Picture by Tribun Bali |
Meyra. Seperti itu orang-orang
memanggilku. Untuk mereka yang lebih akrab, sapaan “Rara” justru lebih familiar
dibandingkan dengan “Mey” sebagai suku kata pertama dari namaku itu. Semua
bermula dari mama yang sejak aku bayi selalu memanggil “Rara” sebagai panggilan
manja. Dan, inilah aku.
Dilahirkan sebagai anak tunggal,
membuatku agak diistimewakan oleh mama. Mungkin sebagian akan bertanya tentang
papaku. Sayangnya, aku pun tak pernah tahu siapa dan di mana keberadaannya saat
ini. Pengakuan mama pun, lelaki itu telah meninggalkan kami sejak aku berada di
dalam kandungan, saat itu baru menapaki lima minggu. Dan, boleh kukatakan bahwa
aku adalah seorang yatim, dengan versi sedikit berbeda. Mengapa? Karena yatimku
lebih ke kondisi di mana aku memang kehilangan informasi sama sekali
mengenainya, bukan karena ia pernah ada dan kemudian pergi dari kehidupan.
Setidaknya begitu bagiku.
Memanglah kami hanya hidup berdua
saat ini, mama dan aku. Nenek telah meninggal saat mama berusia sepuluh tahun,
dan kakekku tinggal di negeri seberang, bersama istri dan keluarga barunya
sejak kematian nenek. Benar, mama adalah korban ‘anak dibuang’. Yang ternyata
senasib denganku. Mungkin itu juga yang membuat kami berdua dapat lebih tegar
menghadapi balada kehidupan. Di satu sisi, kami pun saling menguatkan.
Namun, ruang kosong akan tetap
menjadi ruang kosong. Sekuat apapun aku, dan mungkin mama, berusaha mengisinya,
tetaplah ia akan meninggalkan dimensi berbeda yang tak bisa disempurnakan oleh
apapun. Timpang, terkadang aku merasa seperti itu. Bukan karena iri, atau bisa
jadi memang pun demikian, ketika melihat teman-teman di sekolah dulu dijemput
oleh ayah mereka, atau sekedar cerita awal minggu tentang kegiatan outing bersama sosok yang mereka nisbatkan
sebagai kepala keluarga. Ya, pada akhirnya aku merasa bahwa saat sesuatu tak
lagi memiliki kepala, dia akan lebih sulit menentukan arah. Begitu adanya
keluargaku, dan bentuk kekosongan yang aku maksud.
Kondisi memaksa kami, aku dan mama,
untuk tetap maju menghadapi realita. Untunglah, meski ia hanya sosok single parent, tanpa ada backing-an finansial dan emosional dalam
membesarkan seorang anak perempuan, yaitu aku. Mama tetap memberikan apa yang
kubutuhkan. Apartemen untuk kami berteduh, sekolah swasta ternama di ibu kota,
gaya hidup yang bisa dibilang menengah ke atas dan serba nyaman, semua dapat
kunikmati. Hanya saja, tetap harus ada harga yang dibayar sebagai pengorbanan,
yaitu waktu.
Tak banyak waktu yang dapat kulewati
bersama mama. Kami seatap, tetapi seolah memiliki jam hidup berbeda. Aku yang
sudah barang tentu aktif dikala matahari mencuatkan cerahnya, justru di saat
itulah waktu mama tidur dan beristirahat setelah melewati malam penuh peluh
bekerja. Mama bilang, client-nya
memang hanya leluasa ditemui saat petang menjelang, selepas mereka bersibuk
diri dengan pekerjaan utamanya. Entahlah, aku hanya seorang gadis SMA yang
belum dan tidak ingin tahu terlalu banyak tentang itu. Toh, segala kebutuhanku telah tercukupi, bahkan bisa dikatakan berlebih.
Jika mama harus beristirahat saat kupulang sekolah, dengan fasilitas kartu
debit yang tak pernah dibiarkan kosong, aku biasa menghabiskan waktu bersama
sahabat satu geng untuk nongkrong di satu mall ke mall yang lain. Tak menjadi
masalah. Asalkan mama tetap sehat, tidak kekurangan waktu istirahat.
Sore itu, angin lembab ala ibu kota
yang tak sedikit pun memberi kesejukan untuk menghalau sisa terik tengah hari,
berdesir membawa sedikit rintik hujan sesaat. Murid-murid berhambur menuju
gerbang yang menjulang tinggi, yang lebih terlihat seperti gerbang sel tahanan
daripada sebuah sekolah. Waktu pulang sekolah telah tiba.
Kebetulan, kedua sahabat kumpulku harus
absen menemani thawaf mall hari ini.
Ada yang sudah memiliki jadwal dengan kekasihnya, ketika yang lain harus
menemani ibunya belanja bulanan. Dan aku berjalan sendiri menuju gerbang sambil
terus berpikir, ‘Kemana ya enaknya hari ini?’
Ketika tiba-tiba, “Heh, bangke!
Dasar anak haram! Bisa-bisanya ya nyokap Lo morotin papi gue, hah?! Oh, jadi
gini caranya si anak yatim Meyra Priyanka sampe bisa sekolah di tempat elit
macem gini? Bisa hidup bak sultan, tinggal di apart, nongkrong tiap hari di mall? Ternyata semua itu hasil
ngelacur nyokap Lo, hah?!”
Tangan itu terlalu kuat menghantam
tubuhku. Tak bisa kuhindari, aku kehilangan keseimbangan. Terjungkal di tengah
lapang basket dengan lantai bercat biru. Berutunglah tanganku masih cukup sigap
menahan bobot tubuh bagian atasku. Jika tidak, kening ini pastilah sudah
bercucur darah tergesek kasarnya lantai yang saat itu pun panas luar biasa.
Atau mungkin mulutku yang harus kehilangan keperawanannya, karena mencium
paduan semen dan pasir menyebalkan ini.
“Berdiri Lo! Biar orang-orang tahu,
siapa Meyra Priyanka itu! See, Guys! Beware of this bitch! Atau hidup kalian bakal berantakan karena
ulahnya dan nyokapnya!”
Gadis bertubuh ramping semampai
dengan rambut tebal lurus sepunggung dengan berapi-api memaksaku bangkit dan
terus menunjuk-tunjuk mataku. Ya, bukan hanya muka, tetapi mataku! Sebagai
pancaran amarahnya yang begitu membuncah. Terlebih pipi dan sebagian besar
mukanya yang semakin memerah. Dia amat sangat marah.
Aku tersulut emosi. Dia terus
mencaci-maki mama. Dadaku panas, otakku tak lagi jernih.
“Heh, jangan nuduh macem-macem Lo,
ya! Nyokap gue emang single parent,
tapi dia punya bisnis, punya kerjaan, duit ga ngalir gitu aja, dan gue tahu
itu! Buktinya, waktu bareng gue yang terbatas bareng dia. Karena apa? Karena
dia lagi nyari duit! Paham, Lo?!”
Kudorong balik tubuhnya yang tak
lebih besar dari tubuhku. Namun, anehnya, dia dapat menguasai keseimbangannya.
Mungkin massa tubuhnya meningkat dengan supply
amarah yang dia punya? Entahlah.
“Hahahaha. Lucu! Sumpah, Lo tuh lucu
banget! Sini, Lo! Sini! Liat ini siapa?!”
Tangan berjari lentik dengan kuku
berhiaskan nail art bernuansa nude itu menyodorkan ponsel keluaran
terbarunya tepat di wajahku. Aku pun harus sedikit menarik mukaku untuk dapat
menangkap apa yang hendak ia tunjukkan dari ponselnya itu.
“Ini bisnisan nyokap Lo? Gelayutan
di badan cowok yang entah mereka udah beristri apa belom, hah? Keluar masuk
hotel tiap malemnya. Lo pikir bisnis macem apa yang nyokap Lo jalanin? Kerjaan
macem apa yang cuman keluyuran malem hari? Satpam ronda? Hey, bahkan satpam aja
masih lebih beradab dari nyokap Lo itu.” Gadis itu tak lagi berteriak-teriak.
Namun, desisnya kupikir jauh lebih menakutkan, seperti saat ini.
Dan foto itu. Kolase dari beberapa
foto yang menangkap sosok wanita sedang melangkah keluar dari hotel-hotel
ternama dengan manjanya. Rangkulan mesra yang memberikan indikasi sosok lelaki
yang berbeda di setiap bidikannya. Salah
satunya adalah ayah dari gadis cantik di hadapanku. Pria berbadan tambun dengan
rambut tersisir kelimis dan ornamen serba branded
di tubuhnya.
Dan, wanita yang menjadi sosok sama
di setiap fotonya adalah mama. Benar. Dia mamaku.
Kemudian, semua berubah menjadi
gelap. Aku tak tahu ke mana hilangnya kesadaranku.