Picture by pinterest |
Bismillaah.
Usianya kuterka di atas paruh baya. Mungkin sekitar 60
menuju 70-an. Bukan usia muda kukira. Namun, dua hari sekali, sekitar pukul 6
pagi, bahkan kadang lebih dini, selalu kudapati beliau dengan penuh semangat
berkeliling mengakomodasi sampah-sampah rumah tangga di komplek perumahan kami.
Memanglah menggunakan triseda (motor beroda tiga). Namun, kurasa, tetaplah bukan
pekerjaan mudah. Apalagi mengingat usianya yang kupikir sangat rentan dengan
penyakit yang mungkin saja dihasilkan oleh objek pekerjaannya.
Lain cerita, di tempat tinggalku sebelumnya. Seorang bapak
yang jelas tak juga muda. Setidaknya sekitar setengah abad memang usianya.
Beliau berjalan agak pincang. Salah satu kakinya mengecil, mungkin polio, atau
penyakit lainnya? Entahlah. Juga, beliau adalah seorang yang agak
keterbelakangan mental. Sangat mudah menebak dari caranya berbicara dan
menatap. Namun, tiga hari sekali beliau berkeliling di area tempat tinggal
kami. Dengan kaki yang kurang sempurna, ia menarik gerobak berwarna kuning,
yang selalu penuh dengan gundukan-gundukan dengan bau menyengat. Satu yang
selalu kuingat, senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya setiap kali kami
berpapasan. Bahkan, Anis tak jarang ia sapa, hingga akhirnya lama-lama Anis pun
selalu menyapa dan mengingat bapak itu jika kami sedang melewati tempat tinggal
kami yang lama.
Keduanya sama. Pahlawan sampah. Tanpa mereka, aku tak
yakin sanitasi dan kenyamanan tempat tinggalku akan semudah ini tercipta.
Mungkin, kami harus rela pergi ke tempat pembuangan sampah akhir terdekat demi
terbebasnya bau busuk di lingkungan juga kehidupan yang lebih sehat. Sangat
tidak praktis.
Betapa kita semua, terutama aku pribadi, sangat
membutuhkan eksistensinya.
Aku pikir, rasa “saling” pun harus diciptakan. Bagaimana
aku membutuhkan jasanya, dan sebagai timbal balik, aku pun memikirkan bagaimana
cara meminimalisir resiko kerja mereka. Sesederhana itu.
Tak banyak yang bisa dilakukan. Belum mampu untukku
mendaftarkan polis asuransi kesehatan bagi mereka, para pahlawan sampah ini. Membantu
mereka mengkoordinir sampah-sampah sekitar (setidaknya satu komplek, misalnya),
agar mereka tak perlu berkeliling ke setiap rumah di dalamnya, aku pun belum
sanggup.
Sehingga, aku hanya bisa membiasakan diri, di lingkungan
keluarga kecilku, untuk menerapkan “ADAB BERSAMPAH”.
Terdengar berat, tetapi kenyataannya, yang kulakukan
hanyalah hal sederhana yang setidaknya bisa sedikit mengurangi resiko kerja
mereka :
1. Memilah antara sampah kardus, kemasan plastik,
minyak jelantah, dengan sampah umum. Meskipun belum bisa menerapkan sistem klasifikasi
sampah yang teoritis, tetapi cara ini cukup membuat sampah terlihat lebih rapi
dan mudah dalam penangannya. Sering aku perhatikan, para pahlawan sampah itu
memisahkan plastik dan kardus dari sampah lainnya. Mungkin untuk dijual atau
dilakukan penatalaksanaan khusus, aku pun tak tahu pasti. But, this simple action seemed a lot for him, actually.
2. Selalu menyetorkan sampah dalam keadaan rapi.
Mungkin didasarkan pada ke-perfeksionis-an aku pribadi yang tidak suka melihat
sesuatu yang berantakan, apalagi menjijikkan. Maka, aku selalu membungkus
sampah dengan kantong yang proper.
Tidak selalu membeli plastik khusus sampah, tetapi setidaknya kantong yang
digunakan tidak bocor dan compang-camping, yang membuat isinya mudah buyar, dan
selalu terikat kuat. Jika satu kantong terlalu penuh hingga sulit untuk diikat,
aku memilih untuk membaginya ke kantong lain sebelum dimasukkan ke tempat
sampah depan rumah. Hal sepele, tetapi ternyata memudahkan penggiat sampah
dalam pengumpulannya. Mereka tak perlu repot-repot mengangkat tong sampah yang
besar dan berat untuk ditumpahkan ke gerobaknya, cukup mengambil kantong-kantong
yang sudah rapi di dalamnya saja.
3. Memberi label sampah buangan khusus. Misalnya,
sampah berisi pecahan kaca akan dibungkus terpisah dengan penanganan agak
berbeda, juga dilabeli. Aku biasa memasukkan pecahan kaca ke kain bekas (baju
bekas atau lap yang sudah tak layak pakai), dibuntel hingga memiliki resiko
lebih kecil untuk tembus, lalu dimasukkan plastik tebal, dan diberi tulisan
besar “AWAS PECAHAN KACA”. Kebiasaan ini mulai dilakukan sejak beberapa tahun
lalu, saat aku merapikan tempat sampah di rumah orang tua, yang ternyata ada
bekas pecahan gelas, dan akhirnya melukai tangan. Dari situ aku berpikir, “Wah,
sampah ini di tempat pembuangan juga bisa melukai orang, dong? Harus diapakan
ya?”. Melabeli adalah langkah mudah dan sederhana yang terpikirkan olehku saat
itu dan masih diterapkan hingga kini.
4. Membiasakan untuk selalu membuang sampah pada
tempatnya!!
5. Menghormati mereka, para pahlawan sampah,
sebagai orang yang memiliki andil dan fungsi besar bagi lingkungan. Tak perlu
membuat plakat terima kasih atau sanjungan berlebihan. Cukup memberi sedikit makanan
yang kita punya sesekali, mengucapkan terima kasih saat mereka sedang
mengangkut sampah kita dan kita sedang berada di situ juga, atau setidaknya
memberi senyuman dan sapaan saat berpapasan. Aksi yang bisa membuat mereka
merasa dianggap ada dan setara, bukan justru mencemooh bau pekerjaannya di
hadapan mereka. “Ih, bau banget sih ini!” tepat saat mereka melintas. Hehe,
hayoo siapa yang masih suka ‘keceplosan’ begitu? Hihihi.