. Mau beda 13 tahun juga tak apa kok, beneran deh! Syaratnya cuma satu : macem abang Seung-heon ini haha. Sederhana, bukan?
Kali pertama, lagi-lagi Autumn in My Heart. Kenapa sih dia harus se-keren itu? Se-wibawa itu? Jiwa haus kasih sayang dan manjaan saya bergejolak, gaesss!!
Senyumnya aja udah nampakin kedewasaannya. Gini ini lelaki sejati versi saya, lala~.
Seung-heon kelahiran 5 Oktober 1976. Bang, tanggal lahir kita beda 2 hari doang, lho! Nanti kita rayain bareng ya! hihi. Bahas umur, abang sudah masuk Ahjussi mungkin ya. Tapi, buat saya, tetap lah My Oppa Ever!
---
Jadi, begitulah bahasan kita kali ini ya, kawans. Semua penuh ke-halu-an, I know. Tapi, dalam lubuk hati terdalam, tetap Oppa Ali ayahnya Anis yang paling terfavorit. Woooo jelas dong, dia yang paling berani ngelamar saya segera, ahiwww! Maaf ya, oppa Min-ho, oppa Seung-heon, tolong cari yang lain dulu aja! Mianhae! For all, keep halu-halu yessss!! Luvvvvv!
Wednesday, August 5, 2020
Urutan Kelahiran dan Kepribadian Seseorang
Menurut Adler, anak tertua cenderung konservatif, mereka berorientasi pada kekuasaan, dan mampu memimpin. Alasannya karena mereka kerap diberi tanggung jawab untuk menangani adik-adik mereka, anak sulung tumbuh menjadi orang yang peduli, lebih bersedia menjadi orangtua, dan cenderung mengambil inisiatif.
2. Anak Tengah
Kakak laki-laki atau perempuan adalah "penentu kecepatan" untuk anak kedua, mereka sering berjuang untuk melampaui kakak mereka. Laju perkembangan mereka lebih tinggi, oleh karena itu mereka cenderung ambisius namun mereka jarang egois. Anak kedua cenderung menetapkan tujuan yang terlalu tinggi untuk diri mereka sendiri, oleh karenanya mereka rentan gagal. Tak perlu khawatir, kemampuan mereka mengetahui bagaimana mengatasi kesulitan dalam hidup adalah hal yang membuat mereka lebih kuat.
3. Anak Bungsu
Wajar jika anak terakhir lebih mendapat banyak perhatian dan perhatian dari orangtua dan saudara yang lebih tua. Itulah sebabnya mereka mungkin merasa kurang berpengalaman dan mandiri. Namun, kelahiran terakhir biasanya termotivasi untuk melampaui kakak mereka. Sangat sering mereka mencapai sukses besar dan mendapatkan pengakuan di bidang yang mereka pilih. Anak-anak bungsu dalam sebuah keluarga cenderung ramah, meskipun mereka cenderung lebih tidak bertanggung jawab dan sembrono daripada anak-anak yang lebih tua.
Tuesday, August 4, 2020
Kehidupannya Sama, Sudut Pandang yang Membedakannya
Monday, August 3, 2020
PUISI : Sajak Suka-Suka
Sunday, August 2, 2020
Di Balik Amarahmu
وَ إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“Jika salah seorang di antara kalian marah, diamlah.” (HR. Ahmad, 1: 239. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan lighairihi).
Hadits nabi tersebut sangat cocok dengan pengalaman saya hari ini.
Singkat cerita, saya memiliki keperluan mendesak sehingga harus bermalam di hotel, meskipun masih di kawasan Bandung. Serba mendadak. Jam check-in hotel pukul 14.00, sedangkan pukul 11.30 saya baru saja tiba di rumah. Kebetulan sejak hari Jumat saya, suami dan Anis melewati hari raya Idul Adha di mertua.
Paginya, sekitar pukul 9.00-an, saya diberi kabar tentang bermalam di hotel tersebut. Jadi, sesaat sampai rumah, saya langsung re-packing tas, kemudian berangkat ke sebuah hotel bintang empat di daerah Dago. Karena masih agak lama ke waktu check-in dan juga kami sudah lumayan lapar, akhirnya kami pun makan siang dulu sebelum menuju hotel.
Sekitar pukul 14.29 kami tiba di hotel dan langsung saja check-in. Antrian cukup panjang di meja receptionist saat itu, entah untuk tamu yang baru saja datang atau yang hendak check-out. Tiba giliran suami saya mengurus proses pemesanan dua kamar yang telah di-book sebelumnya lewat aplikasi dan juga sudah konfirmasi lewat telepon. Saya pikir kamar sudah siap karena kedatangan kami pun lumayan telat. Ternyata, petugas mengatakan bahwa kamar belum siap, banyak tamu dan banyak yang telat check-out katanya. Kami pun akhirnya menunggu di sofa yang tersedia.
Lima belas menit. Setengah jam. Kamar yang kami pesan belum tersedia juga. Ketika kami tanyakan, pihak hotel lagi-lagi bilang sedang dibereskan. Okay, kami masih menunggu. Tetapi, saya yang saat itu hendak bermalam dengan orang tua, mereka mulai mengeluh tentang lamanya proses check-in, padahal mereka sudah sangat lelah setelah perjalanan antar kota.
Akhirnya, saya pun bertanya kepada pihak hotel kembali. Kali ini mereka menjawab, sedang dilakukan prosedural pencegahan Covid-19 di kamar tersebut. Hmm, setelah hampir satu jam menunggu? Dan satu setengah jam meleset dari waktu check-in yang dijanjikan? Baik, saya tetap beri waktu.
Tepat satu jam kami menunggu di lobi. Bahkan, kami melihat ada beberapa orang yang memesan kamar dan langsung dapat. Ditambah kondisi orang tua dan anak saya yang mulai tidak nyaman. Saya pun kembali mendatangi pihak penerima tamu dan menanyakan tentang apa kendala sebenarnya. Mereka tetap bilang sedang dilakukan prosedural pencegahan Covid-19 karena sekarang kondisinya agak berbeda. Saya pun menanyakan, apa karena kami memesan kamar yang terfasilitasi connecting door? Mereka menjawab, iya. Kamar dengan connecting door agak telat dikosongkan, dan ditambah ritual pencegahan Covid-19 saat penyiapan, maka waktu yang dibutuhkan pun lebih banyak. Saya lalu tanya lagi mengenai kamar tanpa connecting door, apa bisa tersedia sekarang. Petugas tetap membelit-belit yang intinya kami harus tetap menunggu.
Akhirnya, dengan nada agak sedikit tegas, saya pun bilang pada petugas tersebut, "Okey, mas. Anggaplah waktu check-out tamu jam 12.00, kemudian telat hingga jam 13.00, dari jam tersebut sampe sekarang sudah 1.5 jam lebih, lho, mas! Saya bukan di sini saja menginap saat pandemi, tapi hotel-hotel sebelumnya tetap bisa profesional, kok. Kalau saya cuman sendiri, ga masalah mas. Saya ini bawa orang tua dan anak kecil, kasian mereka. Jadi, kira-kira berapa lama lagi saya bisa nunggu?"
Mereka meminta maaf dan menjawab sekitar 10 menitan lagi. Saya kembali menegaskan, bahwa saya akan menunggu maksimal 10 menit dan tidak lebih. Setelah sekitar lima menitan menunggu dari saat itu, akhirnya kami pun mendapat kamar. Saya tetap berterimakasih kepada petugas yang memberi saya kunci, petugas wanita, bukan petugas lelaki sebelumnya yang kebetulan sedang melayani tamu lain. Kemudian, saya dan keluarga menuju kamar kami masing-masing.
Sesampainya di kamar saya merasa tidak tenang. Saya merasa bersalah telah berkata tegas kepada petugas pria di lobi tadi. Walaupun saya sudah berterimakasih pada petugas wanita dan juga meminta maaf padanya, tetap saja saya masih ada sangkutan rasa bersalah pada petugas pria, karena padanya saya agak beradu-argumen. Memang, telat check-in yang terlalu lama pun tidak bisa dibenarkan. Namun, luapan kekesalan tetap saja meninggalkan penyesalan di bagian kecil hati kita, bukan?
Akhirnya, saya turun kembali ke lobi untuk menemui petugas tersebut.
"Mas, permisi. Personally saya mau minta maaf ya tadi kalau sampai menyinggung. Maaf ya mas, terima kasih."
Saat petugas itu tersenyum dan berkata "Iya, tidak apa-apa, mbak. Saya pun minta maaf ya." Ada kelegaan yang dirasakan, menghapus ketidaktenangan yang hadir sebagai buah dari emosi kekesalan. Benar sekali apa kata hadits di awal, diam lebih baik saat sedang diliputi amarah. Karena, amarah akan meninggalkan penyesalan dan kegelisahan di jiwa. Sungguh pelajaran bagi saya.