Bismillaah.
*disclaimer*
Konten ini sarat akan curcol-an dan juga segenap unek-unek. Mungkin akan berfaedah, tapi lebih mungkin banyak tidaknya. Semua dikembalikan pada perspektif masing-masing.
***
Sebelumnya, aku sekeluarga mengucapkan, minal aidin wal faizin dan mohon maaf lahir batin, Eid Mubaraak. Semoga dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan di tahun selanjutnya. Aammiin.
***
Lebaran yang sendu, terlepas dari hakikat idul fitri itu sendiri yang terdefinisikan pada kegegapgempitaan buah kemenangan. Untuk nikmat berkesempatan merasakan Ramadhan dan Idul Fitri di tahun ini, Alhamdulillaaah. Tetap menjadi sesuatu yang harus disyukuri kan.
Tapi, tidak bisa ditampik, tak bisa dipungkiri, lebaran kali ini luar biasa berbeda. Tanpa mudik, tanpa keluarga. Benar-benar hanya kami bertiga.
Kali ini kami melewatkan Idul Fitri di Bandung saja. Bukan tanpa alasan. Tapi memang dalam upaya mengikuti himbauan pemerintah untuk tidak mudik, dalam rangka menekan penyebaran virus Covid-19. Mungkin bisa saja kami nakal diam-diam mengunjungi keluarga di Cianjur dan Jakarta, tapi, bukankah itu hanya akan mencelakakan diri juga orang-orang tersayang? Belum lagi bila ternyata kami terperangkap, tak bisa kembali lagi ke Bandung setelah tiba di kota tujuan. Akan menjadi PR tersendiri bukan? Ahh, sangat banyak pertimbangan.
Mertuaku di Bandung. Jarak rumah hanya sekitar lima kilometer. Tapi, tetap kami tidak bisa bertemu. Hanya suami yang mengunjungi. Abah mertuaku melarang keras aku dan Anis sungkeman ke rumah beliau, karena perihal Covid-19 dan juga ada suatu alasan medis lain. Aneh rasanya. Suasana yang, bahkan, aku pun tidak pernah membayangkan akan terjadi di bagian kehidupanku.
Suasana Idul Fitri pun sangat asing. Tanpa kemeriahan bedug dan takbir dimana-mana. Bahkan suamiku bilang, beberapa masjid yang dia lewati hanya memasang rekaman takbir tanpa ada orang di dalamnya. Padahal biasanya, anak-anak, bapak-bapak, berkumpul untuk melaksanakan takbir bersama di malam Idul Fitri-nya. Jalanan pun termasuk sepi untuk hitungan malam lebaran. Sangat sepi malah.
Salah satu hal lain yang sangat aku suka dari lebaran adalah momen belanja. Yaa, baik belanja baju lebaran untuk Anis atau pun belanja groseri untuk stok makanan di rumah juga berbagi ke handai taulan. Lagi-lagi kebiasaan itu pun harus aku urungkan. Tak ada belanja. Tak ada preparasi menyambut tamu ataupun bagi-bagi makanan dan atau angpau untuk para ponakan dan bocah. Ya jangankan bagi angpau, bertemu mereka pun tak bisa. Dramatis.
Pelaksanaan shalat Idul Fitri pun menjadi kontroversi. Seperti di kompleks perumahaan tempat tinggalku misalnya, terpecah menjadi kubu "yang menjalankan" dan "yang tidak menjalankan". Bagi yang ingin bergabung untuk melaksanakan shalat sunnah Idul Fitri-nya pun harus mendaftarkan diri. Berapa orang kira-kira dan siapa saja yang ikut. Sehingga nanti akan diatur layout-nya agar memenuhi ketentuan jarak aman interaksi berdasarkan protokol umum penanganan Covid-19. Ribet luar biasa, bahkan untuk beribadah. Hanya karena makhluk setengah hidup berukuran mikron saja.
Sebenarnya, ada hal lain yang lebih memberatkanku sejujurnya. Bukan sekedar tak bisa bersilaturahim, tak ada belanja baju lebaran dan makanan lebaran, atau tak bisa mengikuti shalat sunnah Idul Fitri. Suatu alasan yang aku rasa bersifat lebih personal. Yaitu, tidak dapat menghadiri dan menyaksikan secara langsung akad nikah adik kandung perempuan terakhir ku. Sedih luar biasa. Tak bisa ikut membantu banyak dalam mempersiapkan segala sesuatunya. Tak bisa jadi bagian dari foto keluarga. Tragis. Jiwa anak sulungku tak bisa berbohong, meronta-ronta, tapi tak berdaya.
Bersyukur masih ada teknologi yang mumpuni, yang setidaknya, bisa memberi alternatif lain untuk tetap berkomunikasi dan bersilaturahim. Walaupun, tetap saja terasa berbeda.
Kami tetap dapat hadir meski hanya sebatas layar. Satu sisi, sangat kusyukuri hal ini. Sisi lain, ini menyedihkan.
Aku meyakini bahwa kita semua telah menjadi bagian dari sejarah besar dunia. Kelak, jika berumur panjang, aku mungkin akan menceritakan kondisi ini kepada cucu turunanku nantinya. Kondisi yang begitu pelik di zamannya, merata semua golongan, bangsa, lapisan masyarakat. Tak memandang ras, suku, agama, kekayaan, semua terdampak. Kondisi dimana seperti bentuk restart besar-besaran untuk kehidupan manusia. Semua dibawa ke format default secara instan dalam waktu cepat. Seperti mengingatkan bahwa kita hanya makhluk lemah, dituntut untuk menanggalkan seangkuhannya selama ini, kembali pada fitrah manusia. Aha, bukankah ini berarti Idul Firti sesungguhnya? Mengembalikan kita semua ke jalan fitrahnya? Wallahu'alam bi shawab. Yang ku tahu dan ku harap, semuanya akan segera kembali ke normal, atau mungkin, new normal. Apapun itu, aku rindu bertemu keluargaku 💙
No comments:
Post a Comment