Ada pelajaran menarik yang saya dapati hari ini. Berkenaan langsung dengan indera penglihat kita, mata, serta fungsi operasionalnya. Let's say, ada tetangga saya. Tanpa maksud men-judge apa-apa, tetapi memang agak membingungkan keluarga mereka. Anyway, dengan izin yang bersangkutan saya akan angkat cerita ini sebagai bahan pelajaran untuk saya pribadi dan mungkin untuk beberapa teman-teman yang membaca tulisan ini.
Teteh ini, sebut saja dia Mawar, adalah seorang istri dan ibu dari anak berusia 2 tahun. Dia bekerja juga di sebuah industri ritel ber-genre fashion. Suaminya bekerja di perusahaan providing mesin ATM daerah Bandung, yang memiliki jam kerja shifting. Bertiga mereka tinggal di sebelah rumah saya. Tapi, tak lama ada seorang ibu-ibu berkerudung agak paruh baya pindah bersama mereka, dengan seorang laki-laki yang yaa cukup tua, sekitar usia 40 tahunan menurut saya, yang kemudian saya tahu bahwa ibu itu adalah ibu sang suami dan lelaki itu adalah kakaknya, walau saya agak bingung juga di awal karena secara fisik mereka sangat jauh berbeda. Tapi, cukup sampai disitu kebingungan saya. Saya cenderung tak acuh untuk kehidupan personal orang.
Beberapa kali si ibu berkerudung ini pinjam uang ke saya. Nominal tidak besar memang, kadang hanya lima belas ribu, tiga puluh ribu. Tidak lebih dari lima puluh ribu. Awalnya sempat kaget saya karena saya pun belum terlalu mengenal beliau. Hanya sebatas menyapa ketika berpapasan. Tapi, melihatnya seperti ada bayangan ibu dan mertua saya, jadi menolonglah tanpa banyak bertanya ketika kita sedang ada, insyaAllah ibu dan mertua kita akan dimudahkan kehidupannya dimanapun mereka berada. Dengan pemikiran seperti itu, saya selalu meminjamkan padanya ketika saya memang memegang uang tunai. Ada hal yang "aneh" sebenarnya untuk saya. Setiap kali meminjam uang itu, selalu berbisik beliau, "Neng, jangan bilang-bilang teh Mawar ya kalo ibu minjem ke eneng!" Saya sih tak mempermasalahkan saat itu. Saya jawab iya karena kebetulan saya dan teh Mawar ini tidak banyak komunikasi sehari-hari.
Selang beberapa waktu, datang lagi seorang ibu-ibu yang lebih tua perawakannya. Tak berkerudung, jadi kita sebut saja beliau ibu tak berkerudung. Dia tinggal di rumah teh Mawar juga. Sampai hal tersebut, tidak sama sekali mengusik pikiran saya. Banyak juga keluarga lain yang tinggal satu atap dengan beberapa kepala keluarga, bukan? Sampai suatu hari, ibu ini, yang ternyata adalah ibunda teh Mawar, mengetuk rumah saya dan, yang membuat saya kembali terkejut, dia pun meminjam uang ke saya. Nominalnya agak besar dibanding pinjaman ibu berkerudung, enam puluh lima ribu saat itu. Kebetulan saat itu saya sedang tidak memegang uang tunai, jadi saya bilang ke beliau untuk coba meminjam ke teteh lain sebelah rumah saya, sebut lah teh Melati, bila memang benar-benar kebutuhan urgent. Beliau pun pergi ke rumah teh Melati, saya tidak tahu lagi setelah itu.
Beberapa hari kemudian, teh Melati tiba-tiba me-whatsapp saya. "Teh, mau tanya dong. Agak bingung nih aku. Kenal ibunya teh Mawar? Kok agak aneh ya dia? Beberapa hari lalu dateng ke rumah, minta rokok ke aku. Kebetulan aku lagi ada rokok, jadi ya aku kasih. Eh, kok berlanjut ya. Bisa tiap hari dia minta rokok teh. Tapi selalu nyuruh buat jangan ngomong sama teh Mawar-nya. Aduuh, lama-lama enggak enak saya sama si Aa (suami)." Mulai membingungkan disini. Saya pikir saat itu beliau ke rumah teh Melati setelah dari rumah saya, untuk meminjam uang. Tapi, kenapa rokok? Saya yang belum berani berspekulasi akhirnya sedikit mencari tahu tentang teh Mawar. Kebetulan kami sudah saling follow di Instagram tapi saya belum pernah melihat-lihat isi Instagram-nya, lha ya buat apa kan?
Dari rekam jejak sosial medianya, teh Mawar terlihat dari keluarga berada. Sebelum tinggal di rumah ini bahkan terlihat mereka pernah tinggal di salah satu apartemen di Bandung. Isi posting-annya pun seputar jalan-jalan, makan-makan di kafe dan resto ternama, juga sedikit tentang pernikahan dan anaknya. Ahh, Astagfirullaah Nad, stop it! Rekam jejak sosmed bukan tolak ukur kehidupan seseorang. Ayolah Nad, cukup bersikap tak beradab begitu. Akhirnya, saya pun menghentikan ke-kepo-an yang kurang beretika tersebut. Case's closed, pikirku.
Semua berjalan seperti biasa. Saya pun mulai kembali ke koridor lurus. Bantu ketika memang bisa membantu, atau diam. Tanpa prasangka, tanpa spekulasi. Suami pun menyuruh saya untuk begitu. Sampai suatu hari, ketika kebetulan suami sedang libur kerja. Dia mengajak Anis main di depan sekalian berjemur badan dengan saya. Kakak suami dari teh Mawar lewat dan menatap saya dengan tatapan "tidak biasa". Bahkan, suami pun komentar, "Dia siapa sih? Kok ngeliatin kamu gitu banget?" Suami adalah orang super cuek yang pernah saya kenal. Sangat tidak suka per-kepo-an, yang membuat dia pun tidak suka di-kepo-in orang lain. Katanya, dari kepo bisa timbul prasangka, ghibah, bahkan fitnah. Well, betul juga. Tapi kali ini, dia pun terlihat sedikit kesal.
Teh Melati pun makin sering curhat tentang keanehan-keanehan yang dia alami berkenaan dengan keluarga itu. Termasuk, si kakak ipar teh Mawar yang intip-intip ke jendela rumah teh Melati dan kepergok beberapa kali. Aduh, makin mencemaskan ini. Harus segera diselesaikan. But how??? Teh Mawar pun seperti berjarak ketika saya sapa. Mulai ada prasangka disitu, jujur saya akui. Menilai negatif keluarga tersebut. Hingga saya pun menceritakan semua hal ke suami, dan seperti biasa, suami menyuruh saya untuk berhenti berprasangka sebelum tahu kebenaran. Dia menyarankan saya untuk bisa mendekati teh Mawar sehingga bisa membicarakan perkara kurang mengenakan ini padanya.
Baiklah. Bismillaah. Demi menghindari ghibah, fitnah, prasangka buruk. Saya mulai mendekati anaknya, yang kebetulan seusia anak saya. Saya kirim makanan ketika saya membuat sesuatu agak berlebih. Saya sapa duluan ibu, ibu mertua, dan bahkan teh Mawar dan suaminya juga ketika berpapasan (masih takut untuk menyapa kakak iparnya, jadi lebih baik bermain aman hehe). Hubungan positif mulai terbangun disitu. Anaknya sangat dekat dengan Anis. Teh Mawar-nya pun mulai lebih sering menyapa saya duluan, bahkan beberapa kali me-whatsapp untuk menanyakan hal-hal berkaitan posyandu dan dokter anak. Walau pun tetap saya merasa dia masih berusaha berjarak dengan saya. Tak apa. Tidak instan nilai sebuah percaya.
Bulan terlewati. Ketidaknyamanan masih saya rasakan, terutama dari kakak ipar teh Mawar. Namun, hari itu berbeda. Rumah mereka terlihat agak sibuk. Seperti acara pindahan. Rupanya, ibu berkerudung dan kakak ipar teh Mawar pindah, yang lately saya tahu, kembali ke kota asal mereka. Aahh Alhamdulillaaah, ada sedikit kelegaan saya. Feeling insecure itu melelahkan bukan?
Dan hari ini. Teh Mawar mengajak anaknya bermain ke rumah saya, kebetulan anaknya sangat senang bermain disini. Biasanya ditemani oleh neneknya. Saya sih senang saja ketika kali ini mamanya yang menemani. Setidaknya saya bisa lebih nyaman dengan yang seumuran.
Kami pun banyak bercerita, walaupun saya lebih banyak jadi pendengarnya ๐. Ternyata, teh Mawar dan suami terkena dampak lumayan hebat dari pandemi Covid-19 ini. Keduanya terkena pemotongan gaji tak tanggung-tanggung hingga 50% dari masing-masing perusahaan. Inti cerita, perekonomian mereka sedang terguncang. Bahkan, rumor juga beredar perusahaan tempat suaminya bekerja sedang berada di ambang collapse, begitu teh Mawar bercerita. Saya masih mendengarkan.
Mereka menjadi penanggung penuh biaya hidup ibu, ibu mertua, dan kakak ipar itu. Ternyata, kakak iparnya adalah pasien ketergantungan obat. Diawali dari penyalahgunaan narkoba, kemudian rehabilitasi, terkena case depresi, akhirnya berobat ke psikiater dan mengharuskannya mengkonsumsi obat adiktif dengan resep setiap bulannya. Untuk obatnya saja menghabiskan dana sekitar Rp 800.000,- setiap bulan dan tentunya belum termasuk biaya konsultasi dokter. Suami teh Mawar dan kakak ipar ini adalah saudara kandung berbeda ayah. Ayah tiri si kakak ipar, yang merupakan ayah kandung suami teh Mawar, tidak mau menanggung "aib dan resiko" dari anak tirinya. Sehingga akhirnya, dengan dasar humanity, teh Mawar dan suami lah yang menawarkan untuk membantu menanggungnya, setelah ibu si kakak ipar memohon kepada teh Mawar untuk memaklumi dan mengerti. "Ahh teh Nad, jadi saya sih selama ini ya bekerja untuk humanity aja. Selagi saya ada, saya bisa, saya akan bantu. Saya menikah dengan anaknya, berarti Allah memang mendekatkan mereka dengan saya agar saya bisa turut andil membantu mereka. Ada rejeki mereka melalui saya dan suami. Ya kan?" Okey, tertohok saya dengan pernyataan ini. "Tapi gimana lagi. Untuk kondisi saat ini sih berat juga buat saya. Kesanggupan kami sedang menurun drastis dan tiba-tiba. Demi Tuhan teh, saya sih kalo sedang ada, saya enggak mungkin hitungan. Si mama (mertua) sempet enggak ngerti situasi ini sampe saya harus nunjukkin pemotongan gaji saya dan si aa. Akhirnya mereka paham."
Yaa Allah. Begitu jahatnya prasangka. Kita ini sangat berbatas, jangan jadikan apa yang hanya terlihat oleh mata menjadi dasar untuk menilai sesuatu dan seseorang. Sungguh, bukan kapasitas kita untuk itu. Baiknya, bantu dalam sunyi jika mampu, diam tanpa komentar banyak jika tidak mampu. Terganggu dengan suatu hal, cari tahu, sampaikan. Bukan menimbun prasangka, bahkan menebar ghibah atau fitnah. Mata kita berbatas, tapi kita dilengkapi dengan perangkat pendukung lainnya, seperti akal, bukan?
Banyak pelajaran yang saya dapat dari teh Mawar. Saya meminta maaf untuk prasangka yang sempat terbersit, juga berterimakasih untuk pelajaran hidup dan kesediaan untuk dibagikan dalam tulisan ini. Semoga kita semua selalu diberi kemampuan untuk menyelaraskan segala indera kita dengan akal juga hati. Aammiin ๐
No comments:
Post a Comment