Hari ini ibu berkesempatan untuk ajak Anis jalan jauh dengan angkot. Kebetulan Anis tuh senang bukan main setiap diajak naik angkot walau cuma jarak dekat. Sejujurnya, untuk jarak agak jauh ibu masih memilih moda transportasi online dibanding angkot saat ini, dengan alasan waktu, kenyamanan membawa bocah, dan memang kurang begitu tau dengan berbagai macam rutenya.
Kali ini Kami pergi dari rumah di daerah Cisaranten menuju Dipatiukur. Ibu memilih untuk naik angkot rute Panghegar-Dipatiukur dari depan rumah. Menurut informasi dari internet tentang rute ini, ibu enggak perlu ganti angkot untuk sampai tujuan. Walaupun harus agak berputar-putar jalurnya, tapi angkot rute tersebut melewati tepat Jalan Dipatiukur. Daripada ambil resiko naik turun angkot, ibu memutuskan untuk menyusuri rute angkot Panghegar-Dipatiukur ini hingga sampai tujuan.
Perjalanan yang ditempuh dari Cisaranten menuju Dipatiukur kurang lebih 1 jam 10 menit, itu termasuk waktu untuk mengisi bensin sekitar 5 menit. Tak selama yang ibu bayangkan sejujurnya. Dengan jarak sekian dan rute yang berputar-putar, termasuk lintasan titik-titik macet, ibu memprediksikan waktu tempuh sekitar 1,5 jam hingga 2 jam. Maklum, sudah lama enggak ber-angkot ria, agak underestimate 😁. Angkotnya pun bersih. Supirnya pun santai tanpa ugal-ugalan. Tarifnya pun jauh di bawah transportasi online. Cisaranten-Dipatiukur mereka tarif Rp 9000,-, sangat jauh berbeda bukan?
Secara keseluruhan ibu nyaman dengan perjalanan ber-angkot ria hari ini. Anis pun menikmati dan anteng. Tapi ada sedikit hal yang menggelitik pikiran aku, yaitu jumlah penumpang. Miris, boleh dibahasakan begitu. Selama perjalanan, ibu perhatikan, tak lebih dari 10 orang penumpang lain bersama Kami. Itu pun naik secara bergantian. Suasana angkot sepi dan kosong. Padahal Kami baik pukul 7.46 pagi, dimana lalu lintas pun masih agak padat, yang berarti masih termasuk traffic hours/jam sibuk. Asumsiku, seharusnya angkot pun penuh. Tapi ibu lihat dan perhatikan, orang-orang lebih banyak memilih untuk menggunakan ojek online (mungkin mobil online juga tapi yang jelas terlihat saat itu adalah dominasi ojek online). Sedih, entah mengapa. Aku sadar teori tentang rezeki. Aku juga paham bahwa seharusnya kita mengikuti arus perkembangan zaman bila ingin survive dalam persaingan. Tapi, penerapan tak seperti itu kan. Banyak keterbatasan yang tetap tidak bisa dipaksakan, apalagi dengan kondisi pendidikan masyarakat kita yang masih belum terlalu tinggi dan merata. Aku lihat handphone supir angkot itu, tak lebih dari handphone jadul dengan nada deringnya yang khas. Jangankan untuk mengakses aplikasi transportasi online, untuk dipakai internet pun ibu pikir belum mumpuni.
Perjalanan kali ini benar-benar sarat hikmah buat ibu. Membuka perspektif lain dari suatu hal lagi. Tentang diri sendiri yang kadang masih suka kesal ketika menyetir mobil dan menghadapi angkot "ngetem" seenaknya. Nadya, ada seorang bapak, suami, di dalam sana yang sedang mengais rezeki untuk anak dan istrinya. Tentang diri sendiri yang apa-apa mau selalu mudah dengan transportasi online atau kendaraan pribadi. Nadya, bila sedang tak diburu waktu, santai, kenapa tidak sesekali naik angkot dan menikmati perjalanan. Bukanksh tetap bisa membawamu ke tujuan? Juga tentang perkembangan zaman yang kadang melénakan kita sehingga lupa bahwa masih ada segelintir orang yang, bukan tidak mau, tapi memang tidak memungkinkan untuk mengikutinya. Mengapa tak kau empati juga terhadap mereka?
Ahh, Alhamdulillaaah, terimakasih untuk perjalanan yang penuh cerita ini. Terimakasih Anis sudah menemani ibu dengan sangat tenang. InsyaAllah lain kali kali kita jalan-jalan naik angkot lagi yaaa💙
No comments:
Post a Comment